JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah telah menerbitkan peraturan mengenai batasan harga rumah subsidi untuk tahun 2019 dan 2020. Namun demikian, kalangan pengembang rumah subsidi khawatir permintaan rumah subsidi lebih besar dibanding anggaran yang tersedia.
Pemerintah telah menerbitkan harga rumah subsidi melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2019 tentang Batasan Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan lainnya, yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Peraturan tersebut diundangkan pada 22 Mei 2019 dan mulai berlaku 15 hari terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada 6 Juni 2019.
Pada PMK 81/2019, pembagian zonasi harga rumah hanya dibedakan menjadi 5 zona. Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan PMK sebelumnya, yakni PMK 113/2014 yang membagi menjadi 9 zona. Selain itu, PMK 81/2019 hanya mengatur harga untuk 2 tahun, yakni tahun 2019 dan 2020. Sementara, pada PMK 113/2014, mengatur untuk 5 tahun mulai 2014 sampai 2018.
Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Totok Lusida menyambut baik terbitnya PMK yang mengatur harga rumah subsidi tersebut. Sebab, harga rumah subsidi tersebut telah dinanti para pengembang rumah subsidi.
“Untuk batasan harga rumah subsidi tidak berbeda dari usulan para pengembang,” kata Totok, Senin (27/5/2019), di Jakarta.
Menurut Totok, dengan adanya aturan tersebut, realisasi akad kredit rumah subsidi akan lebih cepat. Meski demikian, pengembang berharap agar pemerintah juga menerbitkan aturan petunjuk teknis mengenai batasan penghasilan masyarakat berpenghasilan rendah.
Sebab, dengan batasan penghasilan Rp 4 juta untuk pembeli rumah tapak dan Rp 7 juta untuk rumah susun milik, sebagian masyarakat berpenghasilan rendah dikhawatirkan tidak memenuhi ketentuan sebagai debitur. Sebab, dengan harga rumah yang lebih tinggi, angsuran yang mesti dibayar juga lebih besar. Terlebih upah minimum di banyak daerah juga ada kenaikan.
Anggaran
Di sisi lain, pengembang menilai permintaan rumah subsidi yang sangat besar, penyediaan subsidi oleh pemerintah tahun ini justru lebih kecil dari tahun lalu. Tahun lalu, anggaran subsidi selisih bunga ditargetkan dapat membiayai 225.000 unit rumah subsidi dan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) membiayai 58.000 unit sehingga totalnya 283.000 unit.
Sementara, tahun ini anggaran pemerintah untuk SSB pemerintah menjadi 100.000 unit dan anggaran FLPP 67.000 unit sehingga totalnya 167.000 unit atau turun 116.000 unit. Pengembang pun berharap dilibatkan untuk mendiskusikan hal ini dengan pemerintah.
“Kami khawatir dana subsidi ini habis karena jumlahnya lebih sedikit dibanding tahun lalu. Kami usul jika ada dana sisa anggaran atau sumber lain untuk dimasukkan ke subsidi,” ujar Totok.
Hal senada diungkapkan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali dan Ketua Umum Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan (Himperra) Endang Kawidjadja. Menurut mereka, alokasi anggaran rumah subsidi diperkirakan tidak akan sebanding dengan permintaan rumah subsidi yang sangat besar.
“Pemerintah perlu menambah kuota rumah subsidi menjadi paling sedikit untuk 350.000 unit rumah subsidi, yakni dari penyaluran 2018 ditambah 25 persen kenaikan target,” kata Daniel.
Alokasi anggaran rumah subsidi diperkirakan tidak akan sebanding dengan permintaan rumah subsidi yang sangat besar.
Menurut Endang, masalah kekurangan subsidi perumahan ini dapat segera terjadi dan akan mengancam pencapaian program sejuta rumah. Dia memperkirakan permintaan rumah subsidi tahun ini setidaknya 260.000 unit.
Data PPDPP per 10 Mei tercatat telah menyalurkan FLPP ke 37.949 unit rumah subsidi dari target 67.000 unit. Sementara, Bank Tabungan Negara sepanjang Januari-Maret 2019 telah menyalurkan pembiayaan untuk 150.064 unit rumah subsidi.
Menurut Direktur Komersial Bank Tabungan Negara Budi Satria, permintaan rumah subdisi pada triwulan I-2019 sangat tinggi. Jika permintaan rumah subsidi terus seperti ini sementara anggaran subsidi tetap, maka Budi memperkirakan pada Agustus atau September mendatang, anggaran rumah subsidi telah habis.
“Untuk skema FLPP memang dimungkinkan realokasi kuota FLPP dari satu bank pelaksana yang belum mencapai target ke bank lain yang masih memerlukan,” kata Budi. (NAD)