Berebut Jabatan Menteri Utama Inggris
Pemilihan perdana menteri Inggris menyisakan dua kandidat, Boris Johnson dan Jeremy Hunt. Selama persoalan Brexit belum tuntas, nasib pengganti May akan ditentukan oleh kemampuan mereka mengawal Brexit hingga tuntas. Bila gagal, mereka akan mengikuti jejak May, meninggalkan panggung politik dengan kepala tertunduk dan air mata.
Theresa May mengundurkan diri sebagai ketua Partai Konservatif setelah gagal mencapai kesepakatan dengan Parlemen terkait Brexit pada 7 Juni 2019. Kesepakatan yang dicapainya dengan Uni Eropa tak disetujui oleh Parlemen. Akan tetapi, May akan tetap menjabat sebagai perdana menteri hingga ketua Partai Konservatif baru terpilih.
Sebagai calon pengganti, sepuluh kandidat dari Partai Konservatif bertarung memperebutkan posisi ketua partai yang otomatis akan menjadi Perdana Menteri. Di akhir pemilihan di Parlemen, dua kandidat yang tersisa siap bertarung untuk memperebutkan suara dari seluruh anggota Partai Konservatif: Boris Johnson dan Jeremy Hunt.
Mengapa hanya Partai Konservatif yang terlibat? Mengapa tak melalui pemilu? Bagaimana mekanisme pemilihan perdana menteri di Inggris? Selanjutnya, siapa calon paling populer?
Tak ada Pemilu
Perdana Menteri di Inggris tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi diangkat dari ketua partai pemenang pemilu.
Berdasarkan pemilu 2017, Partai Konservatif menjadi penguasa Parlemen dengan 313 kursi, berkurang 17 kursi dari pemilu 2015. Sebagai partai pemenang pemilu, Partai Konservatif berhak membentuk pemerintahan. Karena tidak mencukupi sebagai mayoritas mutlak dari total 650 kursi, Partai Konservatif menggandeng partai lain untuk membentuk pemerintahan.
Dengan mundurnya Theresa May sebagai ketua, Partai Konservatif akan memilih ketua baru untuk mengisi kekosongan tersebut. Proses yang berjalan adalah mekanisme internal di Partai Konservatif untuk memilih pemimpin baru yang akan duduk sebagai perdana menteri. Dengan demikian, tak akan ada pemilu untuk memilih perdana menteri baru. Pemilu terdekat baru akan dilaksanakan tahun 2022.
Hingga 21 Juni 2019, tersisa Boris Johnson dan Jeremy Hunt yang akan bertanding di hadapan seluruh anggota Partai Konservatif.
Sesuai Undang-Undang Pemilu Fixed-term Parliaments Act 2011, pemilu di Inggris akan dilakukan pada Kamis pertama di bulan Mei setiap lima tahun sejak 6 Mei 2010. Perkecualian terjadi pada tahun 2017 saat Parlemen mengajukan mosi untuk memajukan pemilu yang seharusnya dilakukan pada 2020. Saat itu, Perdana Menteri Theresa May memajukan pemilu dan disetujui Parlemen sehingga dilakukan pada 8 Juni 2017.
Mengingat pemilu terakhir dilaksanakan pada 2017, pemilu selanjutnya dijadwalkan pada Kamis pertama Mei 2022, artinya pemilu terdekat akan dilaksanakan pada 5 Mei 2022.
Tanpa perlu pemilu, proses internal partai pemenang pemilu, Partai Konservatif, akan memilih perdana menteri baru.
Model Pemilihan
Pemilihan ketua Partai Konservatif dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama akan berlangsung di Parlemen, di antara anggota Parlemen dari Partai Konservatif. Proses tersebut akan berjalan beberapa putaran hingga tersisa dua kandidat. Tahap selanjutnya adalah pemilihan melalui pos yang melibatkan seluruh anggota Partai Konservatif.
Sebelum dua tahap tersebut, para calon ditetapkan dengan dukungan dari minimal delapan anggota Parlemen. Terdapat 10 kandidat calon ketua Partai Konservatif yang telah bertanding dalam pemilihan putaran pertama.
