Indonesia Indah, Proyek Bhinneka Tunggal Ika
Sore itu, Sabtu (13/3/1971) dalam sebuah rapat pleno Yayasan Harapan Kita, memutuskan pengerjaan sebuah proyek Miