Tantangan Besar Membangun Arena Olahraga di Indonesia Timur
Oleh
Denty Piawai Nastitie
·3 menit baca
Setelah sukses membangun berbagai arena olahraga bertaraf dunia untuk Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang, kini Indonesia ditantang membangun arena berstandar internasional di Papua. Ada 68 arena yang diperlukan untuk menyukseskan Pekan Olahraga Nasional Papua 2020.
Arena pertandingan tersebut tersebar di 10 kabupaten dan kota, yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Keerom, Mimika, Kepulauan Yapen, Supiori, Biak Numfor, Merauke, Jayawijaya, dan Tolikara.
PON Papua akan bergulir pada 20 Oktober-2 November 2020, mementaskan 47 cabang dengan 69 disiplin dan 768 nomor pertandingan. Pesta olahraga ini akan melibatkan 23.136 orang, termasuk atlet, pelatih, ofisial, dan panitia.
Kepala Satuan Kerja Pelaksanaan Prasarana dan Permukiman Wilayah 2 Provinsi Papua Anggoro Putro, Sabtu (22/6/2019), di Jayapura, Papua, mengatakan, ada empat tantangan utama pembangunan arena di Papua, yaitu pengiriman barang, ketersediaan peralatan, pengiriman tenaga kerja, dan perawatan arena.
Lokasi PON 2020 yang berada di ujung timur Indonesia ini memberikan tantangan dalam pengiriman material bangunan. Letak arena perlombaan dan pertandingan juga terpecil, jauh dari pusat kota. Stadion Utama Papua Bangkit, misalnya, terletak 40 kilometer dari Kota Jayapura, atau ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam perjalanan melewati jalur bergelombang dan berkelok-kelok.
Untuk mengirim kerangka baja dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Jayapura dibutuhkan waktu 2-3 pekan. ”Saat libur hari raya seperti Natal dan Tahun Baru, pengiriman barang bisa melonjak dari dua pekan menjadi dua bulan karena
prioritas pengiriman barang adalah bahan pangan masyarakat,” ujar Anggoro, yang bertugas membangun Istora, stadion akuatik, arena hoki, dan kriket.
Ini berbeda dengan pembangunan arena Asian Games 2018 yang sebagian besar di pusat kota Jakarta sehingga pengiriman barang cepat dan mudah. ”Dulu, kalau material bangunan sudah di Tanjung Priok, saya tenang. Sekarang, kalau material bangunan ada di Tanjung Priok, artinya saya harus menunggu berbulan-bulan,” kata Anggoro.
Pemimpin proyek pembangunan Istora Papua Bangkit, Joko Nugroho, mengatakan, dibutuhkan baja seberat 1.000 ton untuk membangun Istora sebagai arena bulu tangkis. ”Pengiriman baja dilakukan bertahap mengingat bentang ukurannya bisa mencapai 85 meter,” katanya.
Pengiriman barang dan material bangunan menjadi penting karena sebagian besar berasal dari luar Papua. Kerangka dan besi baja, misalnya, didatangkan dari Pulau Jawa, seperti Surabaya dan Jakarta. Sementara perlengkapan pertandingan, seperti sistem penghitung waktu, penanda skor, lampu, dan pengeras suara, di Stadion Utama Papua Bangkit berasal dari negara-negara di Eropa.
Tantangan lainnya adalah ketersediaan peralatan. Di Papua hanya tersedia dua alat boorpile sehingga untuk membangun fondasi bangunan memakan waktu lama karena alat dipakai bergantian dari satu titik ke titik lainnya.
Selain itu, proses pengiriman tenaga kerja juga menjadi tantangan. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mendatangkan 400 pekerja terampil dari Pulau Jawa untuk membangun empat arena, yaitu Istora, stadion akuatik, arena hoki, dan kriket.
Pada November, saat pekerjaan pembangunan mencapai puncaknya, jumlah pekerja diperkirakan meningkat menjadi 1.000-1.200 orang. Dari jumlah itu, sekitar 10 persennya tenaga kerja lokal.
Standar internasional
Tantangan itu tidak menurunkan spesifikasi bangunan. Semua arena olahraga itu dibangun memenuhi standar internasional. Stadion Utama Papua Bangkit dilengkapi lampu LED dari Jerman berkekuatan 1.800 lux sesuai standar FIFA. Papan penunjuk skor berasal dari Italia, dan peralatan sistem waktu didatangkan dari Swiss.
Trek atletik yang mengelilingi lapangan juga dibangun sesuai standar global. Lahirnya arena olahraga dengan taraf dunia mendatangkan tantangan perawatan.
Anggoro menyebutkan, biaya yang dibutuhkan untuk merawat empat kolam di arena akuatik GBK memakan biaya Rp 1 miliar per bulan. Sementara di Papua, perawatannya sekitar Rp 600 juta per bulan untuk tiga kolam renang dengan kualitas yang sama. ”Jika perawatan tidak diperhatikan dengan baik, air kolam bisa menjadi keruh dan lama kelamaan kolamnya rusak,” kata Anggoro.
Di balik tantangan itu, berbagai sarana olahraga bertaraf internasional di Papua itu mengembuskan angin segar lahirnya atlet-atlet berprestasi dari ”Bumi Cendrawasih” di kemudian hari.