JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mulai melarang penggunaan induk udang yang berasal dari tambak. Kebijakan itu untuk mengantisipasi merebaknya penyakit sindrom kematian dini yang ditimbulkan oleh adanya infeksi Vibrio parahaemolyticus (AHPND).
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto mengemukakan, surat edaran tentang larangan penggunaan induk dari tambak akan diedarkan pekan depan.
”Imbauan untuk tidak menggunakan indukan dari tambak akan kami kawal dalam 6-12 bulan. Setelah itu, larangan akan bersifat wajib,” kata Slamet di Jakarta, Jumat (15/7/2019).
Induk udang dari tambak berpotensi menularkan penyakit karena tidak bisa dijamin bebas penyakit, dipelihara di tempat yang terbuka, dan tidak bisa dijamin keturunannya unggul karena tidak melalui proses pemijahan yang benar. Pemanfaatan induk dari tambak umumnya terjadi pada usaha pembenihan udang skala kecil (HSRT), antara lain ditemukan di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Lampung.
Pihaknya akan memasok indukan dari balai-balai perikanan milik pemerintah, antara lain dari Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIUUK) di Karangasem, Bali. Saat ini, produksi indukan udang dari BPIUUK Karangasem berjumlah 50.000 ekor.
Distribusi bantuan induk udang hingga kini berkisar 6.000 ekor untuk wilayah Cilacap, Banyuwangi, dan Tuban, dan ditargetkan tambahan 3.000 ekor hingga akhir Mei 2019.
Slamet menambahkan, langkah larangan pemanfaatan induk dari tambak merupakan bagian dari upaya mengantisipasi merebaknya penyakit EMS/AHPND dengan mewaspadai masuknya penyakit lintas batas dari negara terjangkit ataupun penggunaan induk yang rentan terinfeksi penyakit. AHPND rentan menyerang udang windu (Penaeus monodon) dan udang vaname (Penaeus vannamei) dengan tingkat kematian hingga 100 persen pada udang berumur 30-40 hari setelah tebar di tambak.
Gejala indikasi penyakit ini dapat ditemukan di tempat pembenihan (hatchery), seperti pada post larva benur, air bak benur dan induk, pakan alami dan feses. Sementara di tambak dapat ditemukan pada udang, kepiting, air tambak dan sedimen atau lumpur.
Langkah melarang pemanfaatan induk dari tambak merupakan bagian dari upaya mengantisipasi merebaknya penyakit EMS/AHPND.
Tahun 2009 AHPND menyerang China. Tahun 2011, AHPND dilaporkan telah menyerang Vietnam dan Malaysia, disusul Thailand (2012), Meksiko (2013), dan Filipina (2015). Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), produksi udang di Thailand dalam kurun tiga tahun merosot akibat serangan AHPND, yakni dari 609.552 ton pada 2013 menjadi 273.000 ton tahun 2016.
Ia mengemukakan, Indonesia juga perlu mengantisipasi merebaknya penyakit EMS/AHPND, dengan mewaspadai masuknya penyakit lintas batas (transboundary disease) yang dapat mengancam industri perudangan nasional dalam hal ini wabah AHPND dari negara terjangkit.
Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Sutanto mengemukakan, saat ini diperkirakan masih ada 30 persen penggunaan induk yang berasal dari tambak. Indukan dari tambak sangat riskan dalam mutu dan sangat berpotensi membawa penyakit. ”Induk berkorelasi dengan penukaran penyakit. Induk dari tambak pembawa penyakit ini bisa menularkan dan menyebarkan penyakit,” katanya.
Penggunaan indukan dari tambak selama ini karena harganya lebih murah, terutama dibandingkan indukan impor. Dicontohkan, induk tambak harganya sekitar Rp 200.000 per kilogram berisi 20 ekor, sedangkan harga indukan impor 50 dollar AS per ekor.
”Induk dari balai belum mencukupi kebutuhan sehingga sebagian petambak udang skala menengah hingga besar menggunakan indukan impor,” katanya.