Indonesia Tetap Bersinar di Tengah Lesunya Perekonomian Global
Tahun 2018 memiliki cerita sendiri bagi Indonesia. Berbagai badai permasalahan ekonomi datang menghajar, baik dari sisi domestik maupun eksternal.
Indonesia harus menghadapi defisit neraca perdagangan dan pelemahan nilai tukar rupiah. Di saat yang bersamaan, harga minyak dunia melonjak tinggi, Amerika Serikat (AS) dan China berseteru lewat perang dagang, serta The Fed sebagai bank sentral AS menaikkan suku bunga sehingga modal asing berlari meninggalkan Indonesia.
Setelah mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17 pada 2018, Indonesia memasuki babak baru pada 2019. Gejolak eksternal mulai mereda, tetapi fundamental ekonomi Indonesia masih rentan. Apalagi, tahun ini merupakan tahun politik karena digelarnya Pemilu 2019.
Direktur Pelaksana dan Kepala Ekonom DBS Bank Ltd Taimur Baig dalam wawancara eksklusif bersama Kompas di Jakarta, Kamis (25/4/2019), menyampaikan beberapa pandangan mengenai tantangan apa saja yang akan memengaruhi perekonomian global dan Indonesia. Taimur juga akan menjelaskan mengapa Indonesia berpeluang selamat dari gejolak perekonomian global pada tahun ini.
Tanya (T): Perekonomian dunia telah melewati badai ekonomi yang terjadi pada 2018. Apa saja tantangan yang masih dan akan dihadapi pada 2019?
Jawab (J): Narasi pertama saat ini adalah bagaimana merangsang stimulus moneter dan fiskal dari China. Ini akan meningkatkan konsumsi domestik sehingga dapat membantu konsumsi global karena China merupakan kontributor pertumbuhan ekonomi terbesar.
Narasi kedua adalah fakta bahwa ekonomi AS memberikan sinyal perlambatan pada bulan-bulan pertama tahun ini. Data yang paling baru menunjukkan konsumsi masyarakat dan investasi perusahaan mulai menurun. Ekonomi AS perlu dijaga agar tidak terus melemah.
Jika kita menjaga dua narasi ini utuh hingga tahun depan, yaitu ekonomi China terus diberikan stimulus dan ekonomi AS dijaga tidak melemah lebih jauh, pertumbuhan ekonomi semester kedua akan lebih baik. China dapat tumbuh lebih dari 6 persen dan AS bisa tumbuh lebih dari 2 persen. Ini akan menjadi dukungan yang cukup bagi pasar dan ekonomi global.
T: Apakah perlambatan ekonomi global sudah mulai terlihat?
J: Pertumbuhan ekonomi global sudah melambat pada kuartal pertama tahun ini, tetapi sudah diprediksi pasar. Pertumbuhan pendapatan perusahaan terbuka di AS sekarang sudah mulai melambat. Perusahaan tidak dapat menaikkan harga, tetapi tingkat bunga naik sehingga margin keuntungan semakin mengecil. Dampaknya, investor global sulit untuk berinvestasi pada obligasi karena imbal hasil sangat rendah di AS dan Eropa.
Investor yang mencari peluang akan tetap fokus ke Asia. Obligasi dan ekuitas di Asia, terutama negara dengan ekonomi yang sedang berkembang seperti Indonesia akan diuntungkan.
Baca juga: Persepsi Resesi AS
T: Bagaimana dengan ancaman perang dagang AS-China, harga minyak dunia, dan Brexit?
J: Terkait perang dagang, jelas pasar menanti adanya resolusi. Bahkan, eksportir dari AS dan Eropa menghadapi ketidakpastian yang luar biasa sehingga benar-benar berharap ada kesepakatan. Kesepakatan mungkin akan membutuhkan waktu yang lama karena sudah ditunda beberapa kali. Ada juga kemungkinan kesepakatan batal di saat terakhir. Tetapi, kalau dilihat dari perspektif AS, mereka mungkin akan menyelesaikannya karena setahun lagi ada Pilpres. Presiden AS Donald Trump akan menginginkan keberhasilan untuk mendapatkan kesepakatan dengan China sebagai bagian dari kampanye.
Sedangkan terkait harga minyak dunia, sanksi AS terhadap Iran akan menghambat China sebagai pengimpor utama minyak Iran. Hal ini dapat meningkatkan tensi antara AS-China. Harga minyak mulai naik dalam dua minggu terakhir. Meski demikian, Iran, Venezuela, dan Libya adalah tiga wilayah di mana jumlah minyak yang diproduksi tidak tentu. Arab Saudi dan AS masih memproduksi minyak dalam jumlah yang lumayan besar. Kemungkinan, dinamika suplai dan permintaan minyak bisa diseimbangkan. Harga minyak tidak akan naik hingga 80-90 dollar AS per barel.
Isu Brexit tidak akan memberikan dampak besar pada perekonomian global. Ekonomi Inggris tidak besar berdasarkan perspektif global. Yang perlu menjadi perhatian justru terkait proyeksi pertumbuhan ekonomi Uni Eropa.
Baca juga: China Akan Menetralkan Tekanan AS
T: Apa yang akan Indonesia hadapi ketika perekonomian global melambat?
J: Selama 20 tahun terakhir, Indonesia tidak memikul dampak gejolak perekonomian global. Indonesia memiliki pasar besar sehingga permintaan tetap tinggi. Jumlah dan nilai ekspor yang memengaruhi pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) tidak terlalu besar. Bahkan, di tengah krisis global, Indonesia mampu tumbuh di atas 4 persen. Ketika ada perbaikan permintaan global, Indonesia bisa tumbuh 6-6,5 persen. Jadi, skenario terburuk saat ini adalah ekonomi Indonesia tetap tumbuh sebesar 5 persen.
T: Beberapa kali Anda mengemukakan pendapat yang sangat optimistis tentang Indonesia. Mengapa?
J: Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif rendah. Negara-negara yang masih memiliki pengaruh yang rendah akan diuntungkan. Negara-negara lain saat ini dibebani oleh utang yang besar. Indonesia malah dapat bertahan dengan utang yang sedikit. Utang Indonesia sangat rendah berdasarkan standar global, kurang dari 30 persen dari PDB. (Utang saat ini) adalah warisan dari krisis moneter 1997 dimana ekonomi Indonesia resesi dan masih harus dipacu sampai sekarang.
Utang Indonesia sangat rendah berdasarkan standar global, kurang dari 30 persen dari PDB
Kedua, Indonesia memiliki keunggulan dari sisi dinamika demografi yang menarik. Rasio ketergantungan penduduk usia lanjut masih rendah dan banyak orang muda. Ditambah lagi sekarang ada budaya berwirausaha karena teknologi. Indonesia mampu menciptakan bisnisnya sendiri sehingga tidak hanya bergantung dari suatu jenis pekerjaan.
Jadi, skenario saat ini adalah meskipun pertumbuhan ekonomi global lemah, Indonesia bisa dapat bertumbuh lumayan baik dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi yang masih rendah dan semangat berwirausaha muda. Kami memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai sebesar 5,2 persen pada 2019.
T: Indonesia baru selesai menyelenggarakan Pemilu 2019, apakah ini dapat memberikan jaminan kepada para investor global untuk datang?
J: Hasil resmi pemilu belum keluar. Tetapi, Indonesia menunjukkan untuk kelima kalinya semua pemilu berlangsung teratur, damai, dan lancar. Ini penting karena investor sangat mengharapkan kestabilan aturan, pemerintahan, dan transisi politik. Lebih-lebih perhelatan proses pemilu yang teratur dalam skala besar tidak bisa dipandang remeh di antara negara berkembang.
T: Hal apa saja yang akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan terpilih ke depan untuk menarik minat investor?
J: Ada ketertarikan yang luar biasa dari para investor ke Indonesia dalam berbagai hal. Beberapa di antaranya adalah kerangka regulasi dan kebijakan di Indonesia. Selain itu, ada banyak orang muda yang bekerja dan memiliki daya beli tinggi.
Selain kestabilan regulasi, tantangan yang harus diatasi adalah penyediaan lapangan pekerjaan agar daya beli meningkat. Kedua, pemerintah telah membangun banyak infrastruktur yang menghubungkan kota dan desa secara efisien, tetapi pemerintah juga harus meningkatkan keterampilan tenaga kerja pemberdayaan sumber daya manusia.
T: Terkait daya saing Indonesia, bagaimana anda melihat posisi Indonesia di pasar Asia?
J: Dalam kawasan Asia, Indonesia dan Filipina memiliki demografi penduduk yang paling menarik sebab banyak populasi orang muda dan ada potensi pertumbuhan PDB yang lebih tinggi. Indonesia memiliki jumlah penduduk dan PDB yang jauh lebih besar dibandingkan Filipina. Negara besar seperti Indonesia dengan penduduk lebih dari 250 juta jiwa akan diuntungkan melalui penggunaan teknologi. Jika saya adalah seorang investor private equity yang mencari akses pasar besar, Indonesia adalah jawabannya.
Dalam kawasan Asia, Indonesia dan Filipina memiliki demografi penduduk yang paling menarik sebab banyak populasi orang muda dan ada potensi pertumbuhan PDB yang lebih tinggi