Sejak akhir Mei sampai Minggu (9/6/2019), Pantai Berawa dihuni ”makhluk asing”. Tak tanggung-tanggung, seekor gurita raksasa telah menarik perhatian begitu banyak pengunjung Pantai Berawa di Desa Tibubeneng, Kuta Utara, Badung, Bali. Delapan tangan gurita membentuk garis sepanjang 300 meter dan tubuhnya menjulang setinggi 20 meter.
Gurita raksasa yang diberi judul ”Octopus Giant” oleh penciptanya, I Ketut Putrayasa (38), itu menjadi makhluk propaganda untuk menggugah kesadaran tentang pentingnya menjaga kawasan pesisir, terutama laut. ”Kalau sampai gurita muncul ke permukaan, berarti laut sudah begitu tercemar, terutama oleh limbah plastik,” kata Putrayasa, Senin (3/6/2019), di Gallery Rich Stone Art and Space, Badung.
Putrayasa gundah ketika menyaksikan banyak binatang laut mati karena sampah plastik. Sebagai anak yang lahir di pesisir Berawa, ia merasa terusik sekaligus tertantang untuk berbuat sesuatu. Ia kemudian memilih gurita sebagai bahasa propaganda. ”Kepala gurita itu mirip otak manusia. Di situ, saya ingin menggugah kesadaran kita tentang pentingnya menjaga ekologi laut,” katanya.
Untuk karya yang mengemban misi ekologis, Putrayasa memilih bambu guna mewujudkan seluruh tubuh gurita. ”Saya menghabiskan 30.000 lembar anyaman bambu yang dikerjakan oleh 200 seniman,” ujar alumnus ISI Denpasar ini. Pembuatan karya instalasi ini bertepatan dengan penyelenggaraan Berawa Art Festival yang digagas warga desa setempat.
Desa Tibubeneng, di mana Putrayasa bertempat tinggal, memintanya untuk membuat karya yang bisa menjadi ikon festival. Permintaan itu kemudian direspons Putrayasa dengan membangun gurita raksasa, yang sekaligus berfungsi sebagai panggung utama festival. Dengan begitu, kata Putrayasa, karya instalasinya menjadi fungsional karena mendapat respons langsung dari audiens.
Beberapa tahun lalu, pada festival yang sama, Putrayasa menciptakan gurita serupa yang berfungsi sebagai gerbang masuk ke area festival. Karya yang juga berbahan bambu itu diberi judul ”Gate of Entrans”. Sekali lagi, gurita menjadi makhluk obsesif yang dianggap mampu menyalurkan gagasan Putrayasa tentang perlunya menyelamatkan ekologi laut.
Manifesto kesadaran
Puncaknya, gurita raksasa terbaru dari Putrayasa sejalan dengan tema festival, yaitu ”Deep Blue Spirit”. Karya instalasi raksasa ini merupakan upaya mengangkat spirit kelautan dengan intensi yang lebih kuat sebagai suatu ”manifesto kesadaran”. Gurita raksasa adalah inspirasi visual yang mengandung metafora kecerdasan dalam membangun narasi kelautan Nusantara.
Menurut Putrayasa, seni instalasi sudah terlalu lama dibawa ke dalam ruangan. ”Saya kira instalasi luar ruangan semakin terlupakan. Bahkan, alam Bali yang indah ini terlupakan menjadi latar instalasi seni yang natural. Apa-apa semua dibawa ke pameran dalam ruangan,” katanya.
Putrayasa ingin melakukan transformasi terhadap makhluk laut bernama gurita. Selama ini, selain kepalanya yang mirip bentuk otak manusia, gurita juga dikenal sebagai makhluk laut yang cerdas. ”Jari-jarinya juga sangat artistik dan akan mengikuti bentuk arus laut,” ujarnya. Bentuknya yang raksasa, lanjutnya, diharapkan memunculkan karakter powerful dari karya itu. ”Orang merasa terprovokasi dan mengingat terus tentang gurita besar,” kata Putrayasa.
Ia mengumpulkan beragam literatur sebagai bahan riset sebelum benar-benar merealisasikan segala pesan dalam bentuk gurita raksasa. Ia menyimpulkan beberapa hal, antara lain dalam konteks keindonesiaan, kelautan adalah soal yang sangat luas dan menentukan dalam konstelasi negara bangsa serta peradaban.
Bali, ujarnya, sebagai contoh tatanan kosmologi, menempatkan segara atau laut sangat vital, sebagai sumber budaya dan spiritual. Esensi kosmologi kelautan Bali merupakan keharmonisan berkesinambungan dalam pola hubungan hita karana manusia dan alam. Selanjutnya, hubungan itu menjadi suatu intensi kedalaman spirit yang kemudian melahirkan kearifan lokal, yang kini terformalkan dalam dresta desa mawecara, semacam regulasi adat yang menjadi koridor praksis pada tiap-tiap wilayah praktik kebudayaan.
Kearifan lokal budaya kelautan tersebut, bagi seniman lulusan Pascasarjana ISI Denpasar ini, modal kultural yang bisa menjadi landasan penangkal destruksi peradaban. Bahkan, kasus-kasus kerusakan lingkungan telah memicu berbagai tegangan sosial. Menurut dia, Bali berada pada situasi kompleks, antara keriuhan ritus ritual, perlombaan eksploitasi sumber daya alam, serta berbagai relasi kepentingan yang sangat berisiko menghasilkan disharmoni peradaban.
Karena itu, ia mencoba membangun suatu narasi yang kuat melalui pendekatan seni rupa dengan instalasi luar ruangan dan langsung berinteraksi dengan manusia di dekatnya. Ia membayangkan dapat membangun instalasi super raksasa yang mampu menjadi tempat edukasi bersama dalam instalasi itu sendiri. Hanya, hal itu tak mudah. ”Ya, instalasi seni luar ruangan yang mengedepankan pesan-pesan kecintaan terhadap lingkungan seperti bahari ini masih belum dianggap sebagai investasi edukasi. Biayanya pun tidak sedikit. Jadi, ya, saya memahami, tidak mudah mewujudkan semua mimpi itu seketika,” tuturnya.
Pembiayaan pembangunan gurita raksasa ini diinisiasi dengan penggalian dana dari para pemuda desa (karang taruna). Mereka menyadari, instalasi raksasa sarat pesan alam ini sulit menembus anggaran birokrasi pemerintahan.
Ke depan, ujar Putrayasa, instalasi raksasa memiliki nilai kontekstual yang mencoba menawarkan ajakan kultural, menggugah kesadaran serta kepekaan masyarakat tentang persoalan kelautan. ”Karena sejatinya nilai kontekstual suatu karya terletak pada kekuatan menimbulkan berbagai dampak positif sekitarnya, misalnya dampak sosial, ekonomi, moral, dan politik. Dan, perjuangan saya belum selesai untuk terus bersama-sama belajar bijaksana terhadap alam pesisir kita,” kata Putrayasa.
I Ketut Putrayasa
Lahir: Badung, 15 Mei 1981
Nama istri: Christiana Measari
Nama anak: I Gede Narendra Adyaputra
Pendidikan:
- S-1 PSSRD Universitas Udayana dan ISI Denpasar
- S-2 Pascasarjana ISI Denpasar
Penghargaan:
- Karya TA Terbaik 2014 ISI Denpasar, ”Metafora Wanita Bali pada Era Modern”
- Museum Rekor Indonesia (Muri), Seni Instalasi Pertama di Indonesia
”Octopus Giant”
Kegiatan: Pemilik Gallery Rich Stone Art and Space, Umualas, Badung