Syamsinar, Ratu Pantun dari Pulau Penawar Rindu
Menulis pantun adalah cara Syamsinar merawat identitas sebagai perempuan melayu. Lewat pantun, ia menunjukkan keindahan sekaligus kesakralan sebuah bahasa. Cinta maupun petaka bisa lahir dan bermula dari empat baris mantra kalimat berima yang meluncur dari mulutnya.
Menulis pantun adalah cara Syamsinar merawat identitas sebagai perempuan melayu. Lewat pantun, ia menunjukkan keindahan sekaligus kesakralan sebuah bahasa. Berkat maupun kutuk bisa lahir dan bermula dari empat baris kalimat mantra berima yang meluncur dari ucapannya.
Syamsinar (64) merupakan penduduk asli Pulau Belakang Padang, Batam. Warga yang tinggal di pulau berjuluk penawar rindu itu memanggilnya Mak Unai. Di pulau lain, orang lebih mengenalnya dengan nama panggung Datin Latifa.
Di Kepulauan Riau, Syamsinar terkenal tak pernah kalah dalam tradisi berbalas pantun. Melawan dua pemantun sekaligus pun ia tak roboh kehabisan kata-kata untuk dirangkai menjadi empat baris kalimat dengan rima selaras.
Ketangkasan Syamsinar berpantun itu membuat Mantan Wali Kota Batam Nyat Kadir, 18 tahun lalu, menyebutnya Ratu Pantun dari Pulau Penawar Rindu. Nama sang ratu semakin masyhur, bahkan orang Malaysia pun tak mau ketinggalan ikut mengundang dan menyaksikan penampilannya berbalas pantun.
“Saya bukan ratu, saya ini ibu beranak empat,” jawab Syamsinar merendah, Minggu (2/6/2019).
Yang diimpikan Syamsinar sebenarnya bukanlah kemeriahan tepuk tangan penonton saat menang berbalas pantun. Itu sama sekali tak membuat hatinya puas, malah perasaannya semakin cemas karena yang sejak dulu ia nantikan tak kunjung muncul, yakni lawan baru dalam adu pantun.
Lawannya dari dulu itu-itu saja. Saya sedih karena sekarang tak ada lagi generasi muda yang cakap berpantun. Saya ingin betul dikalahkan orang muda
“Lawannya dari dulu itu-itu saja. Saya sedih karena sekarang tak ada lagi generasi muda yang cakap berpantun. Saya ingin betul dikalahkan orang muda. Kalau saja mau berusaha, seharusnya mereka bisa lebih pandai dari yang tua,” ujar Syamsinar datar.
Pantun mengajari manusia pentingnya sikap kepala dingin. Semua orang boleh marah dan geram jika disindir dengan pantun. Namun, orang Melayu tak sekalipun diizinkan berkata kasar menanggapi pantun yang menyinggung atau melukai hatinya. “Kalau marah balas, kalau tak bisa diam,” ucap Syamsinar.
Bepikir matang sebelum berucap. Nilai itulah yang didapat Syamsinar setelah puluhan tahun menekuni dan merawat tradisi berpantun. Bahasa adalah pedang bermata dua yang bisa membuat orang tertawa senang, menangis sedih, ataupun merasakan keduanya sekaligus dalam waktu bersamaan.
Oleh karena itu, perlu kebijaksanaan dalam menggunakannya. Meminjam istilah Syamsinar, bahasa itu sakral. Perlu waktu dan ketekunan luar biasa untuk belajar menggunakannya agar sungguh mengerti manfaat dan petaka yang dapat diciptakannya dalam kehidupan.
Cerminan hati
Syamsinar mulai gemar membuat pantun saat usianya menginjak 12 tahun. Apapun yang sedang ia rasakan dituangkannya dalam pantun yang dirapal sembari membantu orangtua mengurus rumah. Sering kali hal itu membuat orang heran melihat mulutnya komat-kamit seperti membaca mantra.
“Biasanya sampiran bercerita soal alam, sedangkan isi pantun soal kehidupan sehari-hari. Temanya bisa apa saja, hewan peliharaan, makanan, urusan rumah tangga, semuanya bisa jadi pantun,” kata Syamsinar.
Setelah menikah pada usia 16 tahun, kesukaan Syamsinar mengarang pantun semakin tumbuh subur. Berkat dukungan dan izin suami, pelan-pelan ia mulai berani ikut berbalas pantun di jaringan radio Organisasi Radio Amatir Indonesia (ORARI).
