Tantangan Industri Otomotif Indonesia
Pasang surut pasar otomotif nasional mulai menatap optimisme. Kinerja ekspor dan pengembangan mobil ramah lingkungan menjadi tantangan pasar otomotif nasional.
Optimisme industri otomotif nasional setidaknya terlihat dari denyut antusiasme masyarakat mengikuti pameran otomotif dan tren pertumbuhan penjualan. Pameran Telkomsel Indonesia International Motor Show (IIMS) 2019 di Jakarta yang berakhir pada 3 Mei 2019 dikunjungi 425.211 pengunjung dengan nilai transaksi Rp 3,1 triliun.
Antusiasme itu naik dibandingkan dengan penyelenggaraan IIMS empat tahun lalu. Sebagai perbandingan, IIMS 2015 dikunjungi 359.374 orang dengan nilai transaksi Rp 1,6 triliun. Selain IIMS, kegiatan pameran industri otomotif lain adalah Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS).
Penjualan mobil juga mencatatkan tren positif. Pada 2015, penjualan mobil di Indonesia tercatat 1,01 juta unit kendaraan. Jumlahnya terus naik menjadi 1,15 juta unit tahun 2018.
Peningkatan penjualan kendaraan dari tahun ke tahun di Indonesia ternyata juga dibarengi perubahan preferensi pasar terhadap jenis kendaraan. Dibandingkan dengan tujuh dekade silam, terjadi pergeseran tipe kendaraan yang diminati pasar Indonesia.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada 1949, populasi kendaraan di Indonesia 40.915 unit. Itu terdiri dari 17.626 mobil penumpang, 2.756 bus, 15.949 mobil barang, dan 4.584 sepeda motor. Artinya, populasi kendaraan keluarga sebesar 47 persen. Sisanya, dalam jumlah yang lebih banyak, adalah kendaraan umum atau bus dan angkutan barang.
Jumlah kendaraan ini terus bertumbuh dengan pergeseran ke kendaraan penumpang. Pada 1969 terdapat 218.866 mobil penumpang dari total 701.022 unit kendaraan di Indonesia. Jumlahnya pada 2017 mencapai 138,5 juta kendaraan dengan 15,4 juta unit di antaranya adalah mobil penumpang.
Berkaca pada data Gaikindo 2018, market share mobil keluarga sebesar 76 persen, sedangkan kendaraan niaga 24 persen saja. Lebih spesifik lagi, jenis kendaraan paling laris di Indonesia adalah kelas multi-purpose vehicle (MPV) atau kendaraan serbaguna.
Mobil jenis MPV yang merajai jalanan Indonesia adalah Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia. MPV menjadi pilihan masyarakat Indonesia karena dapat difungsikan sebagai kendaraan keluarga sekaligus mengangkut barang.
Jika ditelusuri berdasarkan merek kendaraan, Toyota masih merajai pasar kendaraan Indonesia pada 2018 dengan membukukan penjualan 353.471 unit. Penjualan berikutnya adalah Daihatsu, Mitsubishi, dan Honda dengan penjualan 162.170 unit.
Dengan demikian, dalam tujuh dekade telah terjadi pergeseran dari dominasi kendaraan umum dan angkutan barang ke kendaraan keluarga terutama jenis MVP.
Kebijakan
Berkembangnya populasi kendaraan di Indonesia juga membawa catatan panjang kebijakan dan dukungan pemerintah terhadap industri otomotif di Nusantara.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutkan, era 1969, Kementerian Perindustrian Perdagangan mengeluarkan peraturan tentang impor kendaraan bermotor, baik dalam keadaan utuh maupun terurai. Saat itu mulai bermunculan industri perakitan serta industri-industri pendukung, seperti suku cadang, pengecetan, baterai (aki).
PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors, agen merek Mitsubishi, muncul sebagai perusahaan pertama yang mengantongi izin sebagai agen pemegang merek (APM) pada 1971. Pada tahun itu pasar kendaraan bermotor pun mulai menggeliat dengan penjualan tahunan sekitar 50.000 unit.
Pada 1976, pemerintah mengeluarkan paket Program Penanggalan Komponen. Salah satu tujuan paket program ini adalah mengenakan pajak impor tinggi terhadap kendaraan yang belum menggunakan suku cadang buatan dalam negeri. Pasar mobil nasional juga mulai merambat naik sebanyak 72.000 unit pada 1976 dan 103.000 unit pada 1979.
Regulasi Program Penanggalan Komponen kemudian diganti dengan Paket Kebijakan Otomotif pada 1993. Industri kendaraan bermotor bisa menentukan komponen untuk diproduksi sendiri dan untuk itu mereka mendapatkan pemotongan pajak impor.
Tiga tahun kemudian, pemerintah menggulirkan Program Mobil Nasional pada 1996. Kebijakan ini secara garis besar mengatur, untuk mendapatkan potongan dan pembebasan bea impor, perusahaan otomotif mesti memiliki kandungan lokal.
Pascareformasi, pemerintah meluncurkan Paket Kebijakan Otomotif 1999 untuk mendorong ekspor produk-produk otomotif dan peningkatan produksi oleh industri pendukung otomotif. Paket kebijakan ini juga menurunkan bea impor kendaraan sebesar 50 persen dari ketentuan sebelumnya.
