Menginap di Kandang Gajah demi Menggali Fakta
Menjadi seorang jurnalis dituntut dapat cepat beradaptasi dalam segala keadaan karena kondisi di lapangan bisa saja berubah sewaktu-waktu. Semua situasi harus dilalui untuk menyelesaikan satu misi, yakni memperoleh berita yang berimbang dan sesuai fakta di lapangan.
Menjadi seorang jurnalis dituntut dapat cepat beradaptasi dalam segala keadaan karena kondisi di lapangan bisa saja berubah sewaktu-waktu. Semua situasi harus dilalui untuk menyelesaikan satu misi, yakni memperoleh berita yang berimbang dan sesuai fakta di lapangan.
Hal inilah yang dialami wartawan harian Kompas, Rhama Purna Jati, saat menggali fakta terkait sengketa lahan yang mengorbankan kehidupan gajah di Hutan Suaka Alam (HSA) yang juga dijadikan Pusat Latihan Gajah (PLG) di Bukit Serelo, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Saat itu, penulis harus menginap di tempat latihan gajah (rung) dengan segala keterbatasan.
Jumat (5/4/2019), penulis bersama empat wartawan dari media lain, mendapatkan undangan dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk meliput kunjungan Gubernur Sumsel Herman Deru dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi ke Kabupaten Lahat. Mereka akan bertemu dengan para kepala desa dan tokoh masyarakat di sana.
Sesuai dengan peraturan yang ada di tempat penulis bekerja, yakni di harian Kompas, setiap kali menerima undangan harus dikonsultasikan dulu kepada Kepala Biro atau Kepala Desk Nusantara. Biasanya, penulis selalu berkonsultasi dengan Kepala Biro Sumatera Aufrida Wismi Warastri di Medan, Sumatera Utara. Namun, karena Kabiro Sumatera sedang cuti, penulis berkonsultasi dengan Kepala Desk Nusantara Gesit Aryanto.
Ketika menuturkan tujuan pergi ke Lahat, Mas Gesit pun bertanya, ”Apa yang menarik diliput di Lahat selain kunjungan Menteri,” katanya.
Langsung terlintas di benak untuk mengulas konflik lahan antara warga dan petugas Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah II Lahat, terkait keberadaan HSA dan PLG di Bukit Serelo.
Akibat konflik ini, delapan dari 10 gajah sumatera jinak di PLG tersebut dievakuasi ke Suaka Margasatwa Padang Sugihan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Mendengar usulan tersebut, Mas Gesit pun mengizinkan penulis berangkat. Tidak memiliki waktu panjang, penulis pun mempersiapkan pakaian seadanya, termasuk peralatan liputan yang dibutuhkan di sana.
Bersama dengan empat wartawan dari media lain, penulis bertolak dari Palembang, ibu kota Sumatera Selatan, Jumat (5/4/2019) malam. Butuh waktu sekitar 6 jam untuk tiba ke Lahat. Menunggu acara yang akan digelar siang hari, kami menginap sejenak di sebuah hotel di Lahat.
Sekitar enam jam beristirahat, kami menuju ke tempat acara yang terletak di Gedung Kesenian Lahat. Namun tidak disangka, kedatangan Menhub terlambat 3 jam dari jadwal yang sudah ditentukan.
Mengisi waktu, penulis pun berkenalan dengan sejumlah wartawan lokal. Dalam perbincangan tersebut, terselip kabar mengenai kondisi gajah di PLG. Kebetulan, sehari sebelum itu, penulis sudah mengontak Kepala BKSDA Sumsel Genman Hasibuan untuk pergi meliput terkait kasus tersebut.
Beberapa kontak pun diberikan termasuk Rohmat, salah satu petugas BKSDA Lahat yang kemudian menjadi salah satu narasumber kunci untuk dapat meliput sengketa lahan di Bukit Serelo. Penulis pun membuat janji untuk bertemu Sabtu sore dengan Rohmat.
Menhub tiba dengan didampingi Bupati Lahat Cik Ujang. Terlihat pula Kapolres Lahat Ajun Komisaris Besar Ferry Harahap. Saat itu, penulis meminta waktu untuk wawancara tentang gajah. Waktu yang terbatas penulis manfaatkan untuk memperoleh data sebanyak-banyaknya. Pertanyaan bisa lebih terperinci karena penulis sudah membuat daftar pertanyaan yang akan diutarakan.
Setelah data dari Bupati dan Kapolres Lahat diperoleh, dengan menggunakan kendaraan dari Pemerintah Provinsi Sumsel, kami pergi menemui Rohmat di Kantor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah II Lahat. Rohmat adalah pawang angkatan pertama dari PLG. Dia tahu seluk-beluk perkembangan dari awal berdirinya PLG di Bukit Serelo sejak tahun 1991.
