JAKARTA, KOMPAS – Pelaksanaan pendidikan inklusif di perguruan tinggi masih menghadapi tantangan. Penguatan pada kompetensi dosen dan tenaga pendidikan di kelas perlu ditingkatkan. Selain itu, ketersediaan fasilitas penunjang serta konsep pengajaran yang tepat juga belum maksimal.
Ketua Yayasan Mitra Netra Bambang Basuki, Jumat (3/5/2019) di Jakarta, menyampaikan, kesempatan yang diberikan untuk penyandang disabilitas, khususnya tunanetra di pendidikan tinggi semakin baik.
Sejumlah perguruan tinggi sudah memerhatikan kebutuhan tunanetra, mulai dari sarana prasarana sampai kesempatan beasiswa. Namun, kompetensi dosen yang menangani mahasiswa tunanetra masih minim.
Basuki menyampaikan hal itu saat menghadiri peluncuran metode layar pembaca untuk Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) 2019 bagi peserta tunanetra di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek dan Dikti), Jumat.
“Kapasitas dosen untuk bisa mengajar mahasiswa tunanetra masih kurang. Misalnya, untuk mahasiswa tunanetra yang menempuh jurusan Teknologi Informatika, dosen masih susah untuk mengajar matematika atau hitungan lain. Belum tentu dosen itu juga bisa membaca braille (tulisan untuk tunanetra),” ujarnya.
Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Aria Indrawati menambahkan, persepsi tenaga pendidik mulai dari pendidikan dasar dan menengah yang menilai tunanetra sulit belajar matematika harus dihilangkan. Hal ini membuat pengajaran matematika di kelas menjadi minim sehingga anak yang mengambil jurusan eksak di perguruan tinggi juga sedikit.
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, mengakui jika pembelajaran dan pelatihan khusus bagi tenaga guru dan tenaga pendidikan dalam mengajar anak dengan disabilitas seperti tuna netra belum ada. Meski begitu, proses perbaikan terus diupayakan.
“Problem guru dan tenaga pendidik yang belum ramah disabilitas akan diatasi melalui FGD (focus group discussion) atau pelatihan khusus supaya kapasitasnya bisa ditingkatkan. Dalam jangka pendek juga pengadaan fasilitas pendukung untuk mahasiswa disabilitas di kampusnya juga harus dilakukan,” ujarnya.
Inovasi layar pembaca
Nasir mengatakan, salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah dalam mewujudkan pendidikan inklusif yakni pengadaan metode pembaca layar dalam penyelenggaraan UTBK 2019 bagi peserta tunanetra. Metode ini menggunakan perangkat lunak yang dapat membaca pertanyaan maupun pilihan jawaban yang ada di layar komputer.
“Langkah ini menjadi bukti bahwa siswa difabel juga mendapat kesempatan yang setara untuk berkompetisi masuk jenjang perguruan tinggi. Sistem ini juga lebih akomodatif, sederhana, dan akurat dalam pelaksanaan UTBK,” ucapnya.
Ketua Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) Ravik Karsidi menambahkan, ujian dengan metode pembaca layar ini telah diakomodasi berdasarkan kemampuan dan keterbatasan tunanetra. Setidaknya, pada uji coba yang dilakukan kepada 12 penyandang tunanetra, peserta menyatakan penggunaan aplikasi ini cukup membantu.
“Dalam proses ujian sebelumnya, setiap anak akan didampingi oleh dua pendamping. Melalui inovasi ini, peserta tunanetra bisa lebih mandiri. Meskipun kami tetap memberikan pendamping jika ada peserta yang kesulitan dalam penggunaan teknologi,” katanya.
Berdasarkan data yang diterima LTMPT, lokasi peserta UTBK tunanetra tersebar di 18 perguruan tinggi negeri dengan total 70 peserta. Jumlah peserta terbanyak di Universitas Negeri Yogyakarta yaitu 16 peserta, kemudian Universitas Pendidikan Indonesia 12 peserta, dan Universitas Indonesia 8 peserta.