Bencana Meningkat, Salah Kelola Lingkungan Perparah Skala Bencana
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Frekuensi dan dampak bencana hidrometeorologi terus meningkat. Pemanasan global mengubah pola hujan ekstrem dan menguatkan intensitas siklon tropis sehingga meningkatkan risiko. Namun, bencana terutama terjadi karena kesalahan pengelolaan lingkungan dan tata ruang.
Berdasarkan Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak Januari hingga akhir April 2019 telah terjadi 1.586 kejadian bencana di Indonesia yang menyebabkan 325 korban jiwa, 113 orang hilang, 1.439 orang luka-luka, dan 996.143 orang mengungsi. Bencana juga menyebabkan 3.588 rumah rusak berat, 3.289 rumah rusak sedang, 15.376 rumah rusak ringan, 325 bangunan pendidikan rusak, 235 fasilitas peribadatan rusak, dan 78 fasilitas kesehatan rusak.
Lebih dari 98 persen kejadian bencana ini dipicu hidrometeorologi, berupa banjir, banjir bandang, longsor, hingga puting beliung. Sisanya, dua persen merupakan bencana geologi.
"Jika dibandingkan periode yang sama pada tahun 2018, frekuensi bencana pada tahun ini mengalami kenaikan 7,2 persen. Sedangkan jumlah korban jiwa meningkat 192 persen dan korban luka-luka meningkat 212 persen," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.
Jika dibandingkan periode yang sama pada tahun 2018, frekuensi bencana pada tahun ini mengalami kenaikan 7,2 persen.
Selama 2019 ini terdapat tiga kejadian bencana yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian paling besar, yaitu banjir bandang di Sulawesi Selatan pada 22 Januari 2019, banjir dan longsor di Sentani, Papua pada 16 Maret 2019, serta banjir dan longsor di Bengkulu pada 27 April 2019.
Menurut Sutopo, bencana di Sulawesi Selatan menewaskan 82 orang, 3 orang hilang, 47 orang luka, dengan kerugian ekonomi mencapai Rp 926 miliar. Bencana di Sentani menewaskan 112 orang, 82 orang hilang, 965 orang luka dan kerugian mencapai Rp 668 miliar. Sedangkan bencana Bengkulu menewaskan 29 orang, 13 orang hilang, 4 orang luka dan kerugian ekonomi Rp 200 miliar.
Gejolak cuaca
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), tiga kejadian bencana paling mematikan dan merusak ini didahului dengan gejolak cuaca yang memicu terjadinya hujan ekstrem. Misalnya, banjir bandang di Sulawesi didahului dengan hujan rata-rata di atas 300 milimeter (mm) per hari yang terjadi di sejumlah wilayah.
Sedangkan banjir dan longsor di Sentani didahului dengan hujan dengan intensitas di atas 200 mm per hari. Demikian halnya dengan banjir dan longsor di Bengkulu yang dipicu dengan hujan ekstrem di atas 100 mm per hari. Hujan dikategorikan lebat jika di atas 50 mm per hari dan ekstrem di atas 100 mm per hari.
Menurut peneliti iklim yang juga Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto, pola hujan di Indonesia saat ini cenderung berubah. Hujan kategori lebat hingga ekstrem telah meningkat pesat untuk periode 1961–2010, sekalipun untuk rata-rata tahunannya intensitas hujan cenderung sama bahkan menurun. Perubahan ini disebabkan oleh pemanasan global yang memicu perubahan iklim.
Pola hujan di Indonesia saat ini cenderung berubah. Hujan kategori lebat hingga ekstrem telah meningkat pesat untuk periode 1961–2010, sekalipun untuk rata-rata tahunannya intensitas hujan cenderung sama bahkan menurun.
Kajian Siswanto menunjukkan, hujan di Jakarta dengan intensitas di atas 130 mm per hari telah meningkat 14 persen dalam kurun 50 tahun akibat penambahan suhu per 1 derajat celcius. Contoh lain, menurut data BMKG, pola hujan di Sulawesi Selatan dalam kurun 1981-2016 memperlihatkan intensitas hujan 20 mm per hari bertambah 0,1149 hari per tahun atau 1,149 hari setiap dekade.
Selain mengubah pola hujan, perubahan iklim juga mengubah karakter siklon tropis. Siwanto mencontohkan fenomena siklon tropis Cempaka yang bergerak di dekat selatan Jawa pada tahun 2017. Siklon yang memicu banjir bandang dan angin ekstrem ini menyebabkan 41 korban meninggal dan hilang, 25 orang di Pacitan, 10 orang di Yogyakarta, 4 orang di Wonogiri, dan masing-masing satu orang di Wonosobo dan Purworejo.
Menurut Siswanto, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa di beberapa wilayah samudera terjadi penghangatan permukaan laut sebesar 0,25 derajat – 0,5 derajat celsius. Karena laut dapat menyimpan panas lebih lama daripada daratan dan atmosfer, maka akumulasi sumber energi dan penguapan oleh kolom air laut yang lebih hangat juga lebih besar. Secara global dari telah terjadi peningkatan proporsi badai paling berbahaya pada periode 1975 – 2004, baik frekuensi kejadian maupun durasi badai bertahan.
Kerentanan wilayah
Sekalipun bukti-bukti menunjukkan adanya perubahan dari aspek meteorologi, namun menurut Siswanto, kejadian bencana juga disebabkan tingkat kerentanan wilayah yang ditentukan oleh fungsi kapasitas lingkungan merespon bencana. Hal ini sangat tergantung dengan perubahan tata guna lahan, pertumbuhan populasi, tingkat urbanisasi, degradasi sanitasi perkotaan, sampah dan tingkat sedimentasi, dan budaya masyarakat.
Kejadian bencana juga disebabkan tingkat kerentanan wilayah yang ditentukan oleh fungsi kapasitas lingkungan merespon bencana.
Data BNPB menunjukkan, sebaran kejadian bencana dalam empat bulan terakhir paling banyak terjadi di Pulau Jawa. Jawa Tengah dilanda 472 kejadian, Jawa Barat 367 kejadian, Jawa Timur 245 kejadian, Sulawesi Selatan 70 kejadian, dan Aceh 51 kejadian.
Dalam skala kota atau kabupaten, bencana paling banyak terjadi di Sukabumi dengan 50 kejadian, Semarang 43 kejadian, Bogor 42 kejadian, Majalengka 38 kejadian dan Temanggung 37 kejadian. Ini menunjukkan, daya dukung dan daya tampung lingkungan di Pulau Jawa paling rendah.
Dengan tren peningkatan hujan ekstrem dan badai tropis, menurut Siswanto, upaya mitigasi bencana harus lebih baik lagi. Kota-kota dan permukiman di dataran rendah seperti Jakarta yang dilalui banyak sungai yang berhulu di dataran tinggi, menjadi lebih rentan banjir. Demikian halnya, potensi banjir bandang dan longsor akan meningkat jika terjadi di darah dengan kelerangan tajam.
Kerusakan tata kelola lingkungan telah berkontribusi dalam memperparah skala bencana. Misalnya, laporan Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam kasus banjir bandang di Sentani, terdapat penggunaan lahan permukiman dan pertanian lahan kering campur pada Daerah Tangkapan Air (DTA) banjir seluas 2.415 hektar.