Kesabaran Diuji Saat Rekapitulasi
Suasana sunyi terasa dalam sebuah ruangan di lantai tiga gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (15/5/2019) siang. Namun kesunyian tidak berarti ruangan yang kosong. Lebih dari 20 orang hadir dalam ruangan itu, tetapi setengahnya bersandar dalam diam dan sambil sesekali memainkan ponsel di atas kursi. Sisanya, duduk di lantai dan bersandar pada dinding, setengah tertidur.
Mereka adalah saksi yang hadir dalam hasil Rapat Pleno Rekapitulasi tingkat Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur. Seperti tidak ada urgensi bahwa hasil rapat pleno sedang ditunggu-tunggu, sebagai salah satu kepingan puzzle terakhir dalam penghitungan suara nasional Pemilihan Umum 2019.
“Ini tinggal nunggu fotokopi formulir untuk rekapitulasi DPRD Provinsi,” kata Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Pulo Gadung Herry Susanto (71).
Tanpa ada blangko salinan formulir yang dipegang oleh Panitia Pengawas Kecamatan dan saksi, proses belum dapat dilanjutkan. Edi (45), seorang saksi untuk caleg, hanya bisa menunggu sambil duduk lesehan di belakang ruangan. “Biasanya satu-dua jam untuk fotokopi, ya, sabar saja menunggu,” kata dia.
Bagi Edi, persoalan menunggu sudah biasa dalam proses rekapitulasi suara. Sudah hampir dua pekan ia mengikuti proses penghitungan untuk seluruh kelurahan dalam cakupan kecamatan Pulo Gadung. Sudah biasa, rapat pleno pengesahan di tingkat kelurahan tidak dimulai tepat waktu. Selalu terlambat satu-dua jam.
Mungkin menunggu satu-dua jam tampak seperti persoalan sepele dan tidak terasa sebagai persoalan yang serius dalam proses rekapitulasi nasional Pemilu 2019, mengingat waktu yang diberikan adalah selama 35 hari. Namun tidak dapat dimungkiri, dampak akhirnya terasa signifikan.
Hingga Rabu malam, panitia pemilihan kecamatan (PPK) Pulo Gadung belum dapat menyelesaikan proses rekapitulasi dari 803 tempat pemungutan suara yang berada di kecamatan tersebut.
Rekapitulasi penghitungan di tingkat Jakarta Timur pun harus menunggu tuntasnya tahapan di Kecamatan Pulo Gadung terlebih dahulu. Efek domino ini pun berlanjut hingga tingkat provinsi DKI Jakarta. Hingga saat ini, KPU DKI Jakarta belum bisa menyerahkan hasil penghitungan suara ke KPU RI.
Berdasarkan Peraturan KPU 7/2019, tahapan rekapitulasi kecamatan sudah seharusnya tuntas lebih dari sepekan yang lalu, pada Minggu (5/5/2019). Bahkan, KPU provinsi DKI Jakarta sudah seharusnya menetapkan hasil penghitungan suara tingkat provinsi pada Senin (13/5/2019) lalu.
Kelambanan proses rekapitulasi di ibukota juga diperparah dengan tingkat penguasaan teknis petugas lapangan yang rendah.
Herry mengatakan, proses rekapitulasi sudah mulai terhambat sejak di tingkat kelurahan. Panitia Pemungutan Suara (PPS) kelurahan seringkali harus memanggil kembali para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) akibat pengisian sertifikat hasil penghitungan suara TPS yang tidak sesuai dengan angka yang dipegang saksi.
Akibatnya, pembukaan kotak suara dan penghitungan suara harus diulang. “Paling tidak ada empat TPS di setiap kelurahan di Kecamatan Pulo Gadung. Ini menghambat,” kata Herry.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Jakarta Timur Wage Wardana mengakui, tingkat pemahaman teknis petugas KPPS menjadi salah satu kendala utama.
“Kami di beberapa tempat, kasus khususnya adalah petugas yang agak kedodoran, karena faktor kelelahan dan juga pemahaman mereka. Namun jangan dilupakan, dedikasi KPPS itu luar biasa,” kata Wage.
Dari enam kabupaten dan kota administratif DKI Jakarta, Jakarta Timur adalah yang paling lambat. Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat sudah tuntas sekitar sepekan yang lalu. Sedangkan Jakarta Utara selesai pada akhir pekan lalu.
Wage mengatakan, ini disebabkan karena Jakarta Timur memiliki beberapa wilayah dengan jumlah TPS yang sangat besar. Bahkan terdapat 1.461 TPS di Kecamatan Cakung; diperkirakan terbanyak se-Indonesia. Kecamatan lain dalam Jakarta Timur, seperti Duren Sawit, memiliki jumlah TPS sebanyak 1.123 unit.
“Kalau boleh jujur, jumlah TPS memang menjadi tantangan utama,” kata Wage.
Jadi hampir mustahil, rekapitulasi Jakarta Timur dapat menyamai kecepatan kota-kota lain di Indonesia. Kota Bengkulu, contohnya, hanya memiliki 977 TPS. Provinsi Bengkulu menjadi salah satu provinsi dengan rekapitulasi tercepat.
“Berdasarkan simulasi kami butuh waktu 35 hari untuk menghitung suara Kecamatan Cakung saja. Dua kali lipat dari waktu yang dialokasikan PKPU,” kata anggota KPU DKI Jakarta Partono.
Dengan demikian hanya menunggu yang bisa dilakukan. Hanya tersisa kurang dari sepekan sebelum batas waktu 22 Mei 2019. Tetapi, bagaimanapun, proses tetap harus dikawal dan tidak bisa terburu-buru, demi integritas pemilu Indonesia.
Kacau di Papua
Tak berbeda dengan di Jakarta, rekapitulasi perhitungan suara tingkat Provinsi Papua yang terlaksana sejak 27 April lalu belum tuntas hingga kini. Masalah integritas penyelenggara pemilu hingga perubahan data pemilih menjadi kisah yang mewarnai pelaksanaan tahapan tersebut.
Selasa (14/5/2019) sekitar pukul 22.00 WIT, lima anggota KPUD Kepulauan Yapen memasuki sebuah ruangan aula yang terbesar di Hotel Grand Abe Jayapura. Hotel ini merupakan tempat pelaksanaan rekapitulasi perhitungan suara untuk tingkat Provinsi Papua.
Dalam ruangan ini tampak lima Komisioner KPUD Papua dan Badan Pengawas Pemilu Papua beserta para saksi calon presiden, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, DPR RI dan DPR Provinsi Papua telah menanti kehadiran mereka.
Anggota KPUD Yapen memaparkan hasil rekapitulasi perhitungan suara tingkat Provinsi Papua untuk Kabupaten Kepulauan Yapen.
Sejam kemudian setelah membacakan hasil tersebut, para saksi pun mengajukan protes karena KPUD Yapen tak memberikan dokumen hasil rekapitulasi perhitungan suara di tingkat distrik dan kabupaten.
Yan Mandenas, salah satu saksi parpol saat mendapatkan kesempatan mengajukan pertanyaan kepada Ketua KPUD Yapen Moris Muabuai terkait indikasi penggunaan sistem noken di sejumlah distrik. Dari temuan Yan, banyak caleg yang tidak meraih suara satu pun padahal di kampung halamannya. Namun ada caleg yang meraih hingga di atas 50.000 suara.
Diketahui Kepulauan Yapen tidak melaksanakan sistem pemilu dengan noken atau pemungutan suara dengan hasil musyawarah bersama atau perintah kepala suku setempat. Moris pun membantah pertanyaan itu dan ia berdebat dengan Yan terkait penggunaan sistem noken. Dari jarak sekitar dua meter, Yan yang naik pitam kemudian melemparkan mikrofon di tangannya ke arah Moris yang berdiri di atas mimbar.
Beruntung, Moris berhasil menghindar dari mikrofon tersebut. Aparat kepolisian pun mengamankan Moris dan dua anggota KPUD Yapen ke salah satu ruangan untuk menghindari aksi saksi yang dirugikan dengan hasil rekapitulasi tersebut.
Tak hanya insiden pelemparan mikrofon pada hari itu. Sekitar pukul 16.00 WIT, petugas Brimob Polda Papua yang dipimpin Komisaris Besar Jermias Rontini menjemput paksa lima komisioner KPUD Kabupaten Puncak beserta dua stafnya dari salah satu hotel di Jayapura.
Mereka dibawa ke Hotel Grand Abe Jayapura agar segera melaksanakan rekapitulasi perhitungan suara yang tertunda selama beberapa hari. Komisioner KPUD Puncak pun akhirnya melaksanakan rekapitulasi perhitungan sekitar pukul 17.00 WIT hingga pukul 21.00 WIT.
Dari data KPU Papua, pihak kepolisian telah menjemput paksa komisioner KPUD dari sejumlah kabupaten selama sepekan terakhir, yakni Mimika, Dogiyai, Puncak, Puncak Jaya, Yalimo, Lanny Jaya Nduga, Tolikara dan Yahukimo.
Hasil rekapitulasi perhitungan suara dari Puncak pun bermasalah seperti Kepulauan Yapen, yakni tidak adanya pemberian dokumen DB1 dan DA1 kepada Bawaslu dan saksi parpol, adanya indikasi pengalihan suara untuk caleg tertentu dan tak adanya pelaksanaan rekapitulasi perhitungan suara di sejumlah distrik.
Bawaslu Papua pun mengeluarkan rekomendasi bagi KPUD Yapen untuk rekapitulasi ulang perhitungan suara di 15 distrik dan menolak hasil rekapitulasi dari Kabupaten Puncak.
Anggota KPUD Puncak Nus Wakerkwa mengaku, pihaknya terpaksa memindahkan tempat rekapitulasi ke Jayapura karena situasi keamanan di Ilaga, ibu kota Puncak, tidak aman. "Caleg beserta simpatisannya mengancam kami agar mengubah data dalam rekapitulasi perhitungan suara di Ilaga. Mereka bahkan mengejar kami sebelum naik pesawat ke Jayapura, " ungkap Nus.
Tiga masalah
Koordinator Divisi Pengawasan Bawaslu Papua Niko Tunjanan berpendapat, terdapat tiga masalah utama yang menyebabkan terjadinya keterlambatan pelaksanaan rekapitulasi perhitungan di dari jadwal yang ditetapkan KPU RI.
Ketiga masalah ini meliputi, integritas penyelenggara pemilu yang rendah, pelaksanaan sistem noken yang tidak sesuai prosedur, dan pelaksanaan rekapitulasi perhitungan suara di tingkat distrik dan kecamatan yang terlambat selama dua hingga tiga hari karena faktor kondisi geografis yang sulit.
Masalah integritas misalnya adanya dugaan perubahan data hasil pemungutan suara di tingkat distrik dan kabupaten. Hal ini terjadi di Kota Jayapura. Akibatnya, ibu kota Provinsi Papua ini belum menuntaskan tahapan rekapitulasi perhitungan akibat banyaknya protes dari saksi parpol hingga Rabu (15/5/2019) ini.
Terkait sistem noken, lanjut Niko, Bawaslu menemukan banyak penyelenggara pemilu di TPS yang tidak mendata jumlah pemilih yang menggunakan sistem noken dalam dokumen C1.
Padahal, dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2014 menyatakan bahwa penggunaan sistem noken harus disertai pengadministrasian yang valid.
"Dalam rekapitulasi perhitungan suara untuk tingkat Provinsi Papua dalam Pemilu 2019, kami mengeluarkan rekomendasi menolak hasil rekapitulasi dari sejumlah kabupaten, seperti Paniai, Mamberamo Raya, Puncak dan Kabupaten Jayapura, " papar Niko.
Ishak Rumbarar, salah satu saksi parpol mengaku, ada indikasi pelanggaran dalam rekapitulasi perhitungan suara dalam Pemilu 2019 di Papua yang menggunakan sistem noken dan politik transaksional yang masif.
"Partai kami Golkar di dua kabupaten seperti Dogiyai dan Paniai tak meraih suara satu pun. Padahal, kami memiliki pengurus yang lengkap dari tingkat kabupaten hingga kecamatan, " tutur Ishak.
Ishak pun menegaskan, pihaknya bersama sejumlah Parpol akan menggugat hasil rekapitulasi ke Mahkamah Konstitusi dan melaporkan anggota KPUD dari puluhan kabupaten ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Ketua KPU Papua Theodorus Kossay mengaku, pihaknya sudah berupaya maksimal untuk mempercepat tahapan rekapitulasi perhitungan suara dari 28 kabupaten dan 1 kota. Misalnya dengan meminta bantuan pihak kepolisian untuk upaya jemput paksa Komisioner KPUD dari sejumlah daerah.
"Para Komisioner ini tak dapat dihubungi via telepon selama beberapa hari ini. Karena itu, pihak kepolisian harus melacak keberadaan mereka dan membawanya ke tempat pelaksanaan rekapitulasi, " kata Theodorus.
Ia mengungkapkan, masalah perubahan data hasil pemungutan suara oleh penyelenggara pemilu marak terjadi di tingkat distrik. Sebanyak 50 persen dari 26 kabupaten yang melaksanakan rekapitulasi perhitungan suara bermasalah dengan perubahan data hasil pemungutan suara. Oknum Panitia Pemilihan Distrik yang paling terlibat dalam masalah tersebut.
"Pasca tahapan ini, kami akan mengevaluasi pelaksanaan pemilu, penggunaan sistem noken dan profesionalitas serta integritas penyelenggara pemilu. Tujuannya untuk memperbaiki kualitas pemilu lebih demokratis, " tutur Theodorus.