Pada pemilihan putaran pertama, tiap calon harus mendapatkan minimal 17 suara untuk masuk ke putaran berikutnya. Hasil pemilihan putaran pertama pada 13 Juni 2019 lalu menunjukkan, terdapat tujuh kandidat yang lolos dari syarat minimal 17 dukungan suara. Akan tetapi, satu kandidat mengundurkan diri sehingga hanya tersisa enam kandidat untuk maju ke putaran kedua.
Pemilihan putaran kedua, dan selanjutnya hingga tersisa dua kandidat, berlangsung pada 18-20 Juni 2019. Tahap ini masih akan dilaksanakan di antara anggota Partai Konservatif di Parlemen.
Pada putaran kedua ini, kandidat yang mendapatkan kurang dari 33 suara akan dieliminasi. Apabila semua kandidat dapat melewati tahap ini, kandidat dengan suara paling kecil yang akan dieliminasi. Proses pemilihan akan terus berlangsung hingga menyisakan dua kandidat.
Selanjutnya, tahap kedua proses pemilihan akan melibatkan kalangan yang lebih luas, seluruh anggota Partai Konservatif. Proses ini menggunakan cara pemilihan lewat pos.
Dijadwalkan, proses pemilihan lewat pos ini dapat dimulai pada 22 Juni 2019 setelah kedua kandidat mengadakan kampanye mereka yang pertama. Dengan demikian, diharapkan, pada 22 Juli 2019, akan terpilih ketua Partai Konservatif yang baru.
Tersisa Dua
Pasca pemilihan putaran pertama, tersisa enam kandidat dari sepuluh kandidat yang bertanding. Keenam kandidat tersebut merupakan menteri atau mantan menteri di zaman Theresa May.
Di jajaran mantan menteri May, terdapat mantan Menteri Luar Negeri Boris Johnson serta mantan Menteri Urusan Brexit Dominic Raab.
Keempat kandidat lain merupakan menteri yang masih aktif, seperti Menteri Luar Negeri Jeremy Hunt, Menteri Lingkungan Hidup Michael Gove, Menteri Dalam Negeri Sajid Javid, serta Menteri Pembangunan Internasional Rory Stewart.
Dalam pemilihan putaran pertama, 13 Juni 2019, Boris mendapatkan 114 suara. Jumlah dukungan tersebut jauh meninggalkan posisi dua, Jeremy Hunt. Hunt hanya mendapatkan 43 dukungan suara. Di posisi ketiga terdapat Michael Gove dengan 37 suara.
Di posisi keempat terdapat Dominic Raab dengan 27 suara. Posisi lima direbut oleh Sajid Javid dengan 23 suara. Rory Stewart menempati posisi keenam dengan 19 dukungan suara.
Di atas Rory, sebetulnya terdapat Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Matt Hancock dengan 20 suara. Akan tetapi, Hancock kemudian mengundurkan diri sehingga posisi keenam diisi oleh Rory.
Tiga kandidat yang tidak lolos ke tahap kedua karena tidak memenuhi minimal 17 dukungan suara adalah Andrea Leadsom dengan 11 suara, Mark Harper dengan 10 suara, dan Esther McVey dengan 9 suara.
Di putaran kedua, posisi di atas tak banyak berubah. Boris Johnson masih mendominasi perolehan dengan 126 suara. Di bawahnya terdapat Jeremy Hunt dengan 46 suara, kemudian Michael Gove dengan 41 suara, Rory Stewart dengan 37 suara, kemudian Sajid David dengan 33 suara.
Satu kandidat yang tak lolos putaran ketiga adalah Dominic Raab. Dengan 30 suara, ia tersingkir karena tidak memenuhi minimal dukungan 33 suara. Putaran ketiga dan seterusnya menggunakan syarat lolos yang lebih tegas. Siapa yang berada di posisi akhir akan dieliminasi dalam putaran selanjutnya.
