Kurs Rupiah dan IHSG Terimbas Aksi Saling Balas AS-China
Sengketa dagang antara Amerika Serikat dan China semakin memanas setelah kedua negara saling menaikkan tarif impor. Kondisi ini diprediksi akan meningkatkan gejolak pasar uang dan pasar portofolio di Indonesia.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sengketa dagang antara Amerika Serikat dan China semakin memanas setelah kedua negara saling menaikkan tarif impor. Kondisi ini diprediksi akan meningkatkan gejolak pasar uang dan pasar portofolio di Indonesia.
Pekan lalu, Amerika Serikat (AS) menambah tarif, dari 10 persen menjadi 25 persen, atas barang-barang ekspor China ke AS senilai 200 miliar dollar AS. China tidak tinggal diam dengan menaikkan tarif impor, mulai dari 5 persen hingga 25 persen, terhadap produk agrikultur dan manufaktur AS senilai 60 miliar.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan, aksi balasan dari China terhadap kenaikan tarif AS itu akan meningkatkan kekhawatiran pasar. Tingginya kekhawatiran ini dapat memicu keluarnya aliran modal asing dari pasar domestik.
Aksi balasan dari China terhadap kenaikan tarif AS itu akan meningkatkan kekhawatiran pasar.
”Pelaku pasar akan mencari aset aman dan keluar dari aset berisiko, termasuk emerging markets. Rupiah akan semakin tertekan,” ujarnya, di Jakarta, Selasa (14/5/2019).
Berdasarkan kurs nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah berada di level Rp 14.444 per dollar AS. Angka ini menjadi yang terlemah dalam satu bulan terakhir. Sementara di pasar spot, hari ini rupiah bergerak di level Rp 14.426-Rp 14.434 per dollar AS.
Ibrahim menambahkan, selain faktor eksternal, katalis negatif dalam negeri masih berasal dari rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang dirilis pada pekan lalu.
Bank Indonesia mencatat, NPI membukukan surplus senilai 2,4 miliar dollar AS pada triwulan I-2019. Namun, neraca transaksi berjalan, yang merupakan bagian dari NPI, membukukan defisit 6,97 miliar dollar AS atau setara dengan 2,6 persen produk domestik bruto (PDB).
Angka defisit tersebut mengalami penurunan 24,45 persen dari triwulan IV-2019 sebesar 9,22 miliar dollar AS. Namun, defisit triwulan I-2019 masih lebih besar dari periode triwulan I-2018 yang sebesar 5,19 miliar dollar AS.
”Jika defisit pada awal tahun saja sudah lebih lebar, ada potensi bahwa defisit transaksi berjalan untuk keseluruhan 2019 juga akan melebar. Praktis, rupiah menjadi kehilangan pijakan untuk menguat,” ujar Ibrahim.
Analis Binaartha Sekuritas, Muhammad Nafan Aji, menilai, keputusan China berdampak pada semakin tertekannya pergerakan bursa regional Asia pada Selasa (14/5/2019), termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
”Tekanan masih akan berlanjut hingga muncul data ekonomi makro domestik yang positif yang mampu mengurangi tekanan tersebut,” ujarnya.
IHSG ditutup turun 1,05 persen atau 64,19 poin ke level 6.071,20. IHSG menyentuh level terendahnya sejak 30 November 2018 dan telah melemah hingga 1,99 persen sepanjang tahun ini.
Investor asing mencatat aksi jual bersih hingga 260 juta dollar AS dalam enam hari terakhir. Ini menjadi arus aliran modal keluar terbesar sejak Februari 2019.
Pelemahan IHSG terjadi seiring dengan pelemahan bursa Asia. Kedua indeks bursa saham China terkena dampak sentimen perang dagang, terlihat dari anjloknya Shanghai Composite Index sebesar 0,69 persen ke level 2.883,61 serta turunnya Shenzen Stock Exchange Composite Index 0,71 persen menjadi 9.038,36.
Adapun indeks Hang Seng Hong Kong anjlok 1,5 persen ke level 28.122,02; disusul turunnya indeks Nikkei 225 di Jepang yang turun 0,59 persen menjadi 21.067,23.