Lima nelayan Indonesia yang ditangkap aparat Malaysia atas dugaan penangkapan ikan ilegal akhirnya dipulangkan. Pemulangan difasilitasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Kementerian Luar Negeri.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Lima nelayan Indonesia yang ditangkap aparat Malaysia atas dugaan penangkapan ikan ilegal akhirnya dipulangkan. Pemulangan itu difasilitasi Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Kementerian Luar Negeri.
Dengan demikian, total pemulangan nelayan Indonesia yang ditangkap di luar negeri mencapai 101 nelayan, terdiri dari 16 orang dari Malaysia, 18 orang dari Timor Leste, 36 orang dari Myanmar, 11 orang dari Thailand, dan 20 orang dari Australia.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan Perikanan, Agus Suherman, di Jakarta, Jumat (28/6/2019), mengemukakan, lima nelayan itu tiba di Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, hari Kamis. Mereka berasal dari Desa Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Mereka ditangkap pada September 2018 oleh aparat Malaysia. Mereka dituduh menangkap ikan secara ilegal di wilayah perairan Malaysia, yaitu ARR (40 tahun), IS (42 tahun), DD (31 tahun), ZUL (53 tahun), dan MB (40 tahun). “Nelayan-nelayan Indonesia ini tertangkap di luar negeri karena melanggar batas perairan saat melakukan penangkapan ikan," kata Agus.
Sebelumnya, nelayan-nelayan tersebut ditangkap pada bulan September 2018 oleh aparat Pemerintah Malaysia dengan tuduhan melakukan aktivitas illegal fishing di wilayah perairan Malaysia. Selama berada di Malaysia, para nelayan mendapatkan pendampingan dari Kedutaan Indonesia di Malaysia.
19 nelayan
Saat ini, tercatat masih ada 19 nelayan asal Indonesia yang ditahan di luar negeri. Berdasarkan data PSDKP-KKP, per 28 Juni 2019, sebanyak 19 nelayan Indonesia yang ditahan di luar negeri itu meliputi 6 nelayan di Malaysia, 2 orang di Myanmar, dan 11 orang di Australia.
Agus mengemukakan, hampir seluruh nelayan yang ditangkap di luar negeri merupakan nelayan kecil yang kapalnya hanyut dibawa arus sehingga melanggar batas wilayah. Diperlukan kerjasama dengan pemerintah daerah untuk mendorong sosialisasi agar kejadian serupa tidak berulang. Disamping, bantuan alat navigasi GPS.
“Ke depan, kami akan dorong sosialisasi agar nelayan kecil berhati-hati sebelum berangkat, agar tidak melanggar batas wilayah perairan dengan negara lain,”katanya.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan mengemukakan, nelayan Indonesia yang ditangkap di luar negeri kerap memakai alasan kapal hanyut terbawa arus. Padahal, kapal mereka umumnya sudah dilengkapi alat navigasi GPS.
"Problem yang harus diatasi pemerintah adalah penciptaan peluang kembangkan usaha perikanan di perbatasan agar nelayan punya kepastian informasi, pasar dan modal," katanya.
Tahun 2020, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengusulkan anggaran operasi pengawasan sebesar Rp 386,88 miliar untuk operasional kapal pengawasan dan pesawat patroli. Operasional itu meliputi kapal pengawas perikanan di laut selama 150 hari dengan anggaran sebanyak Rp 355,38 miliar serta pesawat patroli selama 150 hari dengan anggaran Rp 31,5 miliar.(LKT)