Kisah Fotografer ”Kompas” Memotret Kerusuhan hingga Motor yang Dirusak
Sungguh bukan hal yang mudah memotret kerusuhan dengan pesan foto yang harus bikin adem suasana. Belum lagi soal risiko keselamatan diri. Malang tak dapat ditolak saat bertugas memotret kerusuhan, motor yang digunakan fotografer Kompas, Yuniadhi Agung, turut menjadi korban perusakan.
Rabu, 22 Mei 2019, siang sebuah pesan masuk di grup Whatsapp Desk Foto Kompas. Pesan itu mengingatkan para pewarta foto yang sedang bertugas meliput kericuhan di Jakarta untuk mencari foto-foto yang menampilkan sisi kemanusiaan peristiwa tersebut.
Pesan itu kurang lebih berbunyi, ”Kita bantu bikin adem suasana dengan memotret sisi-sisi kemanusiaan di aksi tersebut”. Sejak sehari sebelumnya, tepatnya tanggal 21 Mei malam, kondisi beberapa kawasan di Jakarta, seperti di Jalan MH Thamrin, kawasan Tanah Abang, dan Petamburan, sangat mencekam karena terjadi bentrok massa dengan polisi.
Pesan itu kurang lebih berbunyi, ’Kita bantu bikin adem suasana dengan memotret sisi-sisi kemanusiaan di aksi tersebut’.
Pertikaian berawasl dari massa yang tidak diketahui asalnya membuat onar di depan Gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di Jalan MH Thamrin. Peristiwa ini terjadi tidak lama setelah warga selesai berunjuk rasa terkait hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden RI 2019-2024.
Polisi berusaha mengusir massa yang tidak dikenal tersebut agar menjauh dari Gedung Bawaslu. Namun, kericuhan berpindah ke beberapa wilayah di sekitarnya. Kondisi tidak kondusif tersebut berlangsung hingga hari berikutnya.
Saya sebenarnya sehari-hari bertugas di Desk Nonberita dengan tugas utama memotret liputan untuk terbitan Kompas Minggu, seperti musik, seni, kuliner, dan gaya hidup. Pada tanggal 22 Mei, kebetulan saya sedang tidak ada tugas untuk Kompas Minggu sehingga saya berniat membantu liputan aksi menolak hasil pemilu.
Sekitar pukul 15.00, saya menuju kawasan Slipi Jaya, salah satu titik berkumpulnya massa. Di Slipi Jaya, polisi telah memblokade dan menutup akses jalan ke kawasan Tanah Abang dan Petamburan. Rekan saya yang berjaga di Slipi Jaya sejak pagi hari, Totok Wijayanto, akan bergerak ke kawasan Tanah Abang untuk memotret kondisi perdagangan yang lumpuh sehingga saya bisa menggantikannya berjaga di wilayah tersebut.
Dengan mengendarai sepeda motor, saya masuk lewat Kemanggisan dan berada di belakang massa. Saya kemudian memarkir sepeda motor saya di pinggir jalan, di antara para warga yang duduk di atas jok sepeda motor sambil menonton aksi massa. Saya langsung menuju ke arah aksi massa.
Saat itu, massa yang jumlahnya ratusan orang berhadapan dengan polisi yang berada di jalan layang yang menghubungkan kawasan Slipi Jaya dengan kawasan Tanah Abang. Posisi mereka tepat di atas jalan tol dalam kota yang menghubungkan Slipi dan Tomang.
Meski berhadapan, suasana saat itu masih terlihat tenang. Massa bahkan mengobrol dengan polisi yang tidak memberikan celah bagi massa untuk menerobos. Setelah memotret suasana di jalan layang, saya berkeliling ke sekitar dan memotret massa yang membakar tumpukan kayu di tengah jalan. Saya juga merekam massa yang dengan emosi memecahkan kaca pos polisi di bawah jalan layang Slipi Jaya. Setelah itu, selama setengah jam suasana mencair.
Saya masih memotret suasana di kolong jalan layang saat tiba-tiba massa berkonfrontasi dengan polisi. Massa yang semula hanya teriak-teriak berubah melempari polisi. Polisi semula hanya bertahan, tetapi kemudian menghalau massa dengan cara melepas tembakan gas air mata. Saya memotret momen tersebut dari kolong jalan layang.
Saya melihat benda-benda dilempar oleh massa ke arah polisi. Potongan kayu, bambu, pecahan batu, dan bongkahan semen berukuran kecil hingga sedang menerjang tameng para polisi. Mereka bergeming dan tetap menahan massa agar tidak masuk ke arah Tanah Abang.
Tembakan gas air mata membuat massa berlarian. Polisi kemudian maju dan mengejar massa dengan target menangkap beberapa oknum yang memprovokasi kejadian tersebut. Ratusan massa berlari mundur sejauh 300 meter dari titik awal konfrontasi.
Suasana saat itu membahayakan untuk mendekati lokasi pengejaran. Para jurnalis hanya bisa menunggu dalam jarak aman di belakang polisi. Lokasi pengejaran itu sendiri melewati tempat parkir sepeda motor saya.
Sambil mengikuti polisi yang menyisir massa, saya berjalan menuju arah sepeda motor saya. Dari kejauhan, saya melihat sekitar sepuluh sepeda motor berserakan di pinggir jalan, salah satunya milik saya.
Ketika mendekat, terlihat bodi sepeda motor saya hancur. Plastik bodi sepeda motor saya pecah hampir di seluruh bagian. Jok lepas, spion hancur, dan cairan bahan bakar mengalir di sekitar sepeda motor yang hancur tersebut. Puluhan motor di tempat itu menjadi sasaran amuk massa. Setelah mengamati suasana, saya meminta izin memindahkan motor saya kepada seorang polisi yang berjaga.
Dengan posisi tetap siaga, polisi tersebut memberi isyarat kepada saya untuk segera mengamankan sepeda motor saya. Secepatnya saya berusaha mencari bagian motor yang masih bisa dibawa, termasuk pelat nomor yang terlepas.
Saya pastikan ceceran bahan bakar tidak membahayakan sepeda motor. Mesin masih menyala. Seketika, saya naiki motor untuk disembunyikan ke tempat yang aman.
Ternyata, memindahkan sepeda motor adalah langkah yang tepat karena setelahnya lokasi parkir motor tadi tidak bisa diakses lagi. Posisinya di tengah-tengah antara massa yang bertahan dan penjagaan polisi.
Setelahnya, saya bersama beberapa rekan jurnalis foto berada di depan Pasar Slipi untuk memantau keadaan. Saya sempat melamun, membayangkan sepeda motor saya yang hancur. Motor Honda Vario itu sudah sembilan tahun lebih menjadi teman liputan di Jakarta.
Ada rasa sedih, tetapi akhirnya saya berpikir motor itu hanyalah barang yang bisa dicari gantinya. Keselamatan jiwa lebih penting, dan saat itu saya masih diberi keselamatan.
Menjelang senja, suasana mereda. Namun, polisi tetap berjaga untuk mencegah massa mendatangi jalan layang. Beberapa saat kemudian, seorang pedagang keluar dari Pasar Slipi sambil membawa beberapa kantong plastik berisi kue dan gorengan menuju ke arah polisi. Penjual kue itu memberikan makanan gratis untuk takjil berbuka puasa kepada para polisi yang bertugas.
Warga yang berada di depan pasar tersenyum menyaksikan pemandangan tersebut. Saya memotret momen itu karena bagi saya ini adalah sisi kemanusiaan di tengah peristiwa kerusuhan tersebut.
Saya kemudian kembali ke kantor di Palmerah setelah membatalkan puasa dengan air minum pemberian rekan biro foto Antara dan menyantap makanan ringan yang saya beli sebelumnya di minimarket.
Saya memilih mengedit foto di kantor karena sinyal data di Slipi jelek sehingga kesulitan mengirim foto. Setiba di kantor, saya memperlihatkan kepada Wakil Editor Desk Foto Kompas, Iwan Setiyawan, foto pedagang kue yang memberikan takjil kepada polisi.
Saya berterus terang, secara fotografis kualitas foto itu biasa saja karena momen berlangsung cepat sehingga saya tidak sempat mencari sudut pemotretan yang baik. Ditambah lagi suasana pemotretan sudah menjelang senja sehingga hasil fotonya agak gelap. Posisi matahari yang berada di belakang obyek membuat foto sedikit backlight.
Saya merasa tidak pede dengan foto tersebut. Meski demikian, editor tetap mempertimbangkan foto tersebut masuk daftar kandidat foto yang akan ditampilkan di halaman depan harian Kompas.
Keesokan harinya, foto penjual yang membagikan kue untuk takjil para polisi ternyata menjadi foto utama di halaman depan harian Kompas. Foto ini ditempatkan di bawah judul berita utama, ”Indonesia Rumah Bersama”. Tidak saya sangka, foto ini kemudian menjadi viral.
Baca juga: Panjat Pohon Cari Sinyal dan Naik ”Trail” demi Hitung Cepat ”Kompas”
Banyak respons dari berbagai kalangan yang menyatakan foto tersebut sangat humanis dan sarat makna. Mereka mengatakan bahwa sikap pedagang tersebut mencerminkan kebaikan yang tulus. Sebuah pesan yang relevan untuk kondisi bangsa saat ini.
Di media sosial, banyak warganet mengunggah foto berpesan damai itu di lini masa mereka. Harian Kompas pun banjir pujian karena menampilkan foto tersebut. Jika sebuah foto dapat mewakili seribu kata, foto penjual kue yang baik hati itu salah satu contohnya.
Tugas saya sebagai pewarta foto adalah menyajikan fakta di lapangan. Banyak fakta yang bisa dipilih, tetapi fakta terbaik adalah fakta yang sesuai dengan sikap kita. Secara pribadi, saya menolak kekerasan dan selalu yakin kita dapat hidup berdampingan dengan damai.
Baca juga: Menikmati India dalam Wajah Berbeda
Saya mendapatkan pelajaran berharga dari bapak penjual kue itu. Selalu ada kebaikan dalam kondisi apa pun, dan kebaikan bisa muncul dari siapa saja tanpa kenal golongan, suku, dan agama. Kebaikan sejatinya adalah sifat dasar manusia.
Bagi saya, foto penjual kue membagikan takjil kepada polisi itu adalah salah satu foto terbaik yang pernah saya buat. Efek foto yang membuat orang yang melihatnya berbahagia, dan mungkin juga menularkan kebaikan kepada sesama, sudah cukup mengobati kesedihan akibat sepeda motor yang hancur diamuk massa.
Setiap pekerjaan ada risikonya. Sebagai jurnalis foto yang sedang meliput konflik dan kerusuhan, keselamatan jiwa yang utama. Pernah ada yang bilang, tidak ada berita hebat seharga nyawa. Bagi saya, saat meliput kerusuhan massa, tugas utama saya adalah membuat foto bagus dan mengamankan badan agar bisa selamat kembali ke rumah dan memeluk istri serta ketiga anak saya.