Dengan aturan ini, Rory Stewart terjungkal di putaran ketiga. Selanjutnya, Sajid Javid pun harus keluar dari kontestasi karena mendapat dukungan paling kecil di putaran keempat. Di putaran kelima, Michael Gove akhirnya harus terpental dari pertandingan karena berada di posisi terakhir.
Dengan demikian, hingga 21 Juni 2019, tersisa Boris Johnson dan Jeremy Hunt yang akan bertanding di hadapan seluruh anggota Partai Konservatif.
Dari dua kandidat tersisa, Boris Johnson menjadi kandidat paling diunggulkan. Dalam jajak pendapat pertama yang dibuat pada 22 April 2019, mantan menteri luar negeri di zaman Theresa May tersebut mendapatkan 32, 4 persen suara.
Jajak pendapat tersebut melibatkan 1.120 anggota Partai Konservatif melalui website resmi partai, tak hanya yang duduk di Parlemen. Artinya, Boris Johnson sudah populer sebelum Theresa May mengundurkan diri.
Saat itu, popularitas mantan walikota London tersebut jauh meninggalkan calon di bawahnya, Dominic Raab, yang hanya didukung oleh 14,7 persen pemilih. Selanjutnya, dalam jajak pendapat 12 Juni 2019, Boris Johnson semakin populer di antara anggota Partai Konservatif. Jajak pendapat yang dilakukan melalui website resmi partai tersebut diikuti oleh 1.512 anggota partai sehari sebelum pemilihan putaran pertama.
Boris menyatakan bahwa dirinya akan memberikan apa yang telah menjadi pilihan rakyat Inggris, yakni keluar dari Uni Eropa.
Boris mendapatkan 53,6 persen kepercayaan anggota partai Konservatif. Angka tersebut jauh meninggalkan posisi nomor dua, Rory Stewart, dengan 11, 4 persen dukungan.
Popularitas Boris di arus bawah ternyata juga diimbangi dengan suara mayoritas yang didapatkannya di Parlemen. Dalam pemilihan di Parlemen putaran pertama, dukungan terhadap Boris paling besar. Ia mendapatkan 114 suara, atau 36 persen suara Partai Konservatif di Parlemen.
Dukungan terhadap Boris semakin meningkat dalam putaran selanjutnya. Ia mendapatakan dukungan 126 di putaran kedua, 143 di putaran ketiga, 157 di putaran keempat, dan 160 di putaran kelima.
Dengan tren dukungan yang semakin besar, Boris merupakan lawan yang berat bagi Jeremy Hunt dalam pemilihan yang akan diikuti oleh seluruh anggota Partai Konservatif. Dengan posisi sebagai pemenang di Parlemen, potensi Boris memenangkan suara di akar rumput akan lebih besar.
Lebih Populer
Setelah keluar sebagai pemenang di Parlemen, Boris Johnson dan Jeremy Hunt akan bertarung memperebutkan suara seluruh anggota Partai Konservatif. Di sini, popularitas menjadi kunci.
Popularitas Boris Johnson di kalangan anggota Partai Konservatif telah meningkat 20 persen dalam tiga bulan terakhir, dari kisaran 30 persen di bulan April, melonjak di kisaran 50 persen di bulan Juni. Ditambah posisinya sebagai kandidat dengan suara terbesar di Parlemen, dukungan terhadap Boris di kalangan bawah diperkirakan akan semakin besar.
Popularitas dan dukungan tersebut didapat karena berbagai posisi politis yang diembannya.
Boris mulai muncul di posisi elit politik Inggris sejak menjadi anggota Parlemen dari wilayah Henley pada 2001-2008. Selanjutnya, Boris dipercaya menjadi Walikota London selama delapan tahun dari 2008-2016. Di akhir masa jabatannya, Boris juga kembali mencalonkan diri dan terpilih menjadi anggota Parlemen untuk wilayah Uxbridge sejak 2015.
Tak berhenti di situ, Boris kemudian diminta Theresa May menjadi menteri luar negeri pada 2016. Berbagai jabatan tersebut membuat popularitas Boris jauh mengungguli pesaingnya, Jeremy Hunt.
Karier politik Jeremy Hunt baru muncul pada 2005 saat dipilih menjadi menteri bayangan di partai Konservatif. Sebelumnya, ia merupakan seorang guru bahasa Inggris di Jepang kemudian menjadi pengusaha. Secara resmi di panggung politik Inggris, Hunt mulai dikenal saat menjabat sebagai menteri kesehatan pada 2012 hingga 2018.
Selanjutnya, ia diminta menjadi menteri luar negeri sejak 2018. Posisinya sebagai menteri menteri luar negeri bisa jadi mendongkrak elektabilitas Hunt. Akan tetapi, hal itu juga bisa menjadi penghalang karena identifikasi Hunt dengan pemerintahan May yang baru saja tumbang.
Hal yang sama tidak terjadi dengan Boris yang memposisikan diri sebagai oposisi May dengan mengundurkan diri dari jabatan menteri luar negeri pada 2017.
Baca Juga: Goncangan Parlemen Pasca Mundurnya Boris Johnson
Pekerjaan rumah
Siapapun yang akan terpilih menjadi perdana menteri, pertama-tama perlu membuka kembali kebuntuan pembicaraan tentang Brexit mengingat makin dekat tenggat waktu pelaksanaan Brexit, 31 Oktober 2019.
Terdapat minimal tiga pilihan yang dapat diambil oleh kedua kandidat dalam menyelesaikan Brexit.
Pilihan pertama adalah mengikuti kesepakatan yang telah dicapai oleh May. Pilihan ini terbukti tidak disetujui oleh Parlemen, bahkan ditolak tiga kali.
Pilihan kedua adalah mencoba menegosiasikan kembali persetujuan yang telah dicapai. Akan tetapi, Uni Eropa telah menyatakan bahwa kesepakatan yang telah dibuat tak dapat diubah.
Pilihan ketiga adalah bercerai tanpa kesepakatan, no deal Brexit. Parlemen sendiri menolak opsi ini.
Baca juga: Jalan Brexit Masih Sulit
Dengan menggunakan keunggulan sebagai salah seorang tokoh utama gerakan pro Brexit pada referendum 2016, Boris membuka kembali ingatan rakyat Inggris terhadap pilihan mereka. Boris menyatakan bahwa dirinya akan memberikan apa yang telah menjadi pilihan rakyat Inggris, yakni keluar dari Uni Eropa.
Pernyataan tegas tersebut memuat konsekuensi tentang opsi no deal Brexit, atau Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan terkait relasi di kemudian hari. Artinya, Inggris akan tetap keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober, entah mencapai kata sepakat atau tidak.
Sebagai daya tawar terhadap Uni Eropa, Boris Johnson juga mengusulkan untuk menunda pembayaran biaya perceraian dengan Uni Eropa sebesar 39 miliar ponsterling sesuai hasil kesepakatan yang telah dicapai Theresa May. Menurutnya, uang itu akan ditahan hingga tercapai kejelasan yang menyeluruh tentang jalan ke depan.
Di sisi lain, Jeremy Hunt menegaskan bahwa dirinya akan tetap mengusahakan bahwa Inggris keluar dari Uni Eropa dengan kesepakatan. Baginya, batas waktu hingga 31 Agustus bukanlah tanggal ketat. Ia akan berusaha untuk menegosiasikan kembali kesepakatan dengan Uni Eropa terkait Brexit.
Bayang-Bayang Backstop
Tiga pilihan di atas bermuara pada satu persoalan yang belum bisa diterima oleh Parlemen Inggris, yakni persoalan perbatasan Irlandia yang disebut backstop. Bahkan, Theresa May pun terjungkal karena kebuntuan terhadap persoalan tersebut.
Baca juga: Mabuk Brexit
Selama ini, karena berada dalam satu payung Uni Eropa, tak diberlakukan perbatasan keras antara Irlandia Utara yang merupakan wilayah Inggris dan Republik Irlandia. Oleh karena itu, lalu lintas barang dan orang tidak dibatasi dengan pos penjagaan yang ketat. Persoalannya adalah, ketika Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa, mau tidak mau perlu ada pos penjagaan untuk mengatur lalu lintas orang dan barang di antara kedua wilayah tersebut.
