Bau Gosong yang Sulit Kulupakan
Pertengahan Mei, 21 tahun lalu, situasi di Jakarta tidak menentu. Demonstrasi, penembakan mahasiswa di Trisakti, pendudukan Gedung DPR/MPR, pembakaran dan penjarahan toko dan rumah, pemerkosaan, serta kepulangan Presiden Soeharto dari Mesir, semua terjadi berturut-turut dalam waktu yang singkat.
Pertengahan Mei, 21 tahun lalu, situasi di Jakarta tidak menentu. Demonstrasi, penembakan mahasiswa di Trisakti, pendudukan Gedung DPR/MPR, pembakaran dan penjarahan toko dan rumah, pemerkosaan, serta kepulangan Presiden Soeharto dari Mesir, semua terjadi berturut-turut dalam waktu yang singkat.
Ketika itu saya merupakan wartawan baru yang bertugas di Desk Politik. Baru selesai menempuh pendidikan sebagai wartawan Kompas dan ditugasi memantau demonstrasi mahasiswa. Narasumber saya adalah mahasiswa-mahasiswa pergerakan, seperti mahasiswa yang tergabung dalam Forum Kota (Forkot). Beberapa di antaranya sekarang telah menjadi politisi atau petinggi partai.
Mereka rajin mengabarkan jadwal demonstrasi, lengkap dengan lokasinya di kampus apa dan jam berapa. Informasinya bukan melalui pesan singkat telepon genggam, melainkan lewat pager. Telepon genggam masih menjadi barang mewah saat itu.
Terkadang ketika meliput demo, polisi yang berjaga bilang, ”Dek, sana masuk barisan sama teman-temannya.”
Maksudnya, pak polisi meminta saya untuk bergabung bersama para mahasiswa pendemo yang posisinya berhadapan dengan barisan polisi.
”Saya liputan Pak, bukan demo,” kata saya sambil menunjukkan kalung tanda pengenal wartawan dan tetap berada di barisan polisi.
Berada di belakang barisan polisi merupakan salah satu strategi peliputan yang sedikit lebih aman. Ketika keadaan sudah memanas, biasanya polisi menembakkan gas air mata atau peluru karet ke arah demonstran. Namun, bisa jadi demonstran balas melempar batu atau bom molotov ke arah polisi. Kalau sudah begini, lebih baik minggir saja.
Eskalasi politik Indonesia yang semakin panas membuat kami bekerja lebih keras. Kami di redaksi sudah membuat tim yang anggotanya tidak hanya wartawan Desk Politik, tetapi juga wartawan dari desk lain. Semua perencanaan liputan di bawah kendali Kepala Desk Politik saat itu, James Luhulima.
Kejadian yang cepat dan di mana-mana memerlukan koordinasi peliputan dan penempatan orang yang tepat pula. Beberapa teman bahkan tidak pulang ke rumah, tidur di kantor, karena apapun dapat terjadi pada waktu yang tidak pasti. Makan malam kadang hanya cukup mengandalkan mi instan yang dimasak beramai-ramai di dapur kantor.
Beberapa teman bahkan tidak pulang ke rumah, tidur di kantor, karena apa pun dapat terjadi pada waktu yang tidak pasti. Makan malam kadang hanya cukup mengandalkan mi instan yang dimasak beramai-ramai di dapur kantor.
Warung makan yang biasa menyediakan makanan sudah jelas tutup. Bahkan, Pasar Palmerah yang hanya sepelemparan batu dari kantor pun ikut terbakar. Saya tetap pulang ke indekos karena hanya berjarak 40 langkah dari tembok pagar kantor. Tentu saja setelah kenyang makan mi instan.
Seperti pola kerusuhan yang sudah-sudah, setelah terjadi demonstrasi yang tidak terkendali dan tidak terdeteksi siapa massanya, biasanya akan diikuti dengan pembakaran dan penjarahan.
Begitu juga di Jakarta saat itu. Penjarahan kemudian terjadi di beberapa titik pada Rabu (13/5/1998) dan Kamis (14/5/1998). Kejadian terbesar terjadi di Sentral Plaza, Klender, yang dikenal juga dengan nama Toserba Yogya. Massa masuk ke dalam plaza yang gelap untuk mengambil apa saja. Ketika mereka sedang berada di dalam, kebakaran terjadi. Korban baru dapat dievakuasi pada Jumat (15/5/1998) pagi.
