Tiga Puluh Tahun Berlalu, China Berusaha Menghapus Sejarah
Hari-hari menjelang peringatan 30 tahun tragedi Tiananmen, perusahaan internet China menggunakan robot sensor untuk mendeteksi dan menghapus konten yang berkaitan dengan peristiwa itu di jagat maya. Tragedi yang menewaskan ratusan hingga 1.000 orang itu terjadi pada 4 Juni 1989.
Peringatan menandai 30 tahun insiden penembakan oleh pasukan keamanan China guna mengakhiri kerusuhan dalam demonstrasi mahasiswa di Lapangan Tiananmen itu jatuh pada Selasa (4/6/2019). Beijing telah berusaha meredam tragedi itu dengan berbagai cara. Selain menyensor konten-konten terkait di internet, otoritas juga melarang peringatan terbuka di ruang-ruang publik.
Lapangan Tiananmen telah menjadi saksi sejarah pembangunan China selama ratusan tahun. Terletak di Kota Beijing, ibu kota China, lapangan yang berhadapan dengan Kota Terlarang (Istana Kaisar) itu dibangun pada tahun 1415 pada masa pemerintahan Dinasti Ming.
Di lapangan tersebut dan sekitarnya terdapat antara lain Monumen Pahlawan Rakyat, Balai Agung Rakyat, Museum Nasional China, dan Mausoleum Mao Zedong. Nama Lapangan Tiananmen berarti Gerbang Kedamaian Surgawi, gerbang menuju Kota Terlarang.
Tidak hanya sebagai saksi sejarah pembangunan, Lapangan Tiananmen juga menjadi sejarah pembantaian massal. Setelah 30 tahun berlalu, kisah tentang tragedi Tiananmen tak kunjung tamat. Luka akibat pembantaian massal di Lapangan Tiananmen masih menganga dan hanya ditutupi "perban" seadanya.
Tragedi Tiananmen bermula dari peristiwa meninggalnya mantan Pemimpin Partai Komunis Hu Yaobang (73) pada 15 April 1989. Hu adalah seorang pejuang liberalisasi yang telah digulingkan dua tahun sebelumnya. Kematiannya itu diratapi rakyat secara luas di seantero negeri.
Tiga hari setelah kematian Hu, ribuan pelajar berangkat menuju Beijing. Mereka menginginkan agar ada reformasi demokratis pada pemerintahan China sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Hu.
Para demonstran kemudian menduduki Lapangan Tiananmen. Setelah aksi protes, mereka melakukan aksi mogok makan pada 13 Mei 1989. Aksi mogok makan mulai berdampak kepada para demonstran pada 17 Mei. Tim medis mulai mengevakuasi para demonstran.
Namun, jumlah demonstran, yang terdiri dari pelajar dan pekerja, terus mengalir dan bertambah semakin banyak. Protes berhasil mengajak sekitar 1,2 juta orang untuk ikut terlibat aksi pada 19 Mei 1989.
Pemimpin Partai Komunis pada waktu itu, Zhao Ziyang, turun untuk menghentikan protes mereka. Ia kemudian berpidato dengan pembukaannya yang terkenal, “Para pelajar, maaf kami datang terlalu terlambat. Kami minta maaf.” Upaya negosiasi Zhao gagal.
Sehari kemudian, Perdana Menteri Li Peng akhirnya memberlakukan darurat militer di Beijing. Namun, protes terus berlanjut. Pada hari yang sama, guru-guru dari Beijing Normal University tiba untuk mendukung para pelajar.
Pemerintah China menilai situasi selama dua minggu terakhir kala itu tidak kondusif. Akhirnya, pada 3 Juni 1989, Pemerintah China mengerahkan tentara bersenjata untuk membubarkan massa.
Pada 4 Juni 1989, peristiwa pengusiran massa mahasiswa yang terlibat aksi berubah menjadi sebuah kekacauan besar. Para pelajar, pekerja, dan penduduk berupaya keras untuk melawan tentara yang datang. Sekalipun massa rakyat itu berusaha melawan, mereka akhirnya terdesak oleh kekuatan aparat.
Menghapus sejarah
Saksi mata menceritakan, tank-tank melindas para pendemo yang tidak bersenjata dan tentara menembak membabi buta ke arah pendemo. Sejumlah warga sipil ikut terluka karena berusaha melindungi para pelajar.
