Sejumlah akademisi UGM Yogyakarta menyerukan agar seluruh anak bangsa kembali bersatu setelah Pemilu 2019 usai. Ketidakpuasan atas hasil pemilu hendaknya diselesaikan lewat jalur konstitusional.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sejumlah akademisi Universitas Gadjah Mada menyerukan agar seluruh anak bangsa kembali bersatu setelah Pemilu 2019 usai. Ketidakpuasan atas hasil Pemilu 2019 hendaknya diselesaikan lewat jalur konstitusional. Jangan sampai ada pihak yang sengaja memprovokasi sehingga bisa memperkeruh suasana dan meningkatkan potensi kericuhan.
Hal itu menjadi garis besar seruan dari sejumlah akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang disampaikan di Balairung UGM, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (24/5/2019). Seruan itu dibacakan Rektor UGM Panut Mulyono.
Panut menyampaikan keprihatinannya atas insiden kekerasan yang terjadi setelah penetapan hasil perolehan suara Pemilu 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut dia, hal itu terjadi akibat adanya ketegangan di tengah elemen masyarakat selama masa kampanye.
”Perlu dipahami, terlalu lama bangsa ini terjebak dalam ketegangan yang tidak perlu hanya karena aspirasi dan preferensi politik yang berbeda. Terlalu besar sumber daya yang telah dicurahkan,” kata Panut.
Ia khawatir, jika seluruh elemen masyarakat terus dikuras energinya untuk bersitegang, bangsa ini tidak akan bisa melangkah maju. Bangsa ini akan berjalan di tempat, melihat bangsa lain terus mengembangkan diri dan menguatkan soliditas mereka.
”Jika ini dibiarkan berlarut-larut, hanya ada satu kepastian, bangsa ini akan tertinggal dari negara-negara tetangga kita,” ucap Panut.
Menurut Panut, perbedaan pandangan politik merupakan hal yang lumrah terjadi di negara demokrasi. Lima tahun sekali ekspresi politik itu dicurahkan melalui pemilu. Seharusnya, perbedaan itu tidak mengurangi rasa persatuan karena sejak awal bangsa ini telah menyepakati untuk bersatu di tengah segala perbedaan.
”Apa pun aspirasi politik kita ketika pemilu seharusnya tidak mengubah komitmen kita bersama sebagai bagian dari bangsa Indonesia, untuk selalu mempertahankan dan memperkuat kesatuan dan persatuan Indonesia,” kata Panut.
Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto menyatakan, mekanisme untuk mengungkapkan ketidakpuasan hasil pemilu itu sudah tersedia. Hendaknya mekanisme tersebut dimanfaatkan dan meninggalkan cara-cara yang mengarah kepada kekerasan. Kerukunan dan ketenteraman perlu selalu dijaga sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.
”Kita harus meninggalkan cara-cara yang anarkistis. Jangan sampai menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan tertentu. Mari kita kembali ke persatuan Indonesia dan berpihak kepada kepentingan seluruh bangsa Indonesia,” tutur Sigit.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Mohtar Mas’oed mengatakan, Indonesia dilahirkan dengan semangat persatuan dalam keberagaman. Perbedaan identitas, mulai dari suku, ras, agama, hingga golongan, menjadi sebuah keniscayaan. Perbedaan identitas ini akan jadi membahayakan jika dimobilisasi untuk mencapai tujuan tertentu karena mengikis persatuan yang terbangun selama ini.
”Saya kira mobilisasi yang menggunakan identitas itu dikurangi atau dihilangkan. Jadi, identitas tidak digunakan lagi untuk memobilisasi,” kata Mohtar.
Ketua Dewan Guru Besar UGM Koentjoro mengatakan, masyarakat juga perlu menyaring setiap informasi yang diterimanya. Mereka diharapkan tidak terprovokasi oleh informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, tetapi beredar luas melalui media sosial. Kondisi itu menyebabkan keterbelahan.
”Kemajuan teknologi membuat informasi bisa berkembang dan beredar sangat cepat. Tetapi, kadang-kadang informasi itu tersebar tidak beraturan. Pengertian satu dengan yang lain akan berbeda. Dalam suasana genting, berita bohong bisa memperkeruh keadaan. Ini perlu dicegah,” tutur Koentjoro.