ONAGAWA, KOMPAS — Sejumlah wilayah yang terdampak tsunami di bagian utara Jepang pada Maret 2011 telah dibangun kembali. Pemerintah daerah setempat menata ulang kota berbasis mitigasi bencana untuk meminimalkan dampak bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi kembali.
Salah satu wilayah yang membangun kota berbasis mitigasi adalah kota Onagawa yang menjadi salah satu wilayah paling parah terdampak tsunami pada 2011. Onagawa adalah kota kecil di Prefektur Miyagi yang mengandalkan perekonomian dari hasil laut.
Tingkat kerusakan di wilayah seluas 65,8 kilometer persegi tersebut mencapai 85 persen akibat tsunami. Sebanyak 4.300 bangunan hancur dan 827 orang meninggal.
”Rencana tata kota yang baru berbasis pada mitigasi. Kami menentukan desain dan tata ruang kemudian mendengarkan aspirasi masyarakat,” ujar Wali Kota Onagawa Yoshiaki Suda dalam diskusi terkait program rehabilitasi dan rekonstruksi bencana tsunami yang diadakan Japan International Cooperation Agency (JICA), seperti dilaporkan wartawan Kompas dari Onagawa, Jepang, Kamis (25/4/2019) malam.
Pada Jumat, 11 Maret 2011, gempa berkekuatan magnitudo 9,0 mengguncang Samudra Pasifik, sekitar 123 kilometer dari Onagawa atau 129 kilometer dari Sendai, ibu kota Prefektur Miyagi. Sekitar 30 menit berselang, tsunami berketinggian mencapai 38,9 meter mengempas ke daratan. Kawasan utara Jepang lumpuh, termasuk Onagawa.
Pemerintah Kota Onagawa membutuhkan delapan tahun untuk membangun kembali wilayahnya utuh. Berdasarkan data Divisi Rekonstruksi dan Promosi Kota Onagawa, penataan kota dibagi dalam tiga tahap, yaitu pembangunan kawasan perumahan, perkantoran pemerintah dan area komersial, serta pelabuhan.
Masyarakat yang tinggal di kawasan terdampak bencana di tepi pantai direlokasi ke tempat yang lebih tinggi. Kawasan permukiman berada di ketinggian melebihi 15 meter dari permukaan laut, sedangkan area komersial dan jalanan kota berada sekitar 5,4 meter dari permukaan laut.
Menurut Yoshiaki, untuk mencapai kesepakatan dengan masyarakat yang akan direlokasi, membutuhkan proses cukup panjang. ”Kami mengadakan 80 kali dengar pendapat sampai seluruh masyarakat sepakat. Baru setelah itu pembangunan dimulai,” ujar Yoshiaki.
Delapan tahun pascatsunami, Onagawa tidak hanya sekadar kembali seperti semula, tetapi justru menjelma menjadi kota yang lebih elok. ”Kami bahkan membangun jalan dengan memperhitungkan arah matahari terbit karena dapat menarik wisatawan saat pergantian tahun,” ucap Yoshiaki.
Pegawai Dinas Pekerjaan Umum Prefektur Miyagi Numazawa Hironobu menjelaskan, upaya mitigasi bencana tsunami yang diterapkan di kota-kota di Prefektur Miyagi, seperti dengan mendirikan tanggul dan penataan kota, adalah untuk mengantisipasi tsunami dengan ketinggian antara 5 meter dan 15 meter.
”Namun, jika terjadi lagi tsunami skala besar yang biasanya datang dalam periode 1.000 tahun sekali, hal yang terpenting adalah mengevakuasi warga ke lokasi yang seaman mungkin,” kata Numazawa.
Peneliti senior dari Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi, dan Pariwisata Jepang Kunihiro Watanabe mengungkapkan, tata kota yang berorientasi mitigasi bencana merupakan unsur penting untuk meminimalkan dampak tsunami selain upaya evakuasi dan pembangunan tanggul. ”Tidak bisa hanya salah satunya,” kata Kunihiro.
Belajar dari Jepang
Diskusi terkait rehabilitasi dan rekonstruksi bencana tsunami Jepang ini tidak hanya digelar di Onagawa, tetapi juga di kota-kota lain di Prefektur Miyagi yang terdampak tsunami, seperti Ishinomaki dan Higashi-Matsushima. JICA mengundang sejumlah pemangku kebijakan terkait program pemulihan bencana di Palu, Sulawesi Tengah, untuk mengikuti acara tersebut.
Lewat diskusi dan mengunjungi langsung kota yang sudah tertata kembali tu, para pemangku kebijakan di Indonesia memperoleh pengetahuan mengenai cara Pemerintah Jepang dalam upaya mitigasi bencana dan rehabilitasi pascabencana.
”Dengan pengetahuan yang dibagikan kepada para pemangku kebijakan dari Indonesia ini diharapkan dapat memberi pelajaran berharga. Tentunya apa yang diterapkan oleh Jepang tidak akan dipaksakan untuk diterapkan di Palu karena tergantung kondisi alam dan budaya setempat,” tutur Takatoi Shunsuke, Perwakilan Senior JICA di Indonesia.
Wali Kota Palu Hidayat berharap dapat memperoleh banyak pengetahuan melalui kunjungan ke Jepang tersebut. Dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi bencana di Palu, Hidayat mengakui masih terkendala masalah sosial, seperti warga yang menolak untuk direlokasi.
”Direncanakan, ada 6.000 keluarga yang harus direlokasi dari lokasi terdampak bencana. Namun, saat ini sebagian besar masih menolak,” ujar Hidayat.