Kepolisian Daerah Jawa Tengah memetakan adanya kemungkinan praktik kejahatan siber seperti yang dilakukan 40 warga negara asing atau WNA asal China dan Taiwan, yang telah ditangkap pekan lalu. Ini juga menjadi bahan evaluasi pemantauan keberadaan orang asing, termasuk di pemukiman elite.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Kepolisian Daerah Jawa Tengah memetakan adanya kemungkinan praktik kejahatan siber seperti yang dilakukan 40 warga negara asing atau WNA asal China dan Taiwan, yang telah ditangkap pekan lalu. Ini juga menjadi bahan evaluasi pemantauan keberadaan orang asing, termasuk di pemukiman elite.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng, Komisaris Besar Moh Hendra Suhartiyono, mengatakan, praktik kejahatan siber diduga menyasar wilayah Semarang karena mencari daerah dengan lingkungan yang tak padat. Setelah kejadian serupa pernah terjadi di Jakarta dan Bali, mereka menyasar Semarang.
"Di Semarang, mereka mengincar lokasi di daerah perumahan mewah dan tak terpantau. Kami akan petakan dan perketat pengawasan," kata Hendra, pada konferensi pers kasus itu di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Semarang, Jawa Tengah, Senin (22/4/2019).
Hendra menambahkan, pihaknya akan terus menelaah kasus tersebut, salah satunya dengan menghadirkan penerjemah. Sebab, salah satu kendala yakni komunikasi, lantaran ke-40 WNA tersebut tidak bisa berbahasa Inggris. Selain itu, dugaan adany kordinator dari aksi itu juga masih didalami pihaknya.
Pelaku memberi tahu korban sedang terlibat tindak pidana. Lalu korban diminta menghubungi nomor tertentu, yang diyakini sebagai polisi dan pihak pengadilan. Padahal, itu komplotan juga
Sebelumnya, Kantor Imigrasi Kelas I Semarang menangkap 40 WNA, 28 asal China dan 12 asal Taiwan, di perumahan Puri Anjasmoro, Kota Semarang, pada Kamis (18/4) pukul 15.00. Dari rumah sewaan itu, disita 33 jenis barang yang digunakam untuk praktik kejahatan siber, seperti komputer, modem, telepon, dan telepon seluler.
Adapun modus kejahatan yang dilakukan yakni berpura-pura sebagai penegak hukum, dengan target warga negara China dan Taiwan. "Pelaku memberi tahu korban sedang terlibat tindak pidana. Lalu korban diminta menghubungi nomor tertentu, yang diyakini sebagai polisi dan pihak pengadilan. Padahal, itu komplotan juga," ujar Hendra.
Kemudian, pelaku menawarkan bantuan penyelesaian perkara asalkan korban mau mengirimkan sejumlah uang ke nomor rekening tertentu di China atau Taiwan. Hendra menuturkan, aksi tersebut pemerasan melalui tindak pidana kejahatan siber.
Kepala Bidang Humas Polda Jateng Komisaris Besar Agus Triatmaja, menambahkan, kejadian tersebut juga menjadi bahan evaluasi bagi kepolisian agar tidak terulang. Akan dilakukan pemantauan serta pengetatan pengawasan, khususnya terkait keberadaan orang asing, termasuk di pemukimam elite.
"Lokasi di perumahan-perumahan elite menjadi pertimbangan untuk memetakan lagi. Tempat seperti ini yang digunakan untuk menyembunyikan (praktik kejahatan siber) atau mengkamuflasekan," ucap Agus.
Adapun para WNA yang ditangkap diduga melakukan penipuan dan/atau pemerasan terhadap warga negara masing-masing (China dan Taiwan). Terkait tindak pidana yang dilakukan, mereka dijerat Pasal 45A ayat (1) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, berikut perubahannya pada UU Nomor 19 Tahun 2016. Ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Sempat di Bali
Kepala Divisi Keimigrasian Kementerian Hukum dan HAM Kantor Wilayah Jateng, Ramli, menuturkan, dari 12 WNA Taiwan yang ditangkap, 11 di antaranya memiliki paspor dengan bebas visa kunjungan. Sementara satu orang lainnya belum dapat menunjukkan paspor dan mengaku hilang.
Kesebelas WNA Taiwan tersebut berangkat dari Jepang menuju Indonesia pada Juli 2018, dengan terbagi dalam tiga kelompok. "Mereka dibekali paspor dan tiket untuk mengamankan diri di Indonesia, oleh seorang warga Taiwan. Sebelumnya, mereka melakukan kegiatan sama (kejahatan siber) di Jepang dan 11 orang itu buronan pihak Taiwan," kata Ramli.
Ia menambahkan, para WNA Taiwan masuk ke Indonesia melalui Bandara Soekarno Hatta. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dengan penerbangan domestik ke Bali. Sempat berpindah-pindah tempat di Bali, mereka masuk ke Bandara Ahmad Yani Semarang dan menempati rumah sewaan.
Mereka dibekali paspor dan tiket untuk mengamankan diri di Indonesia, oleh seorang warga Taiwan. Sebelumnya, mereka melakukan kegiatan sama (kejahatan siber) di Jepang dan 11 orang itu buronan pihak Taiwan
Menurut Ramli, para WNA yang kini ditahan di Rudenim Semarang itu melanggar perihal keimigrasian dan dijerat Pasal 119 ayat (1) juncto Pasal 122 huruf (a), Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Mengenai apakah akan dideportasi atau tidak, masih menunggu dulu proses yang tengah berlangsung.
Atase Kepolisian Taipei Economic and Trade Office (TETO) di Jakarta, Chunmin Kang, mengatakan, buronan asal Taiwan telah dicari sejak Agustus 2018. "Setelah itu, kami mendapat informasi mereka kabur ke Indonesia. Kami sempat telusuri, hingga akhirnya ada informasi dari Keimigrasian Semarang. Apabila sudah ada keputusan dari pihak imgrasi, kami akan mencoba mendeportasi mereka ke Taiwan," katanya.