Perekonomian Tanah Air masih sangat rentan terhadap ketidakpastian ekonomi global. Belum adanya kesepakatan AS-China terkait perang tarif barang impor berdampak pada semakin tertekannya pasar saham dan pasar keuangan domestik.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perekonomian Tanah Air masih sangat rentan terhadap ketidakpastian ekonomi global. Belum adanya kesepakatan antara Amerika Serikat dan China terkait perang tarif barang impor berdampak pada semakin tertekannya pasar saham dan pasar keuangan domestik.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di titik terendah sepanjang tahun ini pada perdagangan Rabu (15/5/2019). IHSG kembali turun 1,49 persen ke level 5.980,88. Pelemahan diiringi juga dengan aksi jual investor asing yang mencapai Rp 458,17 miliar.
Kepala Riset Ekuitas Ekuator Swarna Sekuritas David Sutyanto mengatakan, adu tarif impor AS-China menjadi biang kerok pelemahan IHSG. Sentimen perang tarif berdampak pada pelemahan saham sektor komoditas kelapa sawit dan batubara.
Hal ini menunjukkan kebanyakan pergerakan harga saham di Indonesia masih amat sensitif terhadap faktor ekonomi global. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia per 15 Mei 2019, porsi investor asing masih ada di kisaran 34 persen.
”Porsi investor asing di pasar saham Indonesia masih cukup besar. Faktor global tidak bisa diabaikan. Mau tidak mau, neraca perdagangan Indonesia pun akan sangat dipengaruhi oleh kondisi global,” ujarnya di Jakarta, Rabu.
Meski sejumlah harga saham terlihat murah, David tidak menyarankan untuk akumulasi beli jangka panjang. Pasalnya, kondisi gejolak yang terjadi di pasar saham masih tidak menentu hingga adanya kejelasan hubungan dagang antara AS dan China.
Anjloknya level IHSG masih diikuti dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada 15 Mei 2019, rupiah berada di level Rp 14.448 per dollar AS.
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menilai, selain faktor global, pelemahan rupiah disebabkan faktor musiman pembayaran dividen dan bunga utang luar negeri pada triwulan II-2019.
Andry melihat potensi aliran masuk penanaman modal asing (PMA) akan kembali tumbuh di paruh kedua 2019. Hal ini akan terjadi seiring dengan meredanya ketidakpastian global akibat perang dagang. Terlebih kenyamanan berinvestasi di Indonesia lebih baik dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.
”Hal yang membedakan Indonesia dengan negara emerging lain adalah Pemerintah Indonesia lebih responsif dalam menelurkan kebijakan untuk memitigasi faktor dan risiko global,” ujarnya.
Perang dagang menyebabkan terjadinya arus modal keluar ke instrumen investasi safe haven yang ditandai dengan meningkatnya imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) bertenor 10 tahun sebesar 1,2 bps menjadi 8,05 persen.
Namun, Andry optimistis Pemerintah AS dan China akan segera menyepakati perjanjian untuk mengakhiri perang dagang sehingga normalisasi terhadap pertumbuhan ekonomi global bisa terjadi pada semester II-2019.
”Kami yakin, perang tarif AS-China bersifat temporer karena tidak akan ada yang menang bila terus berlanjut. Keduanya akan sama-sama mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi yang buruk,” ujarnya.
Di samping itu, Andry juga yakin, defisit transaksi berjalan akan terjaga ke level 2,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Terjaganya neraca transaksi berjalan merupakan dampak dari penerapan kebijakan pemerintah tahun sebelumnya, seperti pemilahan proyek infrastruktur serta biodiesel bauran 20 persen (B20).
Pada triwulan I-2019, ekonomi Indonesia cenderung tumbuh stabil sebesar 5,07 persen. Daya beli masyarakat di periode ini terjaga, ditunjukkan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 5,01 persen, meningkat dari 4,95 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Seiring dengan melemahnya permintaan dunia akibat neraca perdagangan barang dan jasa turut terkoreksi dengan pertumbuhan ekspor yang turun 2,08 persen di triwulan I-2019.