Gubernur DKI Punya Opsi untuk Tidak Menerbitkan IMB
Walhi mempertanyakan penerbitan izin mendirikan bangunan di Pulau D atau Pantai Maju, pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Padahal, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mempunyai pilihan untuk tidak menerbitkannya.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi mempertanyakan penerbitan izin mendirikan bangunan di Pulau D, pulau reklamasi di Teluk Jakarta, oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Hal ini karena Gubernur sebenarnya mempunyai pilihan untuk tidak menerbitkannya. Penerbitan izin sekaligus menjadi preseden buruk dan dikhawatirkan berlanjut dibatalkannya pencabutan izin 13 pulau reklamasi.
Pada 26 September 2018, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut izin reklamasi untuk 13 pulau di Pantai Utara Jakarta. Ada empat pulau yang telah terbangun, yaitu Pulau C, D, G, dan N.
Lalu, pada 7 Juni 2018, Anies menyegel 932 bangunan di Pulau D karena disebut tidak berizin. Namun, secara tiba-tiba, Pemerintah Provinsi DKI melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk bangunan-bangunan yang sudah terbangun di Pulau D itu.
”Reklamasi Pantai Utara Jakarta bukan saja persoalan izin mendirikan bangunan. Reklamasi dipaksakan tetap berjalan dan puncaknya terbit IMB. Jakarta mengalami krisis ekologi, kebijakan tersebut membuat ruang hidup beralih menjadi pusat ekonomi. Alasannya, ketelanjuran, dan ini preseden buruk. Pulau C dan G masih ada aktivitas, bukan tidak mungkin 13 izin (pulau reklamasi) yang dicabut nantinya akan terbit lagi dengan alasan yang sama,” tutur Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi saat diskusi bertajuk ”Kala Anies Berlayar ke Pulau Reklamasi”, Minggu (23/6/2019), di Jakarta.
Anies dalam keterangan tertulisnya beberapa waktu lalu menyebutkan, penerbitan IMB itu mengacu pada Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D, dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Menurut Tubagus, aktivitas di pulau D sudah ada sejak 2014. Artinya, Pergub No 206/2016 yang terbit setelah reklamasi berjalan tidak masalah untuk dicabut karena reklamasi dilakukan tanpa dasar hukum. Sayangnya, Gubernur lebih memilih menjadikan pergub itu untuk mengeluarkan IMB.
Reklamasi bahkan dinilainya sebagai proyek yang keliru sejak awal. Ini karena proyek reklamasi berorientasi bisnis seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
”Reklamasi bukan untuk kepentingan masyarakat, nelayan, maupun lingkungan. Proyek ini berorientasi bisnis dan kebutuhan lahan daratan,” katanya.
Keputusan presiden itu terbit menyesuaikan dengan Keputusan Presiden No 17/1994 tentang Repelita Enam di mana kawasan pantai utara termasuk kategori kawasan andalan, yaitu kawasan yang mempunyai nilai strategis dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota.
Berkaitan dengan itu, Tubagus mengharapkan adanya kajian secara komprehensif karena seolah-olah reklamasi ada untuk warga. Padahal, warga dibatasi mengakses pulau reklamasi. ”Ada tulisan dilarang masuk dan lainnya,” ujarnya.
Tergusur
Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Ahmad M Hadiwinata menyebutkan, nelayan tradisonal berada dalam posisi sulit. Hal ini terjadi karena hak-hak sumber daya pesisir tidak dipertimbangkan secara benar. Reklamasi menyebabkan wilayah menangkap ikan dan berlayar tergusur.
”Bertentangan dengan prinsip pemanfaatan pesisir. Tidak ada zonasi pesisir dan pulau kecil. Malah proyek ini sempat bermasalah karena korupsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat DKI Jakarta. Proses pembahasan tidak terbuka kepada publik,” tutur Ahmad.
Oleh karena itu, pihaknya meminta kejelasan Pemprov DKI Jakarta terkait kebijakan penerbitan IMB. Ahmad khawatir penerbitan IMB menjadi pintu masuk kelanjutan proyek reklamasi.
Edi (62), salah satu warga di pesisir Jakarta Utara, juga berharap Pemprov DKI Jakarta memperhatikan nasib warga pesisir dan program reklamasi Teluk Jakarta. Reklamasi dianggap menjadi salah satu penyebab hasil tangkapan berkurang karena laut lepas semakin sempit dan tercemar limbah domestik.
”Kami bahkan dilarang melaut di sekitar Pantai Mutiara. Terus kami mau kerja apa kalau keterampilan dan modal usaha saja tidak kami miliki. Cukup sudah membangun di laut. Sebaiknya pemerintah rancang program pemulihan ekosistem laut,” tutur Edi.
Menurut Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Badi’ul Hadi, potret kesenjangan ekonomi di wilayah pesisir Jakarta sangat jelas. Untuk itu, pemanfaatan pulau reklamasi harus jelas, terutama dalam mengatasi kesenjangan yang semakin timpang di sana.
”Pemanfaatan ini harus menguntungkan rakyat, khususnya di wilayah terkait,” ujarnya.