Organisasi pejuang hak asasi manusia (HAM) memperkirakan, ratusan atau ribuan orang menjadi korban jiwa. Tidak hanya itu, 10.000 orang ditangkap selama dan setelah aksi protes. Mereka dibui hingga lebih dari 10 tahun.
Pemerintah China berupaya untuk menghapus sejarah di Lapangan Tiananmen. Jumlah kematian akibat pembantaian massal yang terjadi pada 4 Juni 1989 tidak pernah dirilis secara resmi. Berita mengenai tragedi itu juga dihapus dari media.
Aksi protes di Lapangan Tiananmen dilihat sebagai ancaman besar terhadap eksistensi Partai Komunis.
Upaya untuk menghapus sejarah sepertinya berhasil. Tidak ada upacara peringatan 30 tahun tragedi di Lapangan Tiananmen di China. Upacara peringatan hanya dapat digelar di Hong Kong, wilayah khusus yang terpisah secara administratif dari China.
Intimidasi Pemerintah China juga terus menghantui sejumlah pendemo yang kini dibebaskan. Dong Shengkun adalah salah satunya.
Dong tidak pernah mendiskusikan tragedi atau pun perjuangannya selama ditahan akibat demonstrasi di Lapangan Tiananmen. Putranya, yang kini berusia 33 tahun, juga tidak mengetahui kisahnya.
“Ini demi keamanannya (putra Dong). Saya khawatir saya dapat memengaruhi pemikirannya jika mulai bercerita,” kata Dong.
Menurut Dong, merupakan langkah yang tepat bagi orang-orang untuk berhenti berbicara dan mulai melupakan kejadian pada 1989. Terlalu banyak cerita pahit yang harus diceritakan sebab banyak orang yang dihukum karena hal-hal kecil.
Tragedi di Lapangan Tiananmen menjadi pijakan baru bagi China untuk semakin otoriter. China semakin menjauh dari kebebasan berpendapat.
Di era digital, China sebenarnya terus berupaya untuk menghapus sejarah Lapangan Tiananmen dengan teknologi canggih. Terakhir, China menggunakan robot untuk menghapus berita terkait peristiwa itu.
Turbulensi politik
Menjelang 4 Juni 2019, Reuters mengabarkan, perusahaan internet China menggunakan robot sensor China untuk mendeteksi dan menghapus konten yang berkaitan dengan tragedi Lapangan Tiananmen. Sistem kecerdasan buatan serta alat pendeteksi gambar dan suara juga dikerahkan.
“Kami kadang mengatakan bahwa kecerdasan buatan itu hanya pisau bedah, sedangkan manusia adalah golok,” kata salah seorang pekerja penyaring konten di Beijing Bytedance Co Ltd, yang menolak menyebutkan namanya.
Sebanyak empat alat sensor, yang bekerja untuk aplikasi Bytedance, Weibo Corp dan Baidu Inc, menjaring 5.000-10.000 konten setiap hari. Kebanyakan konten yang ditemukan adalah konten kekerasan dan pornografi.
Menteri Pertahanan China saat ini, Wei Fenghe, mengatakan, kebijakan pemerintah untuk menghentikan “kerusuhan” tersebut merupakan langkah yang tepat. Kebijakan tersebut membuat China dapat menikmati kestabilan dan pembangunan yang ada saat ini.
“Insiden tersebut merupakan turbulensi politik dan Pemerintah Pusat mengambil langkah untuk menghentikannya, yang kemudian menjadi langkah yang tepat,” kata Wei dalam Dialog Shangri-La di Singapura, Minggu (2/5/2019).
Wei bertanya, mengapa orang masih mengatakan bahwa China "tidak menangani insiden dengan benar". "Tiga puluh tahun membuktikan bahwa China telah mengalami perubahan besar," katanya dalam menanggapi pertanyaan dari hadirin.
Menhan China ini juga menambahkan, bahwa karena tindakan yang dilakukan pemerintah pada waktu itu sudah tepat, maka "China kini bisa menikmati stabilitas dan pembangunan" yang lebih baik.
Namun, dunia internasional menolak untuk melupakan tragedi di Lapangan Tiananmen. Media sosial Twitter baru-baru dikecam oleh warganet karena menghapus berita mengenai peringatan tragedi di Lapangan Tiananmen. Mereka menggunakan tagar #TwitterMassacre atau #PembantaianTwitter untuk memprotes kebijakan Twitter berpihak kepada Beijing. (REUTERS/CNN/BBC)