Saling Klaim soal Lahan Berujung Sengketa Masih Terjadi
Konflik lahan pada perkebunan sawit di Kalteng, di antaranya dipicu proses pembebasan lahan yang dinilai tidak transparan. Selain itu, masih banyak perusahaan yang beroperasi di luar hak guna usahanya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Konflik lahan pada perkebunan sawit di Kalimantan Tengah antara lain dipicu proses pembebasan lahan yang dinilai tidak transparan. Selain itu, masih banyak perusahaan yang beroperasi di luar hak guna usahanya.
Persoalan transparansi dan operasi di luar hak guna usaha (HGU) itu muncul dalam konferensi pers beberapa aktivis lingkungan di Kalteng, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng dan Save Our Borneo (SOB). Mereka melakukan monitoring di beberapa lokasi, khususnya di wilayah Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalteng.
Persoalan Danau Sembuluh semakin pelik karena saat ini pihak perusahaan, salah satunya PT Salonok Ladang Mas (SLM), masih berselisih dengan warga Desa Sembuluh. Di salah satu lokasi, warga merasa belum diberikan ganti rugi lahan atau menjual lahannya ke perusahaan. Namun, saat ini pihak perusahaan terus menggarap dan memperluas wilayah konsesinya.
Wardian (64), warga pemilik lahan, mengungkapkan, saat ini lahannya sudah habis digarap perusahaan. Beberapa kayu yang ia tanam pun sudah tidak ada lagi di lokasi.
”Pohon gaharu, pohon durian, dan banyak tanaman lainnya sudah dibabat alat berat. Mereka mengaku sudah melakukan ganti rugi. Padahal, saya tidak pernah merasa menjual tanah saya,” ungkap Wardian di Palangkaraya, Minggu (2/6/2019).
Direktur SOB Safrudin mengungkapkan, berdasarkan kajian yang dibuat pihaknya, banyak perusahaan perkebunan sawit di Kalteng yang bekerja di luar izin. Di Kabupaten Seruyan, SOB melakukan monitoring kawasan dan menilai banyak perusahaan yang beroperasi tidak sesuai dengan izin.
”Ada soal IPPKH (izin pinjam pakai kawasan hutan) yang bermasalah, ganti rugi lahan belum tuntas. Seharusnya HGU tidak bisa keluar kalau masalah seperti ini belum usai,” kata Safrudin.
Menurut Safrudin, konflik lahan terjadi karena proses pembebasan lahan atau ganti rugi lahan tidak transparan. Bahkan, banyak penerima ganti rugi lahan yang tidak tepat sasaran.
”Banyak perusahaan yang melakukan ganti rugi lahan bukan pada pemilik sah atau hak milik tanah. Ini jadi pemicu konflik sosial juga di sekitar kawasan,” ujar Safrudin.
Sebelumnya, Kepala Bagian CSR, Community, Development, and Operation PT SLM Sahmidi Sadio saat dihubungi Kompas melalui sambungan telepon menjelaskan, persoalan pembebasan lahan sudah selesai dilakukan. Menurut dia, warga yang protes bukan pemilik lahan.
Sahmidi menambahkan, semua kegiatan operasional perusahaan masuk dalam HGU dengan total luas mencapai 17.000 hektar. Pihaknya sudah melakukan pembukaan lahan sejak lama. Bahkan, di beberapa lokasi sudah mulai dilakukan penanaman, dan itu dilakukan sesuai aturan yang berlaku.
”Kami juga sudah melakukan ganti rugi lahan di lokasi yang diklaim Bapak Wardian, dokumennya ada,” ungkap Sahmidi.
Menanggapi hal itu, Direktur Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono mengatakan, pihaknya sudah membuat sejumlah laporan terkait konflik lahan di sekitar Danau Sembuluh ke Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kantor Staf Presiden (KSP) di Jakarta.
”Terkait kerusakan lingkungan kami laporkan ke KLHK, sedangkan konflik sosialnya kami laporkan ke KSP. Kami berharap upaya ini bisa membuahkan hasil sehingga wilayah yang dipertahankan bisa dikembalikan ke warga,” kata Dimas.