Pohon Kesunyian
Letak pohon itu tidak begitu jauh. Sekitar dua kilometer sebelah selatan dari Desa Kumapo, tepatnya berada di lereng Gunung Kohu. Pohon itu tumbuh begitu berwibawa dengan dedaunan yang begitu lebat dan batang pohon yang kekar.
Akar-akarnya kuat menancap kedalam perut bumi. Tinggi pohon itu sekitar lima belas meter, dengan diameter dua kali lingkaran tangan orang dewasa. Orang-orang sekitar menamainya: pohon kesunyian.Tidak ada yang tahu kapan persisnya pohon itu tumbuh di sana. Orang-orang kampung berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan pohon itu tumbuh dua puluh tahun yang lalu ketika seorang dukun santet yang terkenal kejam meninggal dunia.
Pada waktu itu tidak ada seorang pun yang mau menguburkan mayatnya dan dibiarkan membusuk. Konon mayatnya menjelma pohon tersebut.Cerita lain mengatakan bahwa sebelum kampung itu ada, pohon itu telah tumbuh di sana.
Bahkan, ada yang mengatakan pohon itu sudah ada sejak zaman Nabi Adam dan merupakan pohon pertama yang di ciptakan Tuhan di muka bumi. Mereka percaya bahwa pohon itulah yang membisikkan kepada Qabil untuk membunuh saudaranya, Habil, kemudian menguburkan jasadnya di bawah pohon tersebut. Bagi mereka yang mempercayai kisah ini, pohon itu merupakan lambang keangkuhan dan kebencian.
Terlepas dari kedua cerita di atas, sejak pertama kali ditemukan hingga sekarang, hampir tidak ada perubahan sedikit pun dari pohon tersebut. Pohon itu masih sama, tidak bertambah tinggi atau pun bertambah besar. Daunnya pun tetap rimbun meski sering terlihat berguguran.
Dinamai pohon kesunyian, bukan karena suasana di sekitar pohon yang sepi dan letaknya yang jauh dari permukiman. Bukan juga karena daunnya yang begitu lebat sehingga mampu menghalau sinar matahari dan guyuran hujan sehingga orang yang berteduh di bawahnya tak kepanasan saat terik matahari atau menggigil kedinginan ketika hujan turun mengguyur bumi. Tetapi karena pohon itu memiliki banyak kisah yang memilukan.
Berawal ketika penduduk kampung digegerkan dengan penemuan mayat perempuan di bawah pohon besar di lereng Gunung Kohu. Perempuan yang merupakan warga kampung itu diduga bunuh diri karena tidak kuat menanggung kesedihan akibat kematian mendadak suaminya yang meninggalkan dia dan dua anaknya yang masih balita.
Berdasarkan pengakuan warga yang pertama kali menemukan mayat perempuan itu, ketika sedang mencari kayu, ia mendengar suara tiga ekor burung gagak yang terbang mengitari pohon besar itu beberapa kali. Karena penasaran, akhirnya ia pergi memeriksanya—menurut kepercayaan warga setempat, jika ada burung gagak terbang mengitari suatu tempat sambil mengaok-kaok, dipercaya bahwa burung gagak tersebut sebenarnya sedang mengabarkan kematian. Dan benar saja, sesampainya di pohon besar itu ia melihat seorang perempuan terkulai lemas bersandar ke batang pohon besar itu. Dia pun langsung memanggil warga kampung untuk membawa turun mayat tersebut ke rumah keluarganya.
Ada kejanggalan dari kematian janda beranak dua itu. Perempuan itu tidak gantung diri, meminum racun atau mengiris urat nadinya dengan pisau. Sekilas memang tampak seperti habis menenggak racun, karena dari mulutnya keluar busa berwarna kuning pekat sedikit kehijauan. Namun di sekitar pohon itu tidak ditemukan sisa-sisa atau pun tempat racun yang dimaksud. Yang ada hanyalah ceceran kulit buah yang berasal dari pohon besar itu.
Pohon besar itu memang memiliki buah yang mirip dengan buah salak, tapi bentuknya lebih bulat. Kulitnya persis seperti buah salak, namun halus tidak berduri. Jika dikupas akan tampak daging dari buah itu yang berwarna kuning kecoklatan jika sudah masak. Warga pun curiga janda beranak dua itu mati setelah memakan buah dari pohon besar itu yang dianggap oleh warga sebagai buah yang sangat beracun dan mematikan.
Selang beberapa bulan kemudian kembali ditemukan lagi mayat di bawah pohon besar itu. Kali ini seorang kakek. Sama seperti mayat perempuan yang ditemukan sebelumnya, dari mulutnya juga keluar busa. Menurut kabar yang beredar, kakek yang telah lama tinggal menumpang di rumah anaknya itu tidak kuat dengan perlakuan menantunya yang selalu merendahkannya sebagai orang tua yang tak berguna dan berpenyakitan. Begitu juga anak satu-satunya, tak jauh berbeda dengan menantunya itu. Sikapnya selalu kasar kepadanya. Padahal dia adalah anak yang dibesarkannya sejak kecil. Sang kakek akhirnya merasa hidupnya tidak lagi dibutuhkan dan memilih untuk ‘menyepi’ di bawah pohon itu.
