Monorel Dipertimbangkan untuk Konektivitas Kereta Cepat
Monorel menjadi alternatif pilihan transportasi massal menyambut konektivitas kereta cepat Jakarta-Bandung dengan kawasan Bandung Raya.
Oleh
SAMUEL OKTORA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih mengkaji teknologi moda transportasi massal yang akan diterapkan untuk menyambut konektivitas kereta cepat Jakarta-Bandung dengan kawasan Bandung Raya. Monorel menjadi alternatif pilihan.
Hal itu menjadi salah satu topik pembahasan dalam rapat pimpinan di Gedung Sate, Kota Bandung, yang dipimpin Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Senin (6/5/2019).
Pertimbangan pada monorel antara lain melihat pada aspek pembiayaan yang relatif ringan, kecepatan, dan teknologi.
”Ditargetkan kereta cepat Jakarta-Bandung tuntas pada Juni 2021 sehingga konektivitasnya ke Bandung Raya juga harus siap. Teknologi yang tepat sedang dipertimbangkan, apakah akan menggunakan LRT (kereta ringan) atau monorel. Monorel menjadi alternatif pilihan,” tutur Ridwan Kamil.
Pertimbangan pada monorel antara lain melihat pada aspek pembiayaan yang relatif ringan, kecepatan, dan teknologi.
Dari tujuh jalur, untuk fase pertama pembangunan direncanakan dari Tegaluar-Gedebage-Leuwipanjang. Pembangunan untuk fase pertama ini akan dilakukan dengan skema bussiness to bussiness (B to B). Sementara fase berikutnya akan menerapkan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU).
Sekretaris Daerah Jabar Iwa Karniwa menuturkan, skema B to B tersebut ditempuh untuk mempercepat proyek. ”Sebab, kalau menggunakan pola KPBU, diperkirakan tak sanggup dipenuhi pada Juni 2021 karena prosesnya akan lebih rumit, harus menghitung subsidi dari APBN. Sedangkan B to B, pembiayaan dari internal perusahaan,” ujarnya.
Iwa juga menyinggung, pilihan pada monorel untuk konektivitas kereta cepat itu melihat pengalaman dari LRT di Kota Palembang, Sumatera Selatan.
”Dari pembangunan LRT di Palembang menimbulkan beban signifikan dari APBN maupun APBD. Monorel memungkinkan diterapkan dari sisi teknologi dan biayanya juga relatif lebih murah,” ucapnya.
Sebagai contoh, ketika masa uji coba, LRT tiga kali mogok sebelum dioperasikan penuh pada September 2018. Sejumlah bagian kereta harus diperbaiki untuk penyempurnaan.
Selain itu, tingkat keterisian (okupansi) relatif masih rendah, dari kapasitas LRT 27.000 penumpang per hari, rata-rata keterisian penumpang masih 22 persen (Kompas, 17 April 2019).
Selain itu, Iwa juga menyinggung, rencana reaktivasi rel kereta api di Jabar, selain memprioritaskan pada rute Cibatu-Garut sepanjang 19,3 kilometer (km), juga memfokuskan pada jalur Rancaekek-Tanjungsari sepanjang 11,5 km.
Rute Cibatu-Garut yang berhenti beroperasi tahun 1983 itu adalah satu dari empat jalur yang akan direaktivasi di Jabar. Tiga rel lain adalah jalur Rancaekek-Tanjungsari yang berhenti beroperasi tahun 1978, Bandung-Ciwidey sepanjang 37,8 km (1975), dan jalur Banjar-Pangandaran sepanjang 60 km (1982).
”Untuk reaktivasi rel Cibatu-Garut, tahun ini (2019) ditargetkan selesai. Selanjutnya prioritas lainnya adalah jalur Rancaekek-Tanjungsari untuk dituntaskan,” kata Iwa.
Jalur tersebut padat dengan aktivitas pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat. Mobilitas penduduk serta pergerakan arus barang, jasa, dan masyarakat juga tinggi di jalur tersebut. Karena itu, dibutuhkan kecepatan akses dan kepastian waktu sehingga tidak menimbulkan biaya tinggi.
”Jalur reaktivasi rel ini juga akan meningkatkan akses menuju Bandar Udara Internasional Jawa Barat Kertajati selain dari Tol Cipali dan Tol Cisumdawu,” ujar Iwa.