Hari Jumat itu saya mendapat tugas ”duduk manis” di kantor saja. Menurut rencana, hanya memantau dan menerima berita-berita dari teman-teman di lapangan. Namun, tengah hari, redaktur pelaksana waktu itu, Mas Ace Suhaedi Madsupi, mengatakan, ”Kayaknya di RSCM belum ada yang pantau tuh. Ini sekalian sama temen wartawan lain, coba ke sana.”
Saat itu di kantor sedang ada seorang wartawan. Saya agak lupa, kalau tidak dari Korea, ya, dari Jepang. Akhirnya kami berangkat bareng. Untung saja ada taksi biru melintas yang kemudian kami tumpangi. Jalanan masih lengang. Perjalanan dari Palmerah ke RSCM di Salemba terhitung cepat.
Sebenarnya liputan ke kamar jenazah sudah beberapa kali saya lakukan ketika bertugas di Desk Metropolitan. Banyak berita-berita kota menarik berasal dari kamar jenazah. Polisi selalu mengirim jenazah korban kejahatan atau kecelakaan ke RSCM.
Namun, kali ini suasana kamar jenazah RSCM terasa sangat berbeda, sibuk sekali. Ambulans keluar dan masuk. Ternyata sudah ada rekan saya sesama wartawan Kompas, Yunas Santhani, di halaman kamar jenazah. Dia tersenyum kecut. ”Lihat saja ke dalam,” katanya.
Rekan wartawan dari beberapa media juga sudah berkumpul. Ambulans masih berdatangan. Ketika dibuka, petugas menurunkan beberapa jenazah sekaligus. Petugas kamar jenazah menerima dan siap dengan catatan, lalu bertanya dingin, ”Dari mana? Berapa?”
Sebagian jenazah berada dalam kantong hitam. Sebagian lagi tidak. Semua jenazah legam. Api membuat daging menjadi gosong menghitam. Bentuk tubuh sudah tidak keruan. Hanya ada sisa-sisa daging hitam yang menempel di tulang. Panas membuat tulang mengerut sehingga jenazah menjadi lebih kecil.
Jenazah-jenazah itu diletakkan di aula. Teronggok. Beberapa tidak ditempatkan di dalam kantong. Ada yang dalam posisi meringkuk. Ada pula yang membujur kaku dengan tubuh yang masih lebih baik dari jenazah lain, mungkin karena letaknya jauh dari panas api, tetapi sudah tidak dapat bernapas. Sungguh sulit membayangkan bagaimana keadaan mereka ketika menghadapi saat-saat akhir hidupnya.
Orang-orang berdatangan berusaha menemukan jenazah kerabatnya. Namun, sebagian besar jenazah sudah sangat sulit dikenali. Tubuh-tubuh manusia itu hanya seperti seonggok arang hitam yang seolah tidak berharga. Hingga siang menjelang sore mungkin ada sekitar 200 jenazah terbakar yang dikirim ke kamar jenazah RSCM.
”Bapak sudah bilang, jangan main keluar,” teriak seorang bapak sambil menangis di dekat sesosok jenazah yang diyakini anaknya.
Telepon umum yang ada di selasar ruang jenazah ikut sibuk. Beberapa orang menelepon sambil menangis, mencari kabar kepastian kerabat mereka ada atau tidak di antara jenazah itu.
Ada mitos di kalangan wartawan yang meliput di kamar jenazah, seburuk apa pun keadaan jenazah, jangan pernah membuang ludah. Begitu selesai membuang ludah, biasanya pertahanan luruh. Isi perut bisa keluar semua. Saya pun ikut memercayai mitos itu.
Saya merogoh tas, memberi beberapa keping uang logam kepada seseorang untuk menelepon. Perasaan saya campur aduk. Ngeri. Marah. Sedih. Bau daging gosong menguar hingga ke luar kamar jenazah. Tidak ada lagi bau formalin seperti biasanya.
Ada mitos di kalangan wartawan yang meliput di kamar jenazah, seburuk apa pun keadaan jenazah, jangan pernah membuang ludah. Begitu selesai membuang ludah, biasanya pertahanan luruh. Isi perut bisa keluar semua. Saya pun ikut memercayai mitos itu.
Ditarik pulang
Sejak suasana politik menghangat, selain pager, kami dibekali handy talky (HT). Hanya sedikit yang menggunakan telepon genggam. Dengan HT, komunikasi menjadi lebih mudah karena anggota Desk Politik bisa saling mengetahui situasi dan posisi rekan lainnya.