Theresa May berhasil mengunci persoalan tersebut dengan sebutan backstop. Artinya, entah proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa mencapai kata sepakat (deal) atau tidak (no deal), tak akan dibuat pos perbatasan yang terletak di perbatasan Irlandia Utara dengan Republik Irlandia.
Kesepakatan tersebut disetujui di awal oleh Theresa May mengingat ada ancaman dari wilayah Irlandia Utara untuk memisahkan diri dari Inggris apabila dibuat pos perbatasan yang ketat. Sekadar mengingatkan, dalam referendum Brexit 2016, wilayah Irlandia lebih memilih agar Inggris tetap berada dalam Uni Eropa.
Satu persoalan tersebut melibatkan beberapa pihak. Pertama tentu saja pemerintah Inggris, kedua pemerintahan wilayah Irlandia Utara, ketiga perintah Republik Irlandia, keempat Parlemen Inggris, dan Kelima Dewan Uni Eropa.
Baca juga: Sekali Brexit Tetap Brexit
Melihat peliknya persoalan Brexit terkait backstop, kedua kandidat tersisa menyatakan dengan tegas bahwa akan berupaya mengubah rencana backstop terhadap perbatasan Irlandia. Artinya, keduanya berupaya untuk mencapai kesepakatan baru dengan Uni Eropa.
Selain perlu mencapai kata sepakat dengan Dewan Uni Eropa, pemerintah Inggris juga harus dapat meyakinkan Parlemen Inggris bahwa hasil kesepakatan yang dicapainya sesuai kehendak Parlemen. Selama ini, Theresa May berhasil mencapai persetujuan dengan Uni Eropa, tetapi terganjal di Parlemen.
Becermin dari proses yang telah dilalui Theresa May, pemerintah yang baru perlu pertama-tama mendapatkan persetujuan dengan Parlemen terkait kesepakatan yang akan dibuat dengan Uni Eropa. Dengan mendapatkan persetujuan Parlemen terlebih dahulu, langkah negosiasi dengan pihak luar (Uni Eropa) akan lebih mendapat dukungan dari Parlemen.
Baca juga: Merebut Hati Parlemen Inggris
Cara lain untuk mendapatkan dukungan menyeluruh dari Parlemen adalah dengan meminta pemilu dipercepat. Cara tersebut pernah ditempuh oleh May pada 2017. Akan tetapi, bukan tambahan kursi bagi Partai Konservatif yang didapat, tetapi malah berkurangnya kursi yang berarti berkurangnya dukungan terhadap kebijakan May.
Tentu saja, kedua proses persetujuan baik dengan Parlemen dan Uni Eropa memerlukan proses yang tidak panjang. Bila tak tercapai kesepakatan hingga 31 Oktober, Inggris akan keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan.
Perdana Menteri di Inggris tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi diangkat dari ketua partai pemenang pemilu.
Penyelesaian proses tersebut juga dibayangi oleh kemungkinan disintegrasi ketika persoalan persoalan perbatasan Irlandia Utara tak terselesaikan dengan baik. Bukan tak mungkin, siapapun perdana menteri yang terpilih hanya akan mengulangi proses yang telah dilalui oleh Theresa May, bahkan bisa berakhir seperti Theresa May.
Tinggal satu opsi yang sampai sekarang belum pernah dicoba, melakukan referendum ulang terkait Brexit. Referendum baru memang sengaja dihindari oleh kebanyakan politisi karena membuka kemungkinan bahwa rakyat Inggris harus menjilat ludahnya sendiri.
Selain itu, bayangan proses negosiasi yang memakan waktu panjang dan biaya tinggi juga membuat banyak pihak enggan menoleh kepada pilihan tersebut. Akan tetapi, bisa jadi hal itulah yang akan menyelamatkan kesatuan Inggris dan krisis berkepanjangan terkait Brexit. (LITBANG KOMPAS)