Perdagangan antarpulau dalam negeri Provinsi Sulawesi Tenggara untuk berbagai komoditas turun drastis. Penyebab utamanya adalah volume produksi yang menurun sepanjang 2018.
Oleh
Saiful Rijal Yunus
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Perdagangan antarpulau dalam negeri Provinsi Sulawesi Tenggara untuk berbagai komoditas turun drastis. Penyebab utamanya adalah volume produksi yang menurun sepanjang 2018. Selain meningkatkan produksi tahun ini, upaya mengolah sendiri komoditas untuk meningkatkan nilai tambah serta ekspor langsung pun dilakukan.
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menunjukkan, nilai total perdagangan antarpulau pada 2018 sebesar Rp 1,76 triliun. Perdagangan ini meliputi hasil pertanian, peternakan, perkebunan dan holtikultura, kelautan perikanan, ternak, serta kehutanan. Sementara itu, nilai perdagangan pada tahun 2017 sebesar Rp 5,56 triliun. Hal itu berarti dalam setahun nilai perdagangan antarpulau Sultra turun sekitar Rp 3,8 triliun.
Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Disperindag Sultra Muhammad Ali, Kamis (23/5/2019), menjelaskan, dari sisi volume, produksi berbagai komoditas memang turun pada 2018. Sejumlah hasil perkebunan, pertanian, termasuk kakao hingga beras, anjlok dibandingkan tahun sebelumnya.
Penurunan tajam terjadi pada sektor perikanan kelautan yang mencapai lebih dari 70 persen, yakni dari Rp 2,9 triliun menjadi Rp 813 miliar. Hal yang lebih kurang sama terjadi pada sektor perkebunan dan industri, yakni dari Rp 1 triliun menjadi hanya Rp 551 miliar.
Hasil sektor komoditas untuk industri, mulai dari kacang mete, kakao bubuk, hingga minyak nilam, juga mengalami penurunan yang sangat drastis. Jika pada tahun 2017 nilai transaksinya mencapai Rp 1 triliun, pada 2018 hanya mencapai Rp 187 miliar. Produksi kacang mete, misalnya, dari 5.106 ton pada 2017 menjadi 2.280 ton yang dikirim antarpulau pada 2018.
”Tapi, perlu dipahami juga, beberapa komoditas itu mulai terpengaruh oleh ekspor. Pada 2018 ada perbaikan regulasi sehingga pelaku usaha sektor perikanan dan kelautan mulai banyak ekspor. Meski sebenarnya (ekspor) lewat Surabaya dulu, kami mencatatnya sebagai perdagangan internasional karena keluarnya tercatat di sini. Itu yang cukup berpengaruh pada perdagangan antarpulau,” ujar Ali.
Tidak hanya perikanan, kata Ali, beberapa komoditas juga mulai terserap untuk sektor industri dalam negeri di Sultra. Salah satu yang mulai dikembangkan adalah kakao, yang mulai diolah di Sultra sebelum diekspor ke luar negeri.
”Ketimbang dikirim untuk daerah lain, sekarang sudah ada industri yang bisa menyerap kakao. Sebuah perusahaan mempunyai kebutuhan hingga 35.000 ton kakao per tahun. Jadi, memang lebih baik diolah di sini daripada dikirim ke daerah lain dengan harga yang lebih bersaing,” kata Ali.
Untuk tahun ini, Ali melanjutkan, pemerintah memang mendorong hasil komoditas untuk perdagangan internasional. Perdagangan dalam negeri atau antarpulau dinilai hanya menguntungkan daerah lain. Berbagai komoditas didorong untuk dikembangkan dan diolah sendiri, lalu nantinya diarahkan untuk ekspor.
Selama ini, komoditas itu dikirim secara gelondongan tanpa diolah. Kacang mete, misalnya, yang menjadi salah satu andalan perkebunan Sultra, sebagian besar dikirim ke Surabaya, Sulawesi, Papua, hingga Jakarta. Industri di daerah-daerah tersebut lalu mengolah kacang mete menjadi banyak produk turunan untuk dijual kembali di tingkat nasional atau diekspor.
Dengan demikian, hasil yang diperoleh bisa jauh lebih besar, baik untuk petani, industri, maupun pemerintah. ”Nilainya dua kali lipat dan neraca keuangan juga semakin baik. Kami targetkan tahun ini agar perdagangan antarpulau di angka Rp 2 triliun, itu sudah lumayan. Yang jelas, ekspor komoditas juga terus bertambah,” ujar Ali.
Berbagai hal telah dilakukan untuk meningkatkan mutu komoditas. Industri mulai masuk di beberapa kabupaten untuk mengolah hasil pertanian dan perkebunan. Kemudahan ekspor juga terus diberikan. Maret lalu, sektor swasta untuk pertama kalinya mengekspor secara langsung kakao ke Belanda sebanyak 80 ton.
Selain itu, ekspor hasil perikanan di Sultra juga terus berkembang. Ikan tuna, cakalang, cumi-cumi, dan gurita dikirim ke sejumlah negara di Asia, juga Amerika. Angka ekspornya juga terus bertambah hingga pertengahan tahun ini.
Meski demikian, hasil ekspor Sultra pada 2018 yang mencapai 9,1 juta ton masih didominasi sektor pertambangan serta industri pengolahan besi dan baja, nikel, dan logam lainnya. Hasil tambang lainnya mendominasi ekspor sekitar 70 persen.
Kepala Disperindag Sultra Siti Saleha menuturkan, berbagai hal memang menjadi kendala ekspor ataupun peningkatan mutu komoditas selama ini. Selain kondisi pelabuhan ekspor, pamor komoditas pertanian dan perkebunan kalah oleh tambang.
”Kami terus melakukan pembinaan dan pelatihan kepada pelaku usaha agar mereka menjadi eksportir. Tidak hanya berorientasi kontraktor atau sektor tambang karena begitu banyak komoditas yang bisa dikembangkan dan bernilai tambah bagi banyak pihak, itu harapannya,” ujar Siti.
Selama ini, kata Siti, komoditas andalan Sultra lebih banyak dimanfaatkan daerah tetangga. Oleh sebab itu, berbagai fokus komoditas dikembangkan secara kontinu, seperti kakao, mete, dan sektor perikanan.