Restrukturisasi Utang Krakatau Steel Selesai Akhir Juni Ini
Sejumlah bank akan menandatangani perjanjian restrukturisasi utang dengan perusahaan pengolah baja PT Krakatau Steel Tbk pada akhir Juni. Restrukturisasi dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja keuangan perusahaan pelat merah itu yang masih merugi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
Pegawai Krakatau Steel memantau pembuatan lembaran baja panas di Cilegon, Banten, Jumat (24/4/2015).
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah bank akan menandatangani perjanjian restrukturisasi utang dengan perusahaan pengolah baja PT Krakatau Steel Tbk pada akhir Juni ini. Restrukturisasi dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja keuangan perusahaan pelat merah tersebut yang masih merugi.
Direktur Corporate Banking PT Bank Mandiri Tbk Royke Tumilaar mengatakan, Bank Mandiri dan Krakatau Steel akan menandatangani perjanjian restrukturisasi utang (master restructuring agreement/MRA) sebelum akhir bulan ini. Upaya untuk merestrukturisasi utang yang ditawarkan PT Bank Mandiri Tbk kepada Krakatau Steel dibagi dalam tiga skema (tranche).
”Skema A, utang dilunasi dari aliran kas perusahaan, skema B dilunasi dari penjualan aset penunjang perusahaan, lalu skema C1 konversi menjadi obligasi konversi dan C2 pelunasan dari kelebihan aliran kas,” kata Royke saat dihubungi, Rabu (19/6/2019).
Saat ini, Bank Mandiri diketahui menjadi kreditor terbesar Krakatau Steel dengan jumlah kredit jangka pendek senilai 225 juta dollar AS.
Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk juga telah siap menandatangani keputusan skema restrukturisasi yang dibuat. Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja saat dihubungi lewat pesan singkat belum lama ini mengatakan, proses itu tinggal menunggu negosiasi suku bunga.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim, saat ditemui di Jakarta, Senin (17/6/2019), menyatakan, penandatanganan perjanjian dengan sejumlah bank swasta nasional dan asing juga masih dalam proses negosiasi. Meski belum bisa menyebutkan berapa jumlah bank yang akan terlibat, Silmy memastikan proses itu selesai pada akhir Juni.
Dalam mendapatkan kesepakatan perjanjian tersebut, Silmy menyebutkan, Krakatau Steel juga turut dibantu Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
”Ini kami lakukan demi kepentingan nasional, dalam hal ini industri baja, agar masa depannya lebih baik. Jadi, ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan antara peran pemerintah, perbankan, dan industri,” ujar Silmy.
Restrukturisasi utang tersebut diharapkan dapat memperbaiki kinerja keuangan Krakatau Steel. Pada 2018, Krakatau Steel memiliki utang senilai 2,49 miliar dollar AS. Nilai itu naik sekitar 10 persen dibandingkan dengan total utang pada 2017 yang sebesar 2,26 miliar dollar AS.
Adapun angka rugi bersih perusahaan pada 2018 tercatat 74,82 juta dollar AS. Sementara pada 2017 totalnya sebesar 81,74 juta dollar AS.
Pembentukan ”holding”
Restrukturisasi utang yang tengah dikejar saat ini juga dilakukan agar Krakatau Steel dapat bergabung dengan perusahaan BUMN lain. Saat ini, Krakatau Steel direncanakan untuk bergabung dengan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalium) Persero, yang berlaku sebagai calon perusahaan induk (holding) BUMN pertambangan.
”Setelah restrukturisasi utang, organisasi, dan lainnya selesai, tentunya akan menjadi lebih baik ketika dibungkus melalui proses holding dengan Inalum. Kami sama-sama sedang membereskan perusahaan masing-masing. Ketika sudah siap, ya, baru bisa diproses melalui peraturan pemerintah,” lanjutnya.
Setelah restrukturisasi utang, organisasi, dan lainnya selesai, tentunya akan menjadi lebih baik ketika dibungkus melalui proses holding dengan Inalum.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan, upaya pembentukan holding BUMN pada usaha sejenis memang perlu dilakukan secara hati-hati.
”Jika ada BUMN yang rugi terus, perlu penanganan khusus. Paling tidak, menuju sehat dulu baru bisa holding dilakukan,” ucapnya.
Sejak November 2017, Inalum telah menjadi holding industri pertambangan. Adapun perusahaan yang berkonsolidasi di bawah holding tersebut antara lain PT Antam Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Timah Tbk, dan PT Freeport Indonesia.
Berdasarkan laporan keuangan semester pertama holding tersebut, Inalum membukukan laba bersih konsolidasi mencapai Rp 5,4 triliun. Nilai itu tumbuh 170 persen dari laba bersih pada periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu Rp 2 triliun.