Serapan Gabah Bulog Minim, Empat Bulan Terakhir Baru 226.000 Ton
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah mengimpit penyerapan gabah dan beras oleh Perum Bulog. Sejak Januari-pekan ketiga April 2019, realisasi serapan cadangan beras pemerintah itu baru 13,9 persen dari target 1,62 juta ton.
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mencatat, target serapan gabah setara beras pada Januari-April 2019 sebanyak 1,62 juta ton. Target serapan sepanjang 2019 sebanyak 1,82 juta ton.
Kepala Bagian Humas dan Kelembagaan Perum Bulog Teguh Firmansyah mengatakan, realisasi serapan gabah untuk cadangan beras pemerintah (CBP) sejak awal Januari 2019 hingga Senin (22/4/2019) pagi sebanyak 226.000 ton. Artinya, jumlah ini setara dengan 13,9 persen dari target.
Jumlah serapan itu lebih kecil ketimbangperiode sama tahun sebelumnya. Bulog mencatat, realisasi penyerapan gabah setara beras sepanjang Januari-April 2018 sebanyak 599.076 ton.
”Faktor cuaca yang berdampak pada kualitas dan harga menjadi tantangan yang dihadapi Bulog saat penyerapan,” kata Teguh saat dihubungi, Senin (22/4/2019).
Faktor cuaca yang berdampak pada kualitas dan harga menjadi tantangan yang dihadapi Bulog saat penyerapan.
Pada Maret 2019, pemerintah menugaskan Bulog menyerap gabah dan beras untuk menambah CBP. Berdasarkan rapat koordinasi di tingkat Kementerian Koordinator Perekonomian, Bulog diminta menyerap gabah kering panen di tingkat petani sesuai harga pembelian pemerintah (HPP).
HPP itu mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015, yakni Rp 3.700 per kilogram (kg), ditambah fleksibilitas senilai 10 persen. Artinya, Bulog dapat menyerap dengan harga hingga Rp 4.070 per kg.
Di sisi lain, Inpres Nomor 5 Tahun 2015 menyebutkan, kadar air gabah yang diserap maksimal 25 persen dan kadar hampa (kotoran) maksimal 10 persen. Teguh menyatakan, kualitas beras dengan harga yang sesuai dengan penugasan penyerapan itu tidak memenuhi aturan.
Badan Pusat Statistik mencatat, rata-rata harga gabah kering panen (GKP) nasional pada Maret 2019 di tingkat petani sebesar Rp 4.604 per kg. Kualitas GKP ini sesuai dengan aturan Inpres Nomor 5 Tahun 2015.
Untuk gabah kualitas rendah, BPS mencatat, harga rata-rata nasional Rp 4.296 per kg. BPS mendefinisikan gabah kualitas rendah memiliki kadar air lebih dari 25 persen dan kadar hampa di atas 10 persen.
Teguh menambahkan, rata-rata serapan harian pada April 2019 sebesar 10.000 ton. Saat ini total stok CBP di gudang Bulog sebanyak 2 juta ton. Adapun kapasitas total penyimpanan beras di gudang Bulog berkisar 3,6 juta ton.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, permasalahan beras saat ini disebabkan oleh melimpahnya stok. Akibatnya, pembelian ke petani menjadi sulit.
Pemerintah telah mengingatkan Bulog untuk tidak menunda-nunda penyerapan. ”Walau stoknya banyak, harus tetap serap,” ujarnya.
Orientasi bisnis
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, menilai Bulog kehilangan fungsinya sebagai operator stabilisasi harga pangan. Hal itu diindikasikan dari penyerapan gabah dalam negeri yang seret.
Selain itu, saat ini Bulog lebih berorientasi pada bisnis korporasi. Tidak mengherankan jika Bulog menghindari rugi akibat penyerapan.
Bulog kehilangan fungsinya sebagai operator stabilisasi harga pangan. Saat ini Bulog lebih berorientasi pada bisnis korporasi. Tidak mengherankan jika Bulog menghindari rugi akibat penyerapan.
”Salah satu cara untuk mendongkrak penyerapan itu adalah merevisi Inpres No 5/2015. HPP untuk GKP mestinya berada di harga Rp 4.400 per kg-Rp 4.500 per kg karena ongkos produksi meningkat dan adanya faktor inflasi,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Dwi, fungsi Bulog sebagai operator stabilisasi harga pangan mesti ditegakkan kembali. ”Seharusnya, Bulog berada di bawah Badan Otoritas Pangan yang bertanggung jawab langsung pada presiden. Dengan demikian, kerugian akibat menstabilkan harga pangan ditanggung oleh pemerintah,” tutur Dwi.