Memasuki kemarau, warga di lima kecamatan di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mulai kesulitan mendapatkan air bersih. Permintaan bantuan air bersih sudah mereka ajukan untuk meminimalkan persoalan itu.
Oleh
HARIS FIRDAUS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
·3 menit baca
WONOSARI, KOMPAS — Memasuki kemarau, sebagian warga di lima kecamatan di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mulai kesulitan mendapatkan air bersih. Permintaan bantuan air bersih sudah mereka ajukan untuk meminimalkan persoalan itu.
”Lima kecamatan yang mengajukan dropping (bantuan) air adalah Girisubo, Rongkop, Tepus, Paliyan, dan Panggang,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Gunung Kidul Edy Basuki saat dihubungi, Kamis (20/6/2019).
Edy menjelaskan, berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, ada 15 kecamatan dari 18 kecamatan di Gunung Kidul yang berpotensi mengalami kekeringan saat puncak musim kemarau. Namun, hingga saat ini baru ada lima kecamatan yang secara resmi mengajukan permintaan bantuan air bersih. Permintaan bantuan air bersih itu diajukan karena warga mulai kesulitan mendapatkan air bersih.
Selama ini, warga di sejumlah wilayah Gunung Kidul masih mengandalkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. Mereka biasanya membangun tempat penampungan air di dekat rumah mereka untuk mengumpulkan air hujan.
Hal ini mesti dilakukan karena wilayah Gunung Kidul relatif tandus sehingga warga susah mendapat sumber air di bawah tanah melalui pembuatan sumur. Sementara itu, jaringan air bersih milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Gunung Kidul belum menjangkau seluruh wilayah.
Oleh karena itu, pada musim kemarau, sebagian warga kerap kesulitan mendapatkan air karena frekuensi hujan yang berkurang drastis. ”Di lima kecamatan yang meminta bantuan air bersih ini sebenarnya ada beberapa jaringan PDAM, tetapi tidak bisa menjangkau seluruh wilayah,” ujar Edy.
Edy memaparkan, BPBD Gunung Kidul sudah mulai menyalurkan bantuan air bersih ke lima kecamatan tersebut sejak 1 Juni 2019. Setiap hari, BPBD Gunung Kidul mengerahkan lima truk tangki untuk mengirimkan bantuan air bersih kepada masyarakat yang membutuhkan.
Setiap hari, masing-masing truk tangki mengirimkan air bersih sebanyak empat kali sehingga total ada 20 tangki air bersih yang dikirimkan kepada masyarakat dalam sehari. Ukuran tangki yang digunakan 5.000 liter-6.000 liter.
Menurut Edy, pemberian bantuan air bersih itu direncanakan dilakukan selama 110 hari atau sekitar empat bulan. Jumlah kecamatan yang membutuhkan bantuan air bersih pun kemungkinan bertambah karena musim kemarau diperkirakan masih berlangsung beberapa bulan ke depan.
”Kami menyiapkan anggaran sekitar Rp 530 juta untuk memberi bantuan air bersih ini,” katanya.
Sementara itu, sesudah kekeringan terjadi, sebagian warga terpaksa membeli air bersih untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Warga Desa Pucung, Kecamatan Girisubo, Gunung Kidul, Wakinem (60), menuturkan, ia terpaksa membeli air bersih dengan harga Rp 80.000 per tangki ukuran 5.000 liter.
”Satu tangki air ini hanya cukup untuk 10 hari. Saya punya cucu yang umurnya enam bulan, jadi harus sering cuci pakaian,” ujarnya.
Wakinem menambahkan, dia terpaksa membeli air karena bak penampung air hujan miliknya sudah kering. Padahal, sehari-hari, ia mengandalkan bak penampung itu untuk mencukupi kebutuhan air bersih karena jaringan PDAM belum sampai ke rumahnya.
”Sudah dua bulan terakhir ini kesulitan air,” ucapnya.
Hingga Oktober
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), wilayah DIY memang sudah memasuki masa kemarau sejak pertengahan April 2019. Musim kemarau itu dimulai dari wilayah DIY bagian selatan, seperti Gunung Kidul bagian selatan, Bantul bagian selatan, dan Kulon Progo bagian selatan.
”Secara iklim, wilayah DIY sudah memasuki musim kemarau sejak pertengahan April, dimulai dari wilayah DIY bagian selatan, kemudian berangsur-angsur memasuki wilayah tengah pada Mei. Berdasarkan monitoring (pemantauan) kami, bulan Juni ini, hampir seluruh wilayah DIY sudah memasuki musim kemarau,” kata Kepala Kelompok Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Mlati, Yogyakarta, Etik Setyaningrum.
Etik menuturkan, selama beberapa waktu ke depan, musim kemarau akan terus menguat setiap bulan. Berdasarkan perkiraan BMKG, puncak musim kemarau di DIY diperkirakan terjadi pada Agustus 2019. Sementara itu, musim kemarau diperkirakan akan berakhir pada Oktober mendatang.