”Kalembo Ade”, Pesan dari Sumbawa
Jumat subuh, 3 Mei 2019, saya meluncur ke Bandara Soekarno-Hatta menuju Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Tujuannya menemani pelari Lintas Sumbawa 320 km.
Dalam perjalanan ke bandara terdengar bincang-bincang pemilu presiden di radio. Sopir taksi nyeletuk, ”Apakah Pemilu 2019 harus sampai ke Mahkamah Konstitusi.” Sopir membuka cerita. ”Emang kenapa kalau sampai ke MK,” saya menanggapi balik. ”Repot Pak, kelamaan. Rakyat bisa berhadap-hadapan terus.”
Sopir itu melanjutkan obrolannya. ”Lihat saja sekarang, spanduk ucapan selamat bertebaran. Rakyat dibuat bingung, siapa yang menang,” katanya. Nanti, ketika MK bersidang dan akan menjatuhkan putusan, ketegangan akan terjadi. ”Kalau rakyat bentrok, yang beruntung aparat keamanan, aparat yang mengambil alih. Jangan sampai bentroklah.” Ini ibarat rebutan layangan putus dan kemudian rusak terkoyak-koyak oleh orang yang berebut. Saya terkejut dengan analisis politik sopir taksi tersebut. ”Kalau saya, mah, tetap saja nyopir siapa pun yang menang,” tambahnya lagi.
Saya penasaran dengan sopir. ”Bapak suka bicara politik, emangnya Bapak timses?” ”Saya banyak ngobrol dengan penumpang, banyak baca koran.” Taksi tiba di bandara dan percakapan berhenti.
Dalam perjalanan Kompas Lintas Sumbawa 320 km, dari Sumbawa Besar hingga Ndoro Canga, saya ngobrol dengan pelari dan penduduk di sekitar lintasan lari. Bertemu dengan pejabat lokal, seperti Bupati Dompu Bambang M Yasin ataupun Kepala Dinas Pariwisata Nusa Tenggara Barat Muhammad Fauzal, sambil makan siang di padang savana yang indah.
Dari mereka saya mendengar kearifan lokal Sumbawa. Salah satunya adalah kalembo ade. Gatot Sudariyono, pelari dari Jakarta, mengirim saya pesan Whatsapp, ”Dari Sumbawa saya belajar ribuan pelajaran, salah satunya kalembo ade.”
Apa makna kalembo ade? Dalam tulisan di harian Kompas, 5 Mei 2019, ada tulisan ”Napas kalembo ade dalam 320 km”. Kalembo ade melekat pada masyarakat Mbojo di Dompu dan Bima di Sumbawa. Kalembo ade mengandung makna, pelajaran keikhlasan menerima ketidakberhasilan dan juga tetap rendah hati dalam kemenangan.
Dalam pemaknaan lebih longgar, kalembo ade relevan dengan obrolan dengan sopir taksi. Kampanye telah dilakukan tujuh bulan. Semua sumber daya dikerahkan. KPU menggelar lima kali debat. Pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin berkeliling Indonesia untuk memasarkan program mereka. Entah berapa besar dana keluar.
Hari penghakiman digelar pada Rabu, 17 April 2019. Rakyat bersuara. Hasil hitung cepat dirilis 2 jam setelah TPS tutup. Pasangan Jokowi-Amin diunggulkan bakal memimpin Indonesia 2019-2024 dengan raihan 54-55 persen suara. Prabowo mengklaim menang 62 persen berdasar survei internal yang tertutup. Sujud syukurlah Prabowo dan pendukungnya. Belakangan ribut soal pemberi informasi angka 62 persen itu. Biarlah KPU memutuskannya secara jujur dan transparan.
Dari klaim kemenangan muncul narasi kecurangan. Sejarah pemilu berulang. Pada Pemilu 2014 juga terjadi perayaan kemenangan. Ada sujud syukur. Tahun 2009, muncul narasi kecurangan. KPU selalu dipersalahkan.
Narasi serupa pun kini muncul. Sejarah berulang. Lihat berita Kompas, 16 Mei 2009, ”Kisruh DPT Bisa Berulang. Banyak Pemilih Belum Terdaftar”. Sementara berita Kompas, 10 Juli 2009, berjudul ”SBY-Boediono Belum Terkejar—Dua Pasangan Lain Curigai Kecurangan”. Pada hari yang sama di koran yang sama ada berita berjudul, ”Penghitungan Sementara di KPU Berhenti—KPU Dinilai Menjustifikasi Hitung Cepat Lembaga Survei”. Kemudian, di Kompas, 11 Juli 2009, ada berita berjudul, ”Ada Jutaan Penyimpangan”.
Berita tahun 2009 dan 2014 punya nada sama dengan 2019. Hanya aktor dan posisi politik yang berbeda. Namun, catatan lain yang mencolok adalah banyaknya petugas panitia pemilihan yang meninggal. Ini catatan kelam demokrasi kita. Pemilu serentak 2019 tak mungkin bisa dipertahankan.
Desain pemilu serentak 2019 adalah kelemahan imajinasi pembuat undang-undang, termasuk hakim Mahkamah Konstitusi yang memutuskan uji materi tahun 2013. Sebuah imajinasi yang terlalu ideal, tetapi terlalu kompleks untuk dilaksanakan. Sebagaimana dikatakan hakim konstitusi Maria Farida Indrati dalam dissenting opinion-nya, ”Terlepas dari kemungkinan timbulnya kesulitan yang akan dihadapi penyelenggara pemilu… hal ini bukanlah masalah konstitusionalitas norma, tetapi merupakan kebijakan hukum pembuat undang-undang.”
Obrolan sopir taksi dan kalembo ade layak direnungkan. Sama dengan pelari yang terus bergerak maju, bangsa ini pun harus bergerak maju, bukanlah malah mundur ke belakang menuju zaman kegelapan, seperti prahara Mei 1998. Ikhlas menerima ketidakberhasilan, dan tetap rendah hati dalam kemenangan.