Dari situ, ketangkasannya berpantun mulai dikenal luas. Alhasil, undangan untuk naik ke panggung berbalas pantun setiap ada acara pernikahan atau penyambutan pejabat terus berdatangan. Jika urusan rumah tangga sudah selesai, ia pasti datang dengan senang hati, tanpa dibayar pun tak masalah.
Pada awal 70-an, saat Batam mulai dijadikan kawasan perdagangan bebas, pantun Syamsinar mendapat nyawa baru. Melalui pantun, ia menyuarakan kemarahannya tentang kebudayaan Melayu yang semakin terdesak dan terpinggirkan di rumahnya sendiri.
Bahasa tak lagi dipandang sakral. Pantun yang dulunya menjadi sarana bagi orang melayu untuk berdialog kini hanya sekadar menjadi tontonan. Maknanya menguap, nilai magisnya hilang.
Dari dulu orang Melayu terkenal pandai cakap. Sekarang mereka semua memang masih suka cakap, tetapi asal cakap saja
“Dari dulu orang Melayu terkenal pandai cakap. Sekarang mereka semua memang masih suka cakap, tetapi asal cakap saja. Orang tak lagi peduli aturan bahasa, tak mau berdialog sukanya bertengkar saja,” ujar Syamsinar.
Mulai saat itu, ia tak sekadar berkisah tentang hidupnya, tetapi juga bercerita soal masyarakat dan tanah airnya sebagai orang melayu. Hal itu menjadi roh dalam setiap pantun yang ia ciptakan. Dalam diri Syamsinar, semangat perjuangan itu berkobar dan membesar.
Setiap saat, di tengah keramaian penonton ataupun dalam diam, Syamsinar terus merapal pantun. Sebagai perempuan Melayu, pantun adalah satu-satunya senjata yang ia miliki. Dengan berpantun suaranya didengar dan buah pikirannya jatuh ke kesadaran orang banyak.
Menulis
Titik balik kehidupan Syamsinar terjadi pada 2001. Saat itu, ia menunjukkan catatan pantunnya kepada Nyat. “Baguslah itu, walaupun sikit tulis terus. Lama-lama nanti jadi buku,” kata Syamsinar menirukan ucapan Nyat.
Kesukaan Syamsinar berpantun tentang nilai budaya yang terlupa mendapat bentuk baru dalam rupa aksara. Ia menemukan panggilannya yang sejati, terus menulis sampai gugur ke tanah untuk mengabadikan cinta yang melekat dalam tubuh dan jiwanya.
Sekarang puluhan buku kumpulan pantun telah ia bagikan secara gratis kepada siapa saja yang mau menerimanya. Buku itu dicetak dengan sangat sederhana. Buku diberi sampul dan dijilid seadanya oleh tukang fotokopi sebelah rumahnya. Begitu saja, sudah memuaskan hati Syamsinar.
Satu buku kumpulan pantun paling sedikit terdiri dari 70 halaman. Satu halaman berisi 3 pantun. Jika Syamsinar mengatakan paling tidak telah mencetak 50 buku kumpulan pantun, artinya ia sudah menulis sekitar 10.500 pantun sejak pertemuannya dengan Nyat pada 2001.
Pemantun lain tak ada yang tekun mencatat karyanya. Supaya anak cucu bisa belajar berpantun, saya harus terus menulis sampai mati
“Pemantun lain tak ada yang tekun mencatat karyanya. Supaya anak cucu bisa belajar berpantun, saya harus terus menulis sampai mati,” kata Syamsinar.
Syamsinar memiliki cita-cita mendirikan tempat belajar berpantun dan tradisi Melayu untuk anak-anak di lingkungannya. Ia berharap, suatu saat entah kapan, akan muncul seseorang yang mau meneruskan perjuangannya melestarikan tradisi pantun di tanah Melayu.
Kepedulian, keberanian, dan ketekunanlah yang membuat ia disebut sebagai ratu pantun. Biarlah nanti, ketika ia telah tiada, buku pantun kesayangan yang ditulis dengan air mata dan peluhnya itu menjadi kisah perjuangan seorang perempuan dari Pulau Penawar Rindu bernama Syamsinar.
Ikan belana dalam tebat
Mari dipancing anak nelayan
Jangan mati anak jangan mati adat
budaya Melayu wajib dilestarikan
Syamsinar
Lahir: Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau; 10 Oktober 1955
Suami : Alm. Azhar Batubara
Anak : Alm. Adelina Suzana Boru Batubara, Alm. Bobi Batubara, Robi, Handisurya Batubara, Muhammad Fairus Batubara
Pendidikan : SD N 1 Belakang Padang