Izin Impor Bahan Baku Daur Ulang agar Dihentikan Sementara
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta menghentikan sementara pemberian izin impor bahan baku daur ulang kertas dan plastik selagi revisi aturan mainnya masih dilakukan. Setidaknya moratorium tersebut diberlakukan bagi perusahaan-perusahaan yang ditengarai tak mematuhi ketentuan dalam persetujuan impor.
Pendekatan kehati-hatian ini dinilai sangat mendesak. Pada praktiknya, sejumlah kontainer ditemukan berisi bahan baku daur ulang tersebut tercampur sampah rumah tangga hingga limbah beracun dan berbahaya.
Pun selama bertahun-tahun, sampah tersebut keluar dari industri daur ulang pengimpor ke pengumpul di sekitarnya. Sebagian di antaranya diakui membawa manfaat ekonomi karena ”sampah ikutan impor” tersebut bersih dan laku dijual. Namun, banyak juga yang menjadi masalah karena sebagian tak laku dijual sehingga dibakar dan ditumpuk di lahan-lahan secara ilegal.
”Sambil menunggu revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Nomor 31 Tahun 2016), mending moratorium dulu untuk impor-impor bermasalah ini,” kata Margaretha Quina, Kepala Divisi Pencemaran Lingkungan Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Selasa (25/6/2019), di Jakarta.
Saat ini Kementerian Perdagangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Keuangan (Ditjen Bea dan Cukai), serta Kementerian Perindustrian sedang merumuskan revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-B3. Aturan ini dinilai memiliki kelemahan di bagian lampiran terkait penjelasan kode perdagangan (HS Code) pada kata ”lain-lain” ataupun ”mix/campuran” yang rentan dalam penerjemahannya.
Moratorium ini pernah dilakukan secara tak langsung oleh KLHK pada tahun lalu dengan tidak memberikan rekomendasi impor. Langkah ini membuat kalangan industri daur ulang plastik kalang kabut karena alasan kekurangan bahan baku yang dipenuhi dari impor.
Moratorium ini pernah dilakukan secara tak langsung oleh KLHK pada tahun lalu dengan tidak memberikan rekomendasi impor.
Quina mengatakan, moratorium ini pun merupakan ”insentif” yang akan mendorong pemerintah segera merampungkan revisi permendag tersebut. Revisi tersebut pun agar disesuaikan dengan amandemen Konvensi Basel yang disetujui para anggota pada awal April 2019.
Di sisi lain, Quina mengakui permendag tersebut telah memiliki safeguard atau pengaman pada saat kebijakan ”diskresi” impor material limbah nonbahan berbahaya dan beracun dilakukan. Disebut diskresi karena, menurut dia, terdapat kekurangan definisi detail pada UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pemerintah mengatur impor material limbah nonB3 tersebut melalui persetujuan impor (PI). Dalam PI, importir hanya boleh menggunakan material impor tersebut untuk kebutuhan industrinya dan dilarang memindahtangankannya. Importir pun wajib mengembalikan material tersebut apabila mengandung sampah atau limbah B3.
Quina mendorong pemerintah—dalam hal ini penegak hukum—agar menjalankan tugasnya dengan mengulik kepatuhan importir pada PI. ”Untuk (law) enforcement yang bisa dilakukan segera adalah pengawasan dan penegakan importir terhadap PI,” katanya.
Sampah pengotor
Temuan Yayasan Ecoton yang bermarkas di Jawa Timur, industri daur ulang kertas setempat yang juga importir material daur ulang kertas ditengarai menyalurkan sampah-sampah pengotor (sebagian besar berjenis plastik) kepada masyarakat setempat.
”Pengakuan industri, mereka susah mau complain dan sampah gado-gado ini merugikan mereka karena tak dibutuhkan dan menambah biaya pembersihan,” kata Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton di Jakarta, dalam peluncuran film Take Back sebagai kampanye Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) untuk mendorong negara eksportir ”sampah” bertanggung jawab atas permasalahan sampah impor di Indonesia.
Perusahaan daur ulang kertas tersebut ”memberikan” sampah pengotor tersebut kepada masyarakat setempat untuk dipilah. Sampah yang tak laku dijual ditumpuk dan dibakar begitu saja atau juga menjadi bahan bakar industri tahu.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nur Hidayati mengatakan, perdagangan ilegal sampah ini menguntungkan negara eksportir. ”Sampah di negara asalnya harusnya juga tidak bisa keluar. Harus diolah. Tetapi, karena semakin mahal, maka diselip-selipkan dalam barang yang di-recycle,” katanya.
Ia mengatakan, perusahaan penghasil sampah (produsen makanan/kosmetik) diwajibkan menjalankan extended producer responsibility (ERP) oleh pemerintahnya. Dengan mengirimkan sampah/kemasan ke negara lain melalui dalih untuk didaur ulang di negara tujuan, perusahaan mengalihkan tanggung jawab pengolahan tersebut ke negara berkembang yang berbiaya lebih murah.
Nur Hidayati tak habis pikir negara maju membiarkan hal tersebut dan seolah tutup mata dengan kondisi Indonesia saat ini yang masih berjuang memperbaiki pengelolaan sampah domestiknya. Namun, di sisi lain, ia mengatakan hal ini agar menjadi momen bagi perbaikan pengelolaan sampah domestik.
Sampah luar negeri masih ekonomis dan digemari komunitas masyarakat yang memanfaatkan impor ”sampah pengotor” tersebut karena relatif bersih sehingga memiliki nilai ekonomis. Ini karena negara maju memiliki sistem pemilahan sampah, sedangkan Indonesia masih mencampur sampah dalam pengumpulannya.