JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi tidak hanya menyangkut indikator ekonomi makro. Ada pula indikator pencapaian pertumbuhan ekonomi lain, seperti mengurangi kemiskinan, menekan ketimpangan, dan menciptakan lapangan kerja.
Oleh karena itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu konsisten memacu pembangunan ekonomi inklusif. Caranya dengan melaksanakan kebijakan dan program untuk mengurangi kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran.
Hal itu disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro dalam acara Public Hearing Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif di Jakarta, Kamis (25/4/2019). Tampil sebagai narasumber antara lain Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Kepala Bappenas Leonard Tampubolon dan Staf Ahli Menteri PPN/Kepala Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti.
”Pertumbuhan ekonomi tetap perlu, tetapi tidak boleh pada pertumbuhan itu sendiri. Pertumbuhan harus memberikan manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Pertumbuhan harus bisa mengurangi kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran,” kata Bambang.
Berdasarkan data Bappenas, indeks pembangunan ekonomi inklusif pada 2017 sebesar 5,75 atau naik dari 2016 yang sebesar 5,64. Adapun pada 2015 sebesar 5,41 dan 2014 sebesar 5,23. Angka 1-3 masuk kategori ”tidak memuaskan”, angka 4-7 ”memuaskan”, dan angka 8-10 ”sangat memuaskan”.
Pembangunan ekonomi inklusif merupakan pertumbuhan ekonomi yang menciptakan akses dan kesempatan luas bagi masyarakat secara berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan, dan mengurangi kesenjangan antarkelompok dan wilayah.
Selama ini, lanjut Bambang, pemerintah berupaya mengurangi angka kemiskinan menjadi satu angka. Namun, upaya mengurangi kemiskinan tidak mudah karena ada pada tingkat ekstrem dan menyentuh masyarakat bawah.
Bambang menambahkan, pada saat krisis ekonomi 1998, angka kemiskinan melonjak. Namun, setelah perekonomian pulih, angka kemiskinan cepat berkurang. ”Mengapa? Karena orang yang sebelumnya tidak bekerja sudah bisa kembali bekerja,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, persentase penduduk miskin pada September 2018 turun menjadi 9,66 persen dari 9,82 persen pada Maret 2018. Jumlah penduduk miskin pada September 2018 sebanyak 25,67 juta orang.
Untuk mengurangi pengangguran, lanjut Bambang, investasi sangat penting. ”Investasi tidak hanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi ujungnya menciptakan lapangan kerja serta mengurangi kemiskinan dan ketimpangan,” katanya.
Antarwilayah
Amalia mengungkapkan, dari 460 kabupaten/kota yang sudah diukur dengan indeks pembangunan ekonomi inklusif, 30 kabupaten/kota memiliki indeks terendah, yaitu 2,8-3,8. Kabupaten/kota dengan indeks terendah itu ada di wilayah Indonesia bagian timur.
Sebaliknya, 30 kabupaten/kota yang memiliki indeks tertinggi, yaitu pada kisaran angka 6,3-6,6 di wilayah Indonesia bagian barat, terutama Pulau Jawa. ”Itu artinya pembangunan di luar Pulau Jawa harus menjadi perhatian,” kata Amalia.
Leonard memaparkan, ekonomi inklusif dibangun dengan tiga pilar, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan, serta perluasan akses dan kesempatan.
Tiga pilar itu, lanjut Leonard, terbagi atas 8 subpilar dan 21 indikator. Subpilar itu antara lain pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, infrastruktur ekonomi, pengurangan ketimpangan dan kemiskinan, keuangan inklusif, infrastruktur dasar, dan kapabilitas manusia. (FER)