Kami berbagi informasi dengan rekan dari Radio Sonora yang juga melaporkan situasi melalui HT dan disiarkan di radio. Di lapangan, selain kami, hanya petugas intelijen berbaju sipil yang menggunakan HT. Akibatnya, kadang-kadang para demonstran mencurigai kami sebagai intel karena menenteng-nenteng HT.
Saya kemudian dipanggil Kepala Desk Politik James Luhulima. Saya lupa, apakah lewat telepon atau HT.
”Di mana?”
”RSCM.”
”Pulang sekarang. Pulang!”
Tidak perlu banyak tanya, saya tahu apa arti dari nada bicaranya itu. Saya tidak terlalu lama berada di kamar jenazah RSCM, mungkin hanya 2 jam. Saya lalu mencari Yunas, mengatakan bahwa JL—panggilan untuk James Luhulima—meminta saya pulang ke kantor.
”Ya udah, gue jaga di sini,” kata Yunas.
Saya kembali ke kantor bersama wartawan asing yang tadi ikut bersama saya. Suasana masih lengang. Sepanjang jalan pulang, saya berpikir, kenapa sih JL selalu mencari-cari saya.
Satu hari sebelumnya, saya meliput demonstrasi di kawasan Semanggi. Menjelang sore, JL kembali menelepon (atau memanggil melalui HT) menanyakan posisi saya.
”Semanggi, nih.”
”Cari tempat aman. Pulang sebelum gelap. Nanti ada anak rumah tangga yang jemput.”
Saya lalu mlipir ke arah Pasar Bendungan Hilir. Sekitar setengah jam kemudian, salah seorang rekan menjemput. Ah, mungkin saya satu-satunya wartawan yang pulang liputan demo dijemput Vespa kantor.
Bertahun-tahun kemudian, ketika saya pindah ke Desk Ekonomi, saya bertanya mengapa mantan editor saya itu selalu mencari-cari di mana saya berada ketika terjadi kerusuhan Jakarta.
”Ya gimana, elu kan sakit-sakitan terus,” kata JL sambil tertawa.
Benar juga sih, dalam waktu yang singkat di Desk Politik, saya sudah kenyang dengan sakit tifus, hepatitis, dan cacar air.
Seperti saat berangkat, pulang dari RSCM menuju Palmerah juga tidak butuh waktu lama. Sampai kantor, dari jauh saya lihat JL mukanya tertekuk.
”Ke mana sih, jangan pergi-pergi tanpa setahu gue.”
Saya cuma nyengir. Sampai di kantor, bau sangit dari daging yang terbakar masih terasa menempel di baju dan rambut. Segera saya mandi. Selesai mandi, bau itu masih tetap ada. Serpihan-serpihan jelaga hitam di baju pun tidak hilang juga. Keesokan harinya, baju dan celana jins itu saya cuci. Setelah kering, ternyata masih juga berbau.
Baca juga: Dag-dig-dug Gara-gara Koper
Bau itu pun terus ada di kepala saya hingga beberapa bulan kemudian. Tetap pekat. Ditambah dengan terbangun di tengah malam akibat mimpi buruk tentang demonstrasi dan kerusuhan. Sekitar dua tahun, saya tidak berani makan sate.
Padahal, biasanya lahap makan sate ayam madura Pak Syukur yang ada di dekat kantor. Ayam bakar? Tidak lagi. Apalagi ayam bakar dengan kecap kehitaman dengan gosong-gosong yang menempel. Atau steak daging. Sejujurnya sebelum kerusuhan saya juga jarang sih makan steak daging. Mahal!
Mungkin, setiap orang berkontribusi pada terjadinya kesalahan. Banyak orang tersakiti pada rentetan peristiwa itu. Banyak hati yang menangis. Banyak orang yang tidak lagi pulang.
Baca juga: Tujuh Hari di Markas Uni Eropa
Mungkin juga hingga 21 tahun ini tetap ada stigma ”penjarah” yang melekat pada keluarga mereka. Namun, selalu ada kesempatan untuk saling memaafkan dan memperbaiki keadaan serta melanjutkan kehidupan. Jangan sampai terjadi lagi!
If you think you\'ve had too much
Of this life
Well, hang on
’Cause everybody hurts
Take comfort in your friends
Everybody hurts
Don’t throw your hand
(lirik lagu Everybody Hurts oleh R.E.M)