Kebijakan ini cukup signifikan mendorong penjualan kendaraan. Angka penjualan pada 2000 mencapai 301.000 kendaraan, naik daripada tahun 1999 sejumlah 94.000 unit. Tingkat penjualan terus naik hingga 483.000 unit pada 2004 dan 532.000 unit pada 2005.
Kemandirian industri kendaraan nasional semakin didorong pemerintah dengan meluncurkan kebijakan Program Produksi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013. Aturan itu menggambarkan dukungan program mobil hemat energi, ramah lingkungan, dan terjangkau (low cost green car/LCGC).
Dukungan dimaksud berupa penguatan struktur industri komponen yang berdaya saing melalui investasi dan alih teknologi dengan konsumsi bahan bakar minyak yang relatif hemat serta dapat dikonsumsi masyarakat luas.
Pasal 2 PP itu mengatur bahwa kendaraan bermotor yang termasuk program mobil hemat energi dan harga terjangkau, selain sedan dan station wagon, dasar pengenaan pajaknya dihitung nol persen dari harga jual.
Kebijakan tersebut memunculkan produk kendaraan emisi rendah karbon dan ramah lingkungan yang sudah masuk pasar, di antaranya Toyota Agya, Daihatsu Ayla, Honda Brio Satya, Suzuki Wagon R, dan Datsun Go+ Panca.
Kendala ekspor
Dukungan dan kebijakan pemerintah dalam industri otomotif membawa Indonesia menjadi produsen otomotif nomor dua di kawasan Asia Tenggara di bawah Thailand.
Dilihat dari tren ekspor impor otomotif Indonesia, nilai ekspor pada 2013 sebesar 2.971 juta dollar AS, naik 192 juta dollar AS hingga 2017. Memang diakui ada peningkatan kinerja ekspor. Tetapi, jika dilihat dalam periode empat tahun, pertumbuhan ini cenderung lambat.
Berdasarkan data ASEAN Automotive Federation, produksi kendaraan Thailand pada 2018 mencapai 2,1 juta unit. Dibandingkan dengan Indonesia, jumlah produksi kendaraan Indonesia adalah 1,3 juta unit pada tahun yang sama.
Ditilik dari jumlah ekspornya, Thailand mengirimkan 53 persen hasil produksinya ke luar negeri. Sebesar 4 persen ekspor Thailand ditujukan ke Indonesia. Sementara industri otomotif Indonesia sebagian besar (74 persen) masih dijual di dalam negeri.
Artinya, pasar industri otomotif Indonesia masih mengandalkan penjualan dalam negeri. Di sisi lain, industri otomotif Thailand sudah lebih dari separuh dijual di pasar internasional. Selain jumlah produksi Thailand lebih banyak dibandingkan dengan Indonesia, Thailand juga lebih berhasil menciptakan pasar luar negeri untuk menjual produknya.
Perkembangan menarik di Asia Tenggara dapat dilihat dari Myanmar. Berbeda dengan Thailand dan Indonesia, Myanmar merupakan negara dengan produksi mobil paling minim di ASEAN. Walau produksi Myanmar paling sedikit, pertumbuhan industri kendaraan meningkat sebesar 149 persen pada tahun 2018. Tahun 2017 Myanmar membuat kendaraan 4.930 unit, kemudian meningkat tiga kali lipat pada angka 12.292 unit pada tahun berikutnya.
Dengan berkaca pada Thailand, capaian kinerja produksi dan penjualan otomotif Indonesia perlu diimbangi dengan ekspor industri otomotif, termasuk kebijakan yang mendukung ekspor. Selain itu, Indonesia perlu waspada terhadap pertumbuhan otomotif Myanmar. Bahkan, perlunya menjadikan negara itu pasar ekspor baru, mengingat pertumbuhan industri kendaraan yang sedang meningkat di sana.
Pemerataan
Selain kinerja ekspor, dalam rencana jangka panjang, transportasi Indonesia perlu mengedepankan pemerataan dan memperhatikan aspek lingkungan. Mayoritas penjualan kendaraan pada 2017 masih didistribusikan di Pulau Jawa.
Sebanyak 768.000 kendaraan atau 71 persen penjualan untuk di Pulau Jawa. Distribusi penjualan kendaraan per provinsi di Pulau Sumatera hanya 30.000 unit.
Penjualan di Indonesia timur paling banyak di Sulawesi Selatan, sejumlah 34.000 unit. Ini menjadi potensi masalah besar jika tidak diimbangi dengan pembangunan jalan yang memadai. Ketimpangan ini menyebabkan kemacetan di kota-kota besar di Indonesia, terutama di Jawa.
Selain itu, kebijakan yang telah ada menyangkut mobil hemat energi, ramah lingkungan, dan terjangkau perlu terus ditingkatkan. Bahkan, industri otomotif Indonesia perlu memperhatikan aspek lingkungan dengan mulai mengembangkan dan memproduksi kendaraan listrik. Urgensi diproduksinya kendaraan listrik selain mengurangi polusi adalah mengurangi kebergantungan negara terhadap minyak bumi. (LITBANG KOMPAS)