Dua kejadian itu hanyalah sedikit dari banyaknya kasus bunuh diri dengan cara memakan buah pohon besar itu. Rentetan kematian setelahnya amatlah banyak dan sangat memilukan. Dari mulai remaja sampai orang tua, perempuan ataupun laki-laki. Namun, dari semua kematian itu, ada satu hal yang menjadi sebab utama mereka bunuh diri: merasa kesepian. Kesepian itulah yang pada akhirnya mengantarkan mereka pada kematian. Karena sesungguhnya, jarak antara kesepian dan kematian sangatlah dekat, sedekat ibu jari dengan jari telunjuk kita. Pohon besar itu kemudian dikenal dengan sebutan pohon kesunyian.
Maraknya kasus bunuh diri yang terjadi membuat para tetua desa resah dan khawatir. Mereka kemudian berkumpul untuk membahas masalah tersebut.
“Bagaimana kalau kita tebang saja pohon itu?” kata salah seorang tetua desa.
“Ya, betul. Tapi bagaimana caranya menebang pohon yang besar seperti itu sementara kita tidak memiliki peralatannya?”
“Kita suruh saja orang yang suka mencari kayu secara liar di hutan untuk menebangnya. Mereka memiliki mesin gergaji. Mereka pasti sanggup menebangnya.”
“Ya, betul. Kita suruh saja mereka.”
Keesokan harinya tetua desa menyuruh para pencari kayu yang biasa mencari kayu secara liar di hutan untuk menebang pohon kesunyian. Para pencari kayu itu mau membantu dengan perjanjian kayu itu jadi milik mereka. Para tetua desa pun sepakat dengan perjanjian tersebut.
Digergajilah pohon itu menggunakan gergaji mesin. Namun apa yang terjadi? Pohon itu seperti besi yang tidak mempan dengan apa pun. Gergaji itu hanya menggores kulitnya saja, tapi tidak mampu memotong batang pohon besar itu yang sangat keras bagai baja. Kejadian naas pun terjadi. Mata rantai mesin gergaji itu tiba-tiba putus. Dan entah bagaimana kejadiannya, mata rantai itu terlempar dan menancap tepat di mata kiri si penebang kayu. Semua orang panik. Lalu mereka turun dan membawa lelaki malang itu.
“Itu pertanda bahwa pohon itu ada penunggunya,” kata salah seorang warga dengan raut wajah penuh ketakutan. Semua warga yang berkumpul melihat kecelakaan yang menimpa si penebang kayu itu semakin bergidik ngeri mendengarnya.
“Jadi, kita harus bagaimana? Apakah kita akan membiarkan pohon itu di sana?” tanya tetua kepada warga yang berkumpul di balai desa dengan nada kecewa.
“Kita racuni saja supaya pohon itu mati secara perlahan. Cara itu akan lebih aman bagi kita.”
Semua warga sepakat dengan usul tersebut. Mereka takut jika proses penebangan menggunakan gergaji mesin tetap dilanjutkan akan kembali memakan korban seperti yang dialami si penebang kayu. Warga pun segera meracuni pohon kesunyian dengan racun tumbuhan yang paling mematikan. Mereka berharap pohon tersebut segera layu dan mati.
Tiga hari setelah pemberian racun, pohon itu mulai menunjukkan tanda-tanda akan segera mati. Daun-daun pohon itu secara perlahan mulai menguning dan meranggas. Buahnya satu per satu mulai berjatuhan dan membusuk di tanah. Perkiraan warga, lima atau tujuh hari lagi pohon itu akan mati total.
Ternyata dugaan warga itu salah. Bukannya mati, setelah memasuki hari ketujuh, pohon itu secara ajaib kembali menumbuhkan dedaunan segar setelah sebelumnya, pada hari keenam, daun-daun pohon itu berguguran. Pohon itu kini kembali hijau seperti sedia kala. Para tetua dan warga kampung heran dengan kejadian tersebut. Mereka pun semakin percaya bahwa pohon itu memang benar-benar keramat. Semenjak itu tidak ada lagi yang berani mengusik ketenteraman pohon tersebut dan melarang orang-orang untuk mendekatinya.
**
Setelah melalui padang rumput dan jalanan setapak yang lumayan terjal, akhirnya sampailah aku di tempat ini. Tempat di mana kesunyian terdengar lebih keras dari biasanya. Pohon ini masih seperti terakhir kali saat orang-orang menaruh racun dua belas tahun yang lalu: rimbun dan berwibawa. Bagaikan malaikat pencabut nyawa yang selalu menyambut kedatangan kita kapan saja.
Aku sandarkan tubuh ini pada batang pohon yang teduh itu. Suasana yang begitu sunyi membuat diriku semakin hanyut dalam suasana khusyuk dan lupa akan semua masalah. Dorongan untuk memakan buah itu pun semakin kuat.
Seperti ada kekuatan gaib yang menggerakkan tangan kiriku untuk memungut buah yang berserakan di sekitarku tanpa sadar. Aku kupas kulitnya yang mirip dengan buah salak itu lalu melahapnya dengan penuh khidmat. Sesaat kemudian suasana berubah menjadi semakin sunyi. Sementara itu, di awan, tiga ekor burung gagak terbang mengitari pohon kesunyian sambil terus mengaok-kaok tanpa henti.
____________________
Holis Hermansyah, lahir 26 tahun yang lalu di sebuah kampung kecil yang sunyi di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Cerpen-cerpennya tersiar di harian Rakyat Sultra dan qureta.com. Kini, lelaki yang gandrung dengan musik cadas ini aktif belajar menulis.