Pelatihan Guru secara Sistematis Mendesak Dilakukan
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar/Deonisia Arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memastikan pelatihan guru yang sistematis dan berkesinambungan dengan evaluasi rutin merupakan kunci guru-guru bisa memahami dan mengembangkan pemelajaran berbasis penalaran tinggi. Semua pihak juga harus menyinkronkan segala kebijakan dan praktik pendidikan agar setiap individu di dalamnya berkomitmen tidak lagi menggunakan standar hafalan.
Pemelajaran berbasis penalaran tinggi (higher order thinking skill/HOTS) tidak bisa disampaikan secara teori saja. Pemelajaran harus meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir tingkat tinggi dan berpikir kritis sehingga mampu menyelesaikan, menegosiasi, dan membandingkan suatu masalah, hingga menciptakan solusi atas masalah tersebut.
”Guru tidak bisa hanya dituntut kreatif secara mandiri dalam menerapkan pemelajaran berbasis HOTS di kelas. Guru harus mendapatkan pelatihan-pelatihan yang berkualitas dari pemerintah,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Satriwan Salim, di Jakarta, Jumat (3/5/2019).
Guru harus mendapatkan pelatihan-pelatihan yang berkualitas dari pemerintah.
Secara terpisah, Paryati, guru SDN Semaken Kulon Progo, dan Warsiti, guru SDN Percobaan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, berharap ada pelatihan dan evaluasi bagi guru secara rutin agar guru dapat memahami dengan benar cara pemelajaran berbasis HOTS. Pelatihan bagi guru selama ini belum rutin dan belum merata untuk semua guru.
”Setahun hanya 1-2 kali pelatihan. Materinya banyak, jadi hanya sebatas poin-poin. Setelah itu, guru dibagikan materi yang banyak dan diminta belajar sendiri,” tutur Paryati ketika dihubungi di Jakarta.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dari 3,17 juta guru, tercatat 1,6 juta sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan peningkatan kompetensi. Namun, jumlah diklat yang diikuti bervariasi.
Terintegrasi
Selain pelatihan rutin bagi guru, menurut Rektor Universitas Negeri Sebelas Maret Ravik Karsidi, perlu intervensi yang komprehensif dari pemerintah untuk penguatan kompetensi guru dalam menerapkan pembelajaran berbasis HOTS. Intervensi ini bisa dilakukan dengan membenahi kurikulum di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang saat ini belum menyertakan kemampuan mengajar berbasis HOTS.
”Jadi, intervensi ini perlu dilakukan secara terintegrasi antara Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi di LPTK serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam memberikan pelatihan guru,” ucapnya.
Senada dengan Ravik, Satriwan mengatakan, ”Mengubah persepsi tidak bisa dari guru saja. Sudahkah ada jaminan semua perguruan tinggi yang menghasilkan calon guru menanamkan kreativitas kepada mahasiswanya?”
Selain itu, lanjut Satriwan, keluhan rekan-rekan di lapangan masih mengindikasikan ada petugas dari Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan dan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan belum sepenuhnya mengerti ragam praktik pembelajaran HOTS.
Selain guru, kata Satriawan, kepala sekolah, pengawas, dan asesor akreditasi sekolah harus pula memahami pemelajaran berbasis HOTS. Sejumlah guru sudah mengetahui tentang belajar untuk mengembangkan nalar. Namun, mereka masih khawatir menerapkannya apabila unsur di atas guru, seperti kepala sekolah, pengawas, dan asesor, tidak satu visi.
”Pengajaran HOTS oleh guru masih sering dianggap keluar dari pakem sehingga dipermasalahkan pengawas dan asesor akreditasi sekolah. Ketika mereka melihat guru mengajar tidak menggunakan materi dan metode yang tercantum di buku pedoman pembelajaran, guru itu akan ditegur. Beberapa asesor belum memiliki persepsi HOTS, justru menganggap metode ini keliru,” tuturnya.
Ketagihan
Sementara itu, Kepala Pusat Pembelajaran Cerdas dan Berkarakter Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI SLCC) Richardus Eko Indrajit menyebutkan, layaknya siswa, guru harus dibuat ketagihan belajar dan mengembangkan diri. Apabila guru tidak punya semangat ini, akan sukar menurunkannya kepada siswa.
Layaknya siswa, guru harus dibuat ketagihan belajar dan mengembangkan diri. Apabila guru tidak punya semangat ini, akan sukar menurunkannya kepada siswa.
”Penggerak HOTS adalah ketika guru dan siswa sama-sama senang mengutak-atik soal dan jawaban,” ujarnya.
PGRI SLCC mengembangkan pelatihan pedagogi siber. Youtube dan Wikipedia adalah saingan utama guru. Oleh sebab itu, percuma memberikan teori, rumus, dan hafalan karena siswa bisa mencari sendiri.
Di sisi lain, guru jangan takut pada internet dan media sosial. Justru keberadaan mereka mendekatkan sumber-sumber informasi dan bahan bacaan.
Selain itu, ada juga situs dan aplikasi seperti quizizz.com dan menti.com yang membuat pengerjaan tugas sangat menyenangkan karena pertanyaan-pertanyaan yang dibuat guru bisa diolah menjadi teka-teki silang dan berbagai permainan lain.
Salah satu contoh yang dipraktikkan Eko adalah pada pelajaran Sejarah. Dia meminta siswa menyebutkan lima nama pahlawan menurut mereka. Setelah itu, siswa memverifikasi apabila nama-nama tersebut memang masuk daftar pahlawan nasional. Di situ mereka memanfaatkan berbagai sumber untuk mencari informasi.
Setelah membaca, pertanyaan berikutnya adalah kelayakan atau ketidaklayakan nama-nama yang disebutkan siswa untuk mendapat gelar pahlawan. ”Di sini proses bernalar, membangun argumen, berdebat, mendengarkan, dan menerima perbedaan terjadi,” kata Eko yang juga Rektor Institut Pradita.
”Guru tidak lagi menilai jawaban berdasarkan benar dan salah, tetapi melihat kemampuan siswa mencari informasi yang akurat, menganalisisnya, menggunakannya, dan menyikapi perbedaan pendapat,” lanjutnya.
Membangun nalar bukan hanya urusan sektor pendidikan melalui sekolah formal. Menurut sosiolog pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Sugeng Bayu Wahyono, semua bangsa terlibat aktif memastikan nalar benar-benar digunakan dalam semua aspek.
”Kunci dari pembelajaran yang membangun nalar adalah keterbukaan pikiran dan kerendahan hati untuk mau saling mendengar, memberi kritik yang membangun, dan merevisi. Lingkungan kondusif ini belum terbangun di Tanah Air,” katanya. (DAHLIA IRAWATI/YOVITA ARIKA)