Ricuh, Pelaku Kekerasan Terhadap Wartawan Diproses Propam
Peringatan Hari Buruh Internasional di Kota Bandung, Jawa Barat diwarnai kericuhan berupa tindakan kekerasan terhadap jurnalis yang diduga dilakukan oleh sejumlah oknum dari Kepolisian Resor Kota Besar Bandung, Rabu (1/5/2019).
Oleh
SAMUEL OKTORA/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
BANDUNG, KOMPAS - Peringatan Hari Buruh Internasional di Kota Bandung, Jawa Barat diwarnai kericuhan berupa tindakan kekerasan terhadap jurnalis yang diduga dilakukan oleh sejumlah oknum dari Kepolisian Resor Kota Besar Bandung, Rabu (1/5/2019).
Kekerasan itu menimpa dua jurnalis, yakni wartawan foto Tempo, Prima Mulia, dan wartawan foto “freelance”, Iqbal Kusumadireza (Reza) yang sedang meliput acara itu di depan gerbang Gedung Sate, Bandung. Selain mengalami luka pada bagian kaki, kamera mereka juga dirampas, dan sejumlah gambar dihapus oleh oknum polisi.
Kejadian itu bermula ketika polisi menghalau sekelompok massa yang diperkirakan berjumlah 400 orang, yang hendak bergabung dalam kegiatan peringatan hari buruh di Gedung Sate, sekitar pukul 11.30. Mereka yang datang dengan penutup kepala dan berpakaian serba hitam itu umumnya dari kalangan pelajar dan mahasiswa.
Pihak kepolisian menghalau kelompok ini karena melakukan vandalisme berupa pengrusakan, pencoretan menggunakan cat semprot pada beberapa kendaraan milik buruh. Aksi vandalisme itu dilakukan di Jalan Singaperbangsa dekat Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat atau sekitar 500 meter dari Gedung Sate.
Saat terjadi kericuhan itu, Reza dan Prima dari Gedung Sate mendekat ke lokasi kejadian dan memotret peristiwa tersebut ketika polisi menghalau massa dan mengeluarkan tembakkan ke udara beberapa kali. Saat itu kemudian sejumlah oknum polisi memiting Reza, juga menyekap Prima.
Reza mengalami luka lecet dan memar pada bagian betis dan tulang kering kaki kanannya. Reza juga sempat ditendang beberapa kali.
“Padahal saya sudah bilang sebagai wartawan, dan menunjukkan kartu pers. Tapi sejumlah oknum polisi langsung menendang dan mengambil kamera, dan menghapus beberapa gambar,” kata Reza.
Reza setelah kejadian itu memeriksakan kakinya ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Santo Borromeus, Bandung, pukul 14.30. Reza merasa kaku dan sakit pada bagian kakinya, dan sulit digerakkan untuk berjalan. Kaki Reza lalu dirontgen untuk memastikan apakah terjadi retak atau patah tulang.
Dokter memberikan suntikan dua kali, dan obat pereda rasa nyeri untuk Reza, yang dari hasil rontgen, pada kaki reza hanya mengalami cidera otot.
Padahal saya sudah bilang sebagai wartawan, dan menunjukkan kartu pers. Tapi sejumlah oknum polisi langsung menendang dan mengambil kamera, dan menghapus beberapa gambar
“Waktu saya disekap dan kamera dirampas, ada yang mengatakan apa mau diabisin. Tindakan polisi ini terkesan berlebihan,” ujar Prima.
Tindakan kekerasan oknum kepolisian terhadap jurnalis ini mendapat kecaman dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jawa Barat.
“Sangat disayangkan, negara seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi jurnalis. Ini malah kepolisian melakukan tindak kekerasan. Semestinya kepolisian memberi jaminan keamanan pada jurnalis yang sedang bertugas. Polisi perlu memahami peran dan tugas jurnalis, kejadian seperti ini tak boleh terulang lagi,” kata Ketua AJI Bandung, Ari Syahril Ramadhan.
Tempuh ranah hukum
Ari menegaskan, pihak Reza akan menempuh ranah hukum, direncanakan akan melaporkan kejadian ini ke Polrestabes Bandung, Kamis (2/5).
Ketua IJTI Jawa Barat, Iqwan Sabba Romli meminta pihak Polrestabes Bandung mengusut tuntas kasus tersebut, menghukum pelaku berdasarkan undang-undang yang berlaku, sebagaimana yang tertera pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Kepala Polrestabes Bandung Komisaris Besar Irman Sugema menjenguk Reza di IGD RS St Borromeus, pukul 15.30, didampingi Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah (Polda) Jabar Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko, dan Komandan Kodim 0618/BS Kolonel Inf M Herry Subagyo.
“Kejadian ini (kekerasan terhadap wartawan) silakan dilaporkan, dan akan ditangani oleh Seksi Propam (Profesi dan Pengamanan Polrestabes Bandung). Kasus ini akan didalami, apakah terjadi kesalahpahaman atau memang ada tindakan anggota di lapangan di luar kontrol,” kata Irman.
Irman menjelaskan, pihaknya memang menghalau kelompok massa itu yang diduga hendak menyusup dan melakukan kekacauan dalam kegiatan peringatan hari buruh. Massa itu juga membawa senjata tajam, dan cat semprot. Mereka banyak dari kalangan pelajar SMP, SMA, juga mahasiswa.
Kejadian ini (kekerasan terhadap wartawan) silakan dilaporkan, dan akan ditangani oleh Seksi Propam (Profesi dan Pengamanan Polrestabes Bandung). Kasus ini akan didalami, apakah terjadi kesalahpahaman atau memang ada tindakan anggota di lapangan di luar kontrol
“Kasus ini sedang didalami motifnya, dan sebelum kejadian ini beredar viral rencana gerakan demontrasi kelompok ini, dan juga hoaks akan terjadi kerusuhan di Bandung. Ini yang kami antisipasi supaya kondisi tetap kondusif dan terkendali,” ucap Irman.
Menurut Irman, dari pihak serikat buruh juga menolak bergabungnya kelompok massa itu di Gedung Sate karena dinilai massa itu bukan dari kalangan buruh.
“Kami menghalau massa ini supaya jangan terjadi bentrok fisik dengan buruh, juga menjadi konflik sosial. Apalagi buruh juga sempat emosional yang kendaraannya dirusak atau dicoret-coret. Pihak buruh atau pun warga yang dirugikan atas aksi vandalisme itu juga kami persilakan untuk melapor supaya diproses,” ujar Irman.
Trunoyudo mengatakan, kelompok ini mengatasnamakan diri sebagai Anarcho atau kelompok berbaju hitam.
Dalam kericuhan ini, polisi menahan 619 orang yang berasal dari berbagai daerah, di antaranya kawasan Bandung Raya, Garut, Cianjur, dan Karawang. Sebanyak 14 orang di antaranya perempuan, dan 293 pengunjuk rasa itu masih di bawah umur. Pengunjuk rasa laki-laki dicukur oleh petugas, dan seluruhnya akan dibawa ke Markas Brimob Polda Jabar, Cikeruh, Kabupaten Sumedang.
“Kami akan mendalami satu persatu bagaimana mereka mendapatkan informasi dan merencanakan gerakan masif yang berimbas kepada vandalisme dan merugikan warga Bandung,” ujar Trunoyudo.