Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membebaskan pajak bumi dan bangunan untuk sejumlah kalangan. Pengamat meminta kebijakan PBB tepat sasaran.
Oleh
Tri Agung Kristanto/Dhanang David
·3 menit baca
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membebaskan pajak bumi dan bangunan untuk sejumlah kalangan. Pengamat meminta kebijakan PBB tepat sasaran.
JAKARTA, KOMPAS — Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menandatangani Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2019 pada 24 April 2019. Aturan itu sekaligus memenuhi janji Gubernur.
Dalam Peraturan Gubernur (Pergub) No 42/2019, sejumlah kalangan yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) di wilayah DKI Jakarta adalah guru dan tenaga kependidikan dan/atau dosen dan tenaga kependidikan perguruan tinggi, termasuk pensiunannya; veteran dan perintis kemerdekaan; penerima gelar pahlawan nasional; penerima tanda kehormatan berupa bintang dari presiden Republik Indonesia; mantan presiden dan mantan wakil presiden, mantan gubernur dan mantan wakil gubernur; purnawirawan TNI/Polri; dan/atau pensiunan pegawai negeri sipil.
Mereka yang berhak mendapatkan pembebasan PBB wajib mengajukan permohonan kepada Pemprov DKI Jakarta.
Dalam pesan singkat kepada Kompas, Kamis (25/4/2019), Anies mengaku tidak tega melihat keluarga pejuang yang menjual rumah mereka satu per satu karena anak cucu tak mampu membayar PBB rumah orangtua mereka. ”Ingat pernyataan (saya) saat pelantikan: saya ingin kita jadi tuan rumah di tanah kita sendiri,” kata Anies.
Sebelumnya, penerima penghapusan PBB ini, kecuali guru, dosen, dan tenaga kependidikan, mendapatkan keringanan sesuai Pergub No 84/2013 yang disempurnakan lewat Pergub No 262/2015. Keringanan bisa diberikan maksimal 75 persen dari nilai pajak dan berlaku hingga janda/duda para penerima.
Tepat sasaran
Menanggapi Pergub No 42/2019, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menuturkan, pembebasan pajak tidak terlalu berpengaruh terhadap berkurangnya pemasukan pajak di DKI.
”Karena pihak-pihak itu hanya diperbolehkan untuk membebaskan maksimal satu obyek pajaknya dan jumlahnya tidak terlalu signifikan di Jakarta. Selain itu, pembebasan pajak ini merupakan salah satu simbolisasi penghormatan bagi para veteran,” katanya.
Meski demikian, Yustinus menyarankan pemerintah agar segera membuat fiskal kadaster atau pendataan ulang bangunan mana yang layak mendapat kenaikan ataupun penurunan PBB agar pemasukan pajak di DKI tetap stabil.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Na Endi Jaweng berharap pergub dikaji lagi agar tepat sasaran. Idealnya penerima pembebasan PBB adalah orang yang tidak mampu membayar PBB.
”Saya mengapresiasi langkah gubernur untuk menghormati veteran ataupun mereka yang telah berjasa bagi bangsa ini. Namun, jika ingin tepat sasaran, pemprov perlu mendata siapa saja veteran, guru, ataupun pensiunan ASN yang kondisi ekonominya sulit dan tidak mampu membayar PBB,” ujarnya.
Robert mengemukakan, PBB seharusnya dijadikan instrumen intensif fiskal untuk merekayasa pengembangan kota. Baik pembebasan maupun pengurangan PBB harus berorientasi pada wilayah, bukan keberpihakan personal. ”Jadi, untuk rencana wilayah yang ingin dikembangkan, bisa dikurangi pajaknya agar masyarakat mau berinvestasi di daerah tersebut,” katanya.
Ketua Komisi C DPRD DKI Santoso mengatakan, pembebasan pajak akan berdampak terhadap meningkatnya pajak lain untuk menutupi pembebasan PBB golongan ini. ”Seperti PBB untuk hotel, tempat hiburan, serta di kawasan komersial akan naik,” ucapnya. (ART)