Keandalan infrastruktur untuk konektivitas diuji saat mudik Lebaran. Berbagai skenario diupayakan agar arus orang dan kendaraan berjalan lancar. Namun, hal itu tidak mudah karena pergerakan terjadi secara masif dalam periode yang pendek.
Nyaris bersamaan dengan momen Lebaran, kabar baik datang dari lembaga riset yang berbasis di Swiss, International Institute for Management Development (IMD), yang merilis peringkat daya saing negara-negara di dunia. Dalam laporan tersebut, daya saing Indonesia 2019 naik signifikan, dari peringkat ke-43 menjadi ke-32. Indikator perbaikan itu adalah efisiensi birokrasi, kondisi bisnis, dan pembangunan infrastruktur. Peningkatan daya saing Indonesia disebutkan sebagai yang tertinggi di kawasan Asia.
Dampak pembangunan infrastruktur mulai menampakkan hasil. Kendati bertahap, pembangunan infrastruktur——yang sebagian sudah selesai— berdampak positif pada peningkatan daya saing. Pengalihan belanja subsidi menjadi belanja produktif, terutama infrastruktur, sejak 2015 menjadi tidak sia-sia.
Infrastruktur di Indonesia memang masih tertinggal. Laporan Bank Dunia pada 2015 mencatat, stok Infrastruktur Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2012 hanya 38 persen. Padahal, sebelum reformasi, stok infrastruktur Indonesia mencapai 49 persen.
Stok infrastruktur Indonesia hanya lebih tinggi daripada Brasil yang 16 persen. Namun, angka itu tertinggal dibandingkan dengan India yang 58 persen, China 76 persen, atau Afrika Selatan yang sudah mencapai 87 persen. Sementara salah satu prasyarat menjadi negara maju adalah ketersediaan infrastruktur, seperti Jepang, yang mencapai 179 persen.
Pembangunan infrastruktur tetap menjadi tulang punggung program pemerintah, selain meningkatkan sumber daya manusia. Sebab, untuk meningkatkan daya saing, Indonesia harus mengejar ketertinggalan infrastruktur. Jika tidak dibangun dari sekarang, Indonesia bisa tertinggal.
Infrastruktur yang dibangun saat ini akan dinikmati pemerintahan pada masa mendatang. Infrastruktur yang andal akan mendorong produktivitas, mengurangi ongkos logistik, menciptakan lapangan kerja, serta mengembangkan akses pasar ataupun sektor yang sudah ada. Semua hal itu bermuara pada pertumbuhan ekonomi.
Namun, pembiayaan menjadi tantangan untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur. Dari kebutuhan pendanaan yang mencapai Rp 4.700 triliun, pemerintah hanya bisa menyediakan paling banyak sekitar 40 persen, BUMN sekitar 23 persen. Adapun 37 persen sisanya diharapkan dari swasta.
Sebagian besar pendanaan memang diperlukan untuk membangun infrastruktur yang mendukung konektivitas antarwilayah dan antarpulau, seperti jalan, jalan tol, pelabuhan, dan bandara, termasuk konektivitas di perkotaan. Namun, kebutuhan untuk infrastruktur dasar, seperti pemenuhan air minum dan sanitasi, juga masih sangat besar. Tidak hanya itu, infrastruktur untuk industri dan pariwisata juga memerlukan dana yang tidak sedikit.
Pemerintah berulang kali menyatakan, proyek infrastruktur terbuka bagi swasta dalam negeri atupun asing. Berbagai skema pembiayaan diciptakan agar sebuah proyek menjadi layak secara finansial. Deregulasi dilakukan untuk mempermudah investasi masuk ke Indonesia.
Laporan mengenai peningkatan daya saing Indonesia memberikan optimisme baru. Jalur yang sudah ada mesti dipertahankan sambil mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, yaitu meningkatkan sumber daya manusia dan kemudahan perizinan. (NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR)