TPS Ilegal Bayar Retribusi
Tempat pembuangan sementara atau TPS sampah di Kelurahan Sudimara Timur, Kota Tangerang, tidak mengantongi izin. Namun, TPS ini membayar retribusi ke pemkot.
TANGERANG, KOMPAS — Tim penyelidik Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyegel tempat pembuangan sementara sampah yang dikelola warga secara tidak resmi, Selasa (28/5/2019). TPS di RT 007 RW 007 Kelurahan Sudimara Timur ini sudah beroperasi 26 tahun.
Tempat pembuangan sementara (TPS) ilegal itu digunakan dua kelurahan, yakni Sudimara Timur dan Sudimara Jaya. Sebanyak 10 ton sampah masuk TPS ilegal saban hari.
”Silakan kalau mau disegel. Kalau ini sampai ditutup, sampah akan menumpuk di mana-mana sampai di pinggir jalan protokol di Ciledug (Jalan HOS Cokroaminoto) karena enggak ada tempat transit (TPS),” kata Iwan, pemilik lahan sekaligus pengelola TPS ilegal tersebut.
Iwan mengaku rutin membayar retribusi sampah. Saat ini, ia membayar Rp 7 juta per bulan sesuai bobot sampah yang masuk ke TPS ini.
Iwan juga menerima pembayaran dari warga untuk pembuangan sampah ke TPS ini. Pembayaran dari warga melalui RT dan selanjutnya ke petugas bentor (becak motor) sampah. Ada pula yang membayar langsung dari pihak RT ke dirinya. Satu bentor sampah membayar antara Rp 200.000-Rp 600.000 sebulan.
Di TPS, Selasa siang, beberapa tumpukan sampah mengeluarkan asap. ”Sampah di sini (TPS) seharusnya tidak bisa dibakar. Asap sampah plastik ini sangat berbahaya bagi kesehatan. Pembakaran di kawasan TPS sangat berbahaya untuk warga di sekitar kawasan TPS,” kata Amaludin, petugas dari bagian pengaduan Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang di lokasi TPS ilegal.
Kepala Seksi Pengaduan Lingkungan Hidup Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yogi Wulan Puspitasari mengatakan, penyegelan TPS ini untuk menghentikan pencemaran/kerusakan lingkungan.
Penyegelan ini dilakukan untuk menindaklanjuti laporan masyarakat yang terganggu atas keberadaan TPS.
TPS menimbun sampah tanpa mengantongi izin dan tidak sesuai dengan tata ruang. Lokasi penimbunan sampah juga tidak mengikuti prinsip pengelolaan lingkungan yang baik sehingga menimbulkan dampak negatif pada kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Selama penyegelan, truk diperbolehkan mengangkut sampah dari dalam TPS untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA) Rawa Kucing. Namun, truk tidak boleh membawa sampah masuk ke TPS.
Yogi mengatakan, TPS ilegal tetap beroperasi karena kurangnya pengawasan dari Dinas Lingkungan Hidup setempat.
Saat dikonfirmasi, Kepala Bidang Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Buceu Gartina membenarkan bahwa pihaknya menerima retribusi dari TPS itu. Tahun 2019 ini, retribusi ditingkatkan seusai dengan potensi sampah kubikan, apalagi operasional TPS itu sudah 24 jam dengan tiga untuk truk.
”Memang pemilik TPS itu keberatan dengan kenaikan retribusi. Akan tetapi, kami sudah mengatakan untuk mengurangi (kubikan) dan tidak membakar sampah di TPS itu. Akan tetapi, tidak mau menurut,” kata Buceu.
Awalnya, TPS masih kecil, tetapi berkembang terus. Belakangan, petugas TPS sudah melakukan pembakaran sampah. ”Tahun 2018, kami telah memberikan peringatan menutup TPS tersebut. Akan tetapi, tetap membandel. Padahal, palang penutupan sudah dipasang di sana,” kata Buceu.
Buceu mengatakan, pihaknya berencana menertibkan TPS setelah Lebaran 2019, tetapi keduluan tim KLHK.
Lokasi tertutup
Iwan mengatakan, secara administrasi sebenarnya TPS miliknya itu berada di Kelurahan Sudimara Timur. Akan tetapi, karena TPS itu berada berseberangan jalan dengan Kelurahan Sudimara Jaya dan dekat dengan Kantor Kelurahan Sudimara Jaya, warga menyebutnya TPS itu berada di Sudimara Jaya.
TPS berada di pinggir Jalan Winong, yang membelah Kelurahan Sudimara Timur dan Sudimara Jaya. TPS ada di belakang warung makan, kios, serta perumahan. Akses menuju TPS hanya cukup dilewati satu truk sampah. Gerbang TPS ditutup seng dan besi.
Menurut Iwan, sampah yang masuk ke TPS ini berasal dari dua kelurahan, yakni Sudimara Timur dan Sudimara Jaya. ”Sampah di sini memang banyak karena di Kecamatan Ciledug, Sudimara Jaya yang terpadat penduduknya,” jelas Iwan.
Selama bulan puasa, sampah meningkat hingga 10 persen. ”Selama bulan puasa ini banyak botol sirup dan sampah basah, seperti makanan sisa, sayuran, dan buah-buahan. Sampah basah ini menambah berat, padahal tidak bisa dijual,” ujar Iwan.
Setiap Sabtu dan Minggu, kata Iwan, volume sampah meningkat karena banyak rumah tangga yang memasak di rumah sehingga menghasilkan sampah.
Sampah itu diangkut truk sampah dan bentor (becak motor dengan bak sampah di belakangnya) milik Dinas Lingkungan Hidup.
”Sampah di sini cuma transit. Ditampung sementara kemudian diangkut ke TPA Rawa Kucing,” kata Iwan.
Lahan warisan
Iwan mengatakan, lahan itu adalah tanah warisan orangtuanya. Semula, orangtuanya memiliki lahan seluas 12 hektar. Akan tetapi, lahan warisan tersebut telah dibagi-bagi dan sebagian lagi sudah dijual. Iwan sendiri mengelola TPS.
”TPS ini sudah ada sejak tahun 1993. Sejak saya masih kecil,” kata Iwan yang meneruskan pengelolaan TPS ini.
Para pekerja yang berjumlah 12 orang di bawah pengelolaan Iwan memilah sampah. Sampah seperti botol minuman kemasan, kemasan plastik, kardus, dan koran diambil untuk dijual lagi.
Untuk hasil penjualan sampah yang dipilah, Iwan mendapat 40 persen dan 60 persen untuk pekerja pemilahan. Misalnya hasil dari penjualan sampah pemilahan Rp 1.000, berarti Iwan mendapatkan Rp 400 dan Rp 600 untuk pekerja pemilah. Sampah lainnya diangkut ke TPA Rawa Kucing.