Teror, Pelecehan, hingga Nyawa
Oktober 2018 menjadi masa yang muram bagi Tina. Gara-gara tak mampu melunasi utang dari aplikasi pinjaman daring, perempuan berusia 27 tahun tersebut kehilangan pekerjaan dan dipermalukan. Tina mengalami guncangan mental dan sempat berpikir untuk bunuh diri.
Setiap hari selama Oktober, pesan singkat dan panggilan masuk membuat telepon seluler Tina berdering hampir tiap jam. Tujuannya satu, agar Tina melunasi utang dan bunga yang sudah berkali lipat dari pinjaman pokok. “Saya merasa diteror,” ujar Tina, menceritakan kembali kisahnya itu, Sabtu (15/6/2019).
Tina memang tak pernah menduga akan terlilit utang hingga sebesar Rp 50 juta. Utang yang diperoleh dari 14 aplikasi pinjaman daring itu memiliki waktu jatuh tempo pinjaman hampir bersamaan. Sebagian sudah lewat dari tenggat pembayaran.
Akibat utang tersebut, Tina kerap dibentak dan disindir melalui panggilan telepon dan pesan singkat. Tina juga dipermalukan. Penagih utang dari aplikasi pinjaman daring itu menghubungi teman-teman dan atasan Tina. Dalam kondisi terpuruk karena malu, Tina justru kehilangan pekerjaan.
Tina diminta mengundurkan diri oleh atasan dari pekerjaannya sebagai pegawai administrasi di sebuah kantor asosiasi. Hal itu terjadi usai si penagih utang menghubungi dan memberitahu atasan Tina bahwa anak buahnya memiliki sejumlah utang yang belum dibayarkan.
“Karena malas terus menerus dihubungi penagih utang dan tidak ingin terlibat lebih jauh, atasan saya meminta saya mengundurkan diri,” ujar Tina.
Penagih utang itu memperoleh kontak ponsel atasan Tina dengan cara menyedot data daftar kontak dari ponsel Tina. Pada saat mengunduh aplikasi pinjaman daring, Tina tidak cermat membaca klausul yang aplikasi bisa lakukan terhadap ponsel. Dalam daftar perizinan itu, aplikasi mampu mengakses data daftar kontak ponsel Tina.
Tak hanya kontak ponsel, aplikasi pinjaman daring ini juga mampu mengakses data pribadi, riwayat lalu lintas telpon, dan percakapan pesan singkat. Dari data itu, para penagih kemudian menghubungi orang-orang yang ada dalam buku kontak para peminjam.
Penagih utang itu memperoleh kontak ponsel atasan Tina dengan cara menyedot data daftar kontak dari ponsel Tina. Pada saat mengunduh aplikasi pinjaman daring, Tina tidak cermat membaca klausul yang aplikasi bisa lakukan terhadap ponsel.
Persoalan hidup Tina bertambah, lantaran sempat cekcok dengan keluarganya. Ayahnya kecewa karena Tina keluar dari pekerjaan ketika sedang terlilit utang. Bahkan, ayah Tina pun ikut diteror penagih utang.
Tabungan ayahnya yang seorang pensiunan dan kini bekerja sebagai sopir antar jemput siswa SD ditambah ibunya yang bekerja menjadi guru, tak cukup untuk melunasi utang Tina. Selain harus membiayai kebutuhan rumah tangga harian, mereka juga masih harus mendanai pendidikan adik Tina yang masih SMA.
Merasa depresi dan tidak memiliki jalan keluar, Tina sempat terbersit untuk mengakhiri hidup. Selama berhari-hari, Tina mengurung diri di kamar dan tidak mengonsumsi makanan apapun. Saat keluar kamar pun, Tina berhari-hari menghabiskan waktu hingga lima jam di kamar mandi hanya untuk melamun dan merenungi nasib.
“Saya tertekan dan takut. Saya bingung bagaimana cara melunasinya. Saya tidak mengerti hukum, saya takut masuk penjara karena utang, dan sempat ingin bunuh diri,” kata Tina.
Perlahan Tina menemukan kembali harapan usai memperoleh kabar posko bantuan hukum korban pinjaman daring yang dibuka oleh kantor Lembaga Bantuan Hukun (LBH) Jakarta.
Didampingi LBH Jakarta, Tina menjadi lebih percaya diri untuk menyelesaikan utangnya. Tina sudah mengirimkan surat permintaan restrukturisasi utang ke 14 aplikasi pinjaman daring itu. Perlahan tapi pasti, Tina yang kini bekerja sebagai pengojek daring, beritikad baik melunasi utangnya.
Berbeda dengan Tina yang mengurungkan kembali niatnya mengakhiri hidupnya. Lantaran terlilit utang pinjaman daring Zulfadli (35) justru memilih mengakhiri nyawanya dengan gantung diri rumah kos kawannya di Jalan Mampang Prapatan, Tegal Parang, Jakarta Selatan, Senin (11/2/2019) lalu.
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai sopir taksi ini diketahui memiliki pinjaman daring yang diduga sebesar Rp 500.000. Nilai pinjaman itu terus membengkak karena bunga harian yang tinggi dan lama diangsur, sehingga membebani Zulfadi.
Pelecahan seksual
Kisah muram akibat terlilit utang pinjaman daring juga dialami FY (30). FY mengungkapkan, pernah suatu kali dilecehkan secara seksual penagih utang.
Penagih utang menyuruh FY untuk menanggalkan pakaian dan menari di tepi rel kereta api. Jika menyanggupi, utang FY akan dianggap lunas. “Dia bilang, saya mesti nari-nari telanjang. Saya mesti joget-joget di pinggir rel. Supaya dianggap lunas (utangnya),” ujar FY.
Dia bilang, saya mesti nari-nari telanjang. Saya mesti joget-joget di pinggir rel. Supaya dianggap lunas (utangnya).
FY terlilit utang dari delapan aplikasi dengan nilai total pinjaman ditambah bunga dan denda hingga mencapai Rp 50 juta. Seperti halnya Tina, FY kini bersama-sama menjalani proses restrukturisasi utang didampingi LBH Jakarta.
Penagihan dengan cara pelecehan seksual dan penyebaran konten pornografi pernah dialami tiga korban pinjaman daring lainnya, yakni IW, SN, dan MD. Ketiganya pernah menjadi korban penagih utang dari aplikasi VLoan yang menyebarkan konten pornografi dan berisi kata-kata pelecehan seksual agar mereka mau membayar utangnya.
Masing-masing dari mereka pernah dimasukkan ke dalam sebuah grup Whatsapp oleh penagih utang. Grup Whatsapp itu berisi mereka dan teman-teman dalam kontak ponselnya.
Penagih utang kemudian mengunggah gambar dan video porno dari internet ke dalam grup itu. Lalu penagih utang mengancam akan memasukan benda tumpul ke alat kelamin korban, seperti yang ada di dalam gambar dan video porno itu, jika mereka tidak membayar utangnya.
IW, SN, dan MD lalu mengadu ke Badan Reserse Kriminal Polri. Empat orang pelaku penagih utang sudah ditangkap polisi pada 29 November lalu. Kini mereka meringkuk di Rumah Tahanan Salemba. Mereka terbukti melanggar Undang-Undang (UU) tahun 2008 tentang Pornografi dan Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Perlakuan tak menyenangkan dari penagihan utang lainnya pernah dialami Endah (28). Dia pernah diminta penagih utang menjual ginjalnya untuk melunasi utangnya. “Memang saat itu saya belum bisa melunasi utang, tetapi permintaan menjual ginjal itu menyinggung sekali,” ujar Endah yang mengaku terlilit utang di 23 aplikasi dengan rata-rata pinjaman sekitar Rp 1 juta per aplikasi.
Mencuat dan membeludaknya korban penagihan aplikasi pinjaman daring ini membuat LBH Jakarta membuka posko pengaduan korban pinjaman daring sejak 4-25 November 2018. Meski posko sudah tutup, LBH Jakarta masih menerima pengaduan.
Pengacara publik LBH Jakarta Yenny Silvia Sari Sirait mengatakan, sampai dengan awal Maret, LBH Jakarta menampung sekitar 3.091 pengaduan korban penagihan aplikasi pinjaman daring dari 34 provinsi.
https://youtu.be/z0urlLxY_Lw
Tindak pidana
Yenny menjelaskan, LBH mendampingi korban karena dalam penagihan utang terdapat berbagai tindak pidana. ”Lima dugaan tindak pidana itu adalah ancaman dari pihak penagih utang, fitnah, penipuan, pencurian data pribadi, dan pelecehan seksual,” ujar Yenny.
Lima dugaan tindak pidana itu adalah ancaman dari pihak penagih utang, fitnah, penipuan, pencurian data pribadi, dan pelecehan seksual.
Ia menjelaskan, pengaduan 3.000 korban yang ditampung LBH Jakarta itu slsudah dilaporkan ke Polda Metro Jaya secara bertahap sejak 23 Maret lalu. Yenny berharap kepolisian bisa mengusutnya.
Ia menegaskan, LBH Jakarta membantu para korban untuk mengusut pelanggaran tindak pidana yang mereka alami bukan agar korban bisa terbebas dari utang. LBH Jakarta juga memberikan pelatihan agar para korban bisa merestrukturisasi utang dan perlahan bisa membayar utangnya.
”Memang betul bahwa kegagalan membayar utang itu adalah urusan perdata antara pemberi dan peminjam. Namun, saat penagihan utangnya, terjadi dugaan pelanggaran pidana. Ini yang kami minta polisi untuk mengusutnya,” kata Yenny.
Saat dikonfirmasi, Direktur Perizinan Pengaturan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi mengatakan, OJK hanya menangani tekfin-tekfin legal. Adapun penanganan korban tekfin ilegal diserahkan sepenuhnya kepada Asosiasi Fintech Pembiayaan Indonesia (AFPI). AFPI, kata Hendrikus, telah memiliki code of conduct yang mengatur pinjam-meminjam dana secara bertanggung jawab.
Menurut Hendrikus, publik harus segera disadarkan untuk sangat berhati-hati ketika menggunakan layanan daring. Publik mesti memastikan data-data mereka tidak berpindah tangan ke pihak lain kemudian disalahgunakan.
Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengakui, sebelum memutuskan untuk mengambil pinjaman daring, konsumen seharusnya mencermati dan meneliti dulu status legalitas perusahaan.
“Banyak korban pinjaman daring itu yang meminjam di perusahaan aplikasi yang tidak terdaftar di OJK dan asosiasi,” tutur Kuseryansyah.
AFPI mengimbau konsumen untuk mencermati juga serta syarat dan ketentuan yang diminta aplikasi pinjaman seperti besaran bunga, lama pinjaman, hingga denda keterlambatan.
Selain itu, AFPI mengimbau konsumen untuk mencermati juga serta syarat dan ketentuan yang diminta aplikasi pinjaman seperti besaran bunga, lama pinjaman, hingga denda keterlambatan. “Ini bagian dari literasi keuangan konsumen yang belum baik. Maka edukasi harus dilakukan terus menerus,” kata Kuseryansyah.