Dengan ditemani secangkir kopi nikmat dari Lahat, Rohmat menceritakan permasalahan lahan yang terjadi kepada penulis dan sejumlah wartawan yang kebetulan ikut dalam rombongan Pemerintah Provinsi Sumsel. Pertemuan dengan Rohmat membantu kami mengetahui duduk perkara dari permasalahan tersebut.
Rohmat adalah salah satu petugas yang diincar karena turut mencabut pohon karet yang digunakan sebagai tanda batas wilayah.
Satu jam berselang, kami diajak ke lokasi tempat dua gajah tersisa, yakni Nensih (40) dan Ardo (26). Butuh waktu 1 jam untuk tiba ke kawasan Bukit Serelo. Rohmat tidak bisa mengantar karena warga dusun Padang Baru sudah mengenali wajahnya. ”Saya jadi incaran warga desa. Kalau saya ke sana (PLG), nyawa saya bisa terancam,” kata Rohmat.
Rohmat adalah salah satu petugas yang diincar karena turut mencabut pohon karet yang digunakan sebagai tanda batas wilayah. Mendengar alasan tersebut, penulis dan sejumlah wartawan media lain pun menuju lokasi dengan menggunakan mobil.
Sepanjang perjalanan, kami melihat aktivitas pertambangan batubara dan kayu di kanan dan kiri jalan. Jalan berkelok pun harus kami lalui. Di depan, terlihat Bukit Serelo atau yang dikenal juga sebagai Bukit Jempol.
Mendekati lokasi PLG, hujan deras mengguyur. Petugas dari Resort Konservasi Sumber Daya Alam (RKSDA) Wilayah IX Lahat yang juga pengurus dari PLG Bukit Serelo terus menghubungi untuk memandu jalan. Kami sempat berbalik arah karena salah jalur. Di pinggir jalan, petugas RKSDA Wilayah IX Lahat menyambut dengan tikar yang menutupi kepala. ”Mas, pakai tikar ini agar tidak kehujanan,” kata petugas tersebut.
Baca juga: Tersesat Tengah Malam di Kota Sunyi Hakodate
Kami harus berjalan sekitar 1 kilometer untuk sampai ke lokasi petugas berteduh. Langkah mesti dijaga karena jalur yang dilewati adalah tanah merah dan rerumputan yang sangat licin. Lengah sedikit, bisa terpeleset.
Awalnya dalam bayangan penulis, pawang dan petugas tinggal di barak dengan kondisi yang nyaman. Bayangan itu sirna saat mereka terlihat berteduh di tempat latihan gajah (rung) yang sangat jauh dari kata nyaman. Sekitar 100 meter dari rung, dua gajah sedang asyik makan rumput di sekitarnya.
Empat rekan wartawan dari media lain duduk dan berbincang sebentar dengan petugas. Mereka juga berencana menulis hal yang sama. Namun, ternyata hanya 15 menit mereka di rung lalu memutuskan untuk kembali ke Palembang.
Rekan yang lain meyakinkan penulis untuk pulang karena bahan berita dirasa cukup. Namun, bagi penulis, bahan berita tersebut belum cukup untuk menguak tabir sengketa yang terjadi. Penulis pun memutuskan untuk menginap bersama petugas jaga.
Awalnya dalam bayangan penulis, pawang dan petugas tinggal di barak dengan kondisi yang nyaman. Bayangan itu sirna saat mereka terlihat berteduh di tempat latihan gajah (rung) yang sangat jauh dari kata nyaman.
Malam itu, di rung berukuran 3 meter x 4 meter dan tinggi sekitar 4 meter, ada lima orang yang berjaga, termasuk penulis dan Darwin, Kepala Resort KSDA IX Lahat. Rung tersebut tidak memiliki dinding, hanya terbuat dari kayu dengan beratapkan seng. Petugas memasang terpal di bawah atap agar limpasan air tidak masuk ke tempat berlindung.
Karena bersifat darurat, tidak ada listrik di sana, hanya dua lampu darurat yang menerangi. Lampu pun digunakan secara bergantian karena satu lampu hanya mampu bertahan paling lama 4 jam. Udara begitu dingin, angin malam yang diiringi limpasan air hujan serasa menusuk tubuh. Hanya secangkir kopi yang menjadi penghangat kala itu.
Terkendala sinyal
Bukan hanya tempat bernaung yang kurang nyaman, kondisi sinyal di tempat itu juga terbatas. Penulis kesulitan untuk mengirim berita. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Beberapa kali kantor meminta agar berita segera dikirim. Upaya mengirimkan berita juga berkali-kali gagal karena sinyal yang tidak stabil.
Demi mencari titik sinyal yang stabil, penulis berjalan mengelilingi rung sembari membawa laptop ke sana kemari. Satu tangan membawa laptop yang terbuka, satu tangan lagi digunakan untuk mengoperasikan laptop. Akhirnya, sinyal pun diperoleh. Butuh waktu hingga 1 jam untuk mengirim satu berita dan 3 foto. Tepat pukul 21.30 WIB, semua berita dan foto pun terkirim.
Baca juga: Nyaris Tenggelam demi Selembar Foto
Perasaan puas menyeruak ketika hasil karya berhasil terkirim. Kondisi seperti ini pernah penulis alami juga saat meliput bencana longsor yang menimbun 18 petambang emas rakyat di Lebong Tandai, Bengkulu Utara (2015) dan saat meliput banjir besar di Belitung Timur (2016).
Malam semakin larut. Para petugas membunuh waktu dengan bermain kartu sembari memantau keberadaan gajah. Setiap lima menit, petugas mengawasi gajah dengan sorotan senter. Pengawasan diperketat karena ancaman bisa datang sewaktu-waktu.
”Kami takut ada yang meracuni gajah,” kata kata Darwin.
Sejak konflik ini menyeruak, petugas tidak bisa tidur tenang. Beberapa kali, mereka melihat ada orang yang mondar-mandir memantau keberadaan gajah.
Pada 5 Maret 2019, 4 dari 10 gajah jatuh sakit. Mereka terkulai lemas dan kotorannya meninggalkan jejak darah. Gejala ini sama persis dengan gejala keracunan. ”Satu gajah mati saja bisa menjadi sorotan internasional. Apalagi kalau empat gajah mati serentak. Sulit dibayangkan,” kata Darwin.
Hari Minggu (7/4/2019), Herman dan Amir Hamzah, pawang gajah, memandikan Ardo dan Nensih di sungai. Wajah dua gajah itu tampak girang saat berendam di sana. Dengan rasa sayang, kedua pawang menggosok badan gajah yang diasuhnya.
Melihat mereka bermain air, muncul rasa iba dalam diri. Area hidup mereka terampas karena konflik manusia. Penulis lalu memberanikan diri untuk memberi makan Ardo yang disambutnya dengan baik. Sejak saat itu, entah mengapa, penulis mulai jatuh cinta dengan gajah.
Mencari keseimbangan
Seusai puas bermain dengan gajah dan mencari data dari BKSDA Sumsel, penulis beranjak menemui dua kepala desa yang berbatasan langsung dengan PLG. Penulis ingat pesan penting ketika diterima masuk di Kompas tahun 2014 lalu, yakni bahwa wartawan harus menggali berita dari banyak sisi (cover all sides), sebelum menyebarluaskan berita yang ditulis.
Orang pertama yang hendak penulis temui adalah Sambro Aidi, Kepala Desa Padang yang masyarakatnya mengklaim tanah PLG Bukit Serelo tersebut.
Penulis lalu berjalan kaki menuju rumah Sambro. Dari jauh, pandangan Sambro tampak menaruh curiga. ”Ada apa, ya, Pak?” tanya Sambro menyambut penulis. Penulis pun memperkenalkan diri dan Sambro berkata,” Saya mau berbicara kalau Anda benar-benar ingin mendengarkan aspirasi masyarakat,” ujarnya. Penulis pun mengiyakan.
Wawancara dan diskusi yang awalnya kaku lama-kelamaan berubah menjadi cair dan bersahabat. Tak terasa satu jam pun berlalu. Sambro menegaskan, dari 210 hektar lahan yang ada di HSA Bukit Serelo, sekitar 170 hektar adalah milik warga Padang Baru. Mereka ingin mengambil kembali lahan itu karena menganggap pengalihan lahan kepada pihak BKSDA tidak berdasarkan persetujuan masyarakat Padang Baru.
Dari sana, penulis berjalan menuju rumah Dodi, sekitar 1 kilometer dari rumah Sambro. Penulis sempat beristirahat sejenak sembari menyeruput kopi dan keripik pisang yang dihidangkan keluarga Dodi.
Selanjutnya, Dodi mengantarkan penulis ke rumah Kepala Desa Ulak Pandan Susiawan Rama yang berjarak 20 km. Setiba di sana, Susiawan lantas mendatangkan para tokoh masyarakat, pejabat daerah, dan tokoh kelembagaan desa.
Penulis duduk di antara mereka dan berbincang dengan satu per satu warga yang datang ke kantor kepala desa. Beragam dokumen pun dikeluarkan untuk menguatkan fakta. Perbincangan berlangsung 1,5 jam.
Dari perbincangan tersebut terkuak fakta bahwa sebelum berubah status menjadi HSA Bukit Serelo yang digunakan sebagai PLG, lahan itu dulunya milik warga Desa Ulak Pandan yang kemudian diserahkan pemerintah daerah kepada BKSDA dengan sistem tanam tumbuh.
Dari fakta tersebut, penulis berupaya untuk tetap netral dan menyediakan ruang berpendapat bagi semua pihak. Wartawan ”tidak berpihak”, tetapi menyediakan ruang berpendapat bagi semua pihak.