Dibutuhkan segera instrumen yang mengatur kepatuhan pembayaran iuran untuk mengatasi tunggakan iuran premi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dibutuhkan segera instrumen yang mengatur kepatuhan pembayaran iuran untuk mengatasi tunggakan iuran premi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Tunggakan itu telah menjadi kendala pembiayaan yang dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Selama 2018, BPJS Kesehatan mencatat tunggakan iuran peserta JKN-KIS setidaknya Rp 2,1 triliun. Tunggakan ini paling banyak ditemui pada segmen peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU). Dari 31,1 juta peserta, sekitar 45 persen menunggak.
Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso, seusai acara Ekspos Publik Laporan Pengelolaan Program JKN-KIS Tahun 2018 di Jakarta, Jumat (24/5/2019), mengatakan, tunggakan itu selalu terjadi setiap saat karena tidak ada sanksi bagi orang yang tidak membayar. ”Jadi, peserta ini, terutama pada kelompok PBPU, pembayaran preminya tidak rutin,” ujarnya.
Menurut dia, selama tidak ada sanksi tegas, maka sumber pembiayaan yang diterima BPJS Kesehatan akan terus kurang. Kelompok yang tidak disiplin membayar premi ini juga menjadi salah satu penyebab defisit yang dialami BPJS Kesehatan.
Deputi Direksi Bidang Manajemen Iuran BPJS Kesehatan Agus Mustopa mengatakan, belum ada sanksi tegas yang dapat mendorong terwujudnya kepatuhan pembayaran premi. Saat ini aturan yang ada hanya mengatur kewajiban peserta untuk mendaftarkan diri dan memberikan data diri serta anggota keluarganya secara lengkap dan benar sebagai peserta BPJS.
Hal itu tertuang pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
”Instrumen kepatuhan ini penting. Selama ini kami pun tidak bisa mendesak kepatuhan pembayaran premi, terutama pada segmen PBPU karena tidak ada dasar hukum yang jelas. Pihak lain, seperti kejaksaan ataupun kepolisian, itu pun tidak bisa menekan untuk kepatuhan pembayaran ini,” katanya.
Agus menilai, rendahnya kepatuhan pembayaran premi pada kelompok PBPU karena masih ada perspektif negatif tentang layanan JKN-KIS. Selain itu, sebagian peserta merasa tidak membutuhkan jaminan kesehatan sosial sehingga baru akan membayar ketika membutuhkan saja.
Selama ini BPJS Kesehatan berupaya mendorong pembayaran tunggakan premi dengan tiga cara, yakni peringatan lewat pesan singkat, telepon, dan didatangi langsung oleh kader JKN. Sistem pembayaran iuran peserta dengan autodebet bank dan nonbank pun telah dikembangkan.
Per 1 Mei 2019, jumlah peserta program JKN-KIS sebanyak 221.105.092 jiwa. Adapun jumlah peserta pada segmen penerima bantuan iuran (PBI) APBN sekitar 96 juta jiwa, PBI APBD 36 juta jiwa, pekerja penerima upah-pegawai negeri (PPU-PN) 17 juta jiwa, PPU badan usaha 33 juta jiwa, PBPU pekerja mandiri 31,8 juta jiwa, dan peserta bukan pekerja sekitar 5 juta jiwa.
Defisit
Kemal menyampaikan, selain masalah kepatuhan yang belum tuntas, besarnya iuran biaya yang dinilai belum sesuai hitungan aktuaria menjadi penyebab masalah defisit pembiayaan BPJS Kesehatan. Pada 2018 terhitung besar biaya yang diterima BPJS Kesehatan sekitar Rp 81 triliun. Adapun jumlah klaim fasilitas kesehatan yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan sekitar Rp 94 triliun.
Dihubungi terpisah, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dari unsur ahli, Angger P Yuwono, menilai, besar iuran peserta yang berlaku sekarang sudah tidak sesuai dengan kondisi pembiayaan kesehatan pada program JKN-KIS. Jika tidak diubah, defisit yang dialami BPJS Kesehatan akan semakin besar. Ketahanan keuangan BPJS Kesehatan pun akan terganggu.
Untuk itu, ia menambahkan, DJSN akan mengusulkan adanya kenaikan anggaran jaminan sosial pada peserta JKN-KIS, terutama peserta pada segmen penerima bantuan iuran. ”Kenaikan iuran sedang dihitung. Target usulan secepatnya disampaikan ke presiden, tentu setelah berkoordinasi dengan seluruh kementerian dan lembaga terkait,” katanya.
Anggota DJSN, Zaenal Abidin, berpendapat, sistem suntikan dana dari pemerintah yang dilakukan untuk mengatasi masalah defisit BPJS Kesehatan tidak bisa menyelesaikan akar masalah pembiayaan yang terjadi. Dengan begitu, pembayaran klaim rumah sakit yang tertunda bisa terus terjadi. ”Pemerintah seharusnya bisa lebih serius menjalankan sistem jaminan sosial,” ucapnya.