Sebagian panti sosial di Ibu Kota kini "overload" atau kelebihan orang. Panti-panti itu terisi oleh penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dari berbagai daerah yang tidak memiliki ketrampilan. Ada kekhawatiran jumlah PMKS yang tidak tertampung di panti sosial makin bertambah seiring dengan makin banyaknya pendatang baru tanpa ketrampilan.
Oleh
Ayu Pratiwi/Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian panti sosial di Ibu Kota kini ”overload” atau kelebihan orang. Panti-panti itu terisi oleh penyandang masalah kesejahteraan sosial yang tidak memiliki keterampilan dari banyak daerah. Ada kekhawatiran jumlah PMKS yang tidak tertampung di panti sosial makin bertambah seiring dengan makin banyaknya pendatang baru tanpa keterampilan.
”Panti sosial di Jakarta semakin penuh. Sebagian dalam kondisi overload. Kebanyakan (warga yang dibina panti sosial) bisa dibilang bukan berasal dari Jakarta,” kata Kepala Seksi Pengembangan Data dan Informasi Dinas Sosial DKI Jakarta Dewi Aryati Ningrum, mengutip pernyataan Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial DKI Jakarta Yayat Duhayat, Rabu (12/6/2019), di Jakarta.
Sebagai contoh, Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2, Jakarta Timur, menangani 556 warga binaan sosial. Padahal, kapasitas hanya untuk 500 orang. Di Sasana Bina Insan Cengkareng, Jakarta Barat, yang juga menangani penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) jalanan, jumlah warga binaan sosial yang ditangani 390 orang. Angka itu lebih dari kapasitas yang seharusnya untuk 350 orang. Kapasitas setiap panti sosial di bawah Dinas Sosial DKI Jakarta ditentukan sesuai dengan APBD 2019.
Dewi menambahkan, jumlah PMKS asal Jakarta diperkirakan sudah tidak banyak lagi berkat sejumlah program bantuan oleh pemerintah. Beberapa program itu di antaranya program pangan murah, Kartu Jakarta Pintar, dan program pengembangan kewirausahaan terpadu.
Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta menyatakan, pendatang baru ke Jakarta bertambah selama beberapa tahun terakhir. Setelah Idul Fitri, misalnya, sejak 2013 jumlah pendatang baru ke Jakarta rata-rata 67.132 orang atau naik 6,86 persen per tahun.
Pada 2018, sebagian besar pendatang baru datang ke Jakarta untuk pekerjaan (33 persen), mencari kerja (22 persen), ikut keluarga (21 persen), sekolah (18 persen), dan lainnya (6 persen).
Hal yang dicemaskan adalah pendatang baru yang merantau ke Jakarta tanpa memiliki keterampilan, keahlian, tempat tinggal, ataupun alasan yang jelas. Mereka rentan tidak mendapat pekerjaan dan menjadi PMKS baru di Jakarta. Meskipun demikian, membatasi jumlah pendatang baru tidak memungkinkan bagi Pemprov DKI Jakarta saat ini.
Sejak 2018, Pemprov DKI Jakarta tidak lagi melaksanakan operasi yustisi. Pada operasi itu identitas pendatang baru dicek di stasiun dan terminal. Kini, operasi itu diganti dengan pendataan warga baru di tingkat RT/RW, kemudian dilakukan layanan bina kependudukan. Pendataan itu akan dilakukan pada 14-25 Juni 2019.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Rabu (12/6/2019), di Jakarta, mengatakan, penghapusan operasi yustisi bukan berarti Pemprov DKI Jakarta mengundang dengan bebas warga dari luar daerah untuk tinggal di Jakarta. Dia hanya tidak ingin mendiskriminasi warga yang datang ke Jakarta.
”Kami kebijakannya adalah kesetaraan. Kami memandang, siapa pun warga negara Indonesia bisa pergi ke kota mana pun, bisa mengadu nasib di kota mana saja untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik,” tutur Anies.
Menurut Anies, operasi yustisi tak bijak dilakukan karena seakan-akan memandang warga di luar Jakarta sebagai warga kelas dua. Baginya, masyarakat yang terkena operasi-operasi semacam itu adalah rakyat kecil yang datang dengan modal terbatas.
Diimbau punya keterampilan dan pekerjaan
”Pemerintah tidak mungkin menghalangi orang lain untuk datang ke Jakarta. Siapa saja berhak datang ke Jakarta. Yang bisa kami lakukan adalah mengimbau mereka agar sudah punya pekerjaan, memiliki keterampilan yang bisa digunakan untuk kerja, atau rencana yang jelas. Mereka yang tidak punya tempat tinggal, bermodal nekat, dan kehabisan uang rentan menjadi PMKS dan menjadi masalah baru,” tutur Dewi.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, turut menekankan bagaimana pendatang baru di Jakarta yang tidak dapat pekerjaan dapat menimbulkan kerawanan sosial. ”Mereka yang tidak memiliki keterampilan dan tempat tinggal menjadi masalah. Mereka menjadi pengemis. Muncullah kerawanan sosial,” ucapnya.
Sementara itu, pendatang baru yang memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dipastikan dapat memberikan dampak yang positif terhadap hidup di perkotaan. ”Di Jakarta, ada banyak proyek pembangunan. Industri jasa juga perlu banyak tenaga kerja. Jadi, keberadaan pendatang baru sangat positif karena berkat mereka tenaga kerja banyak tersedia,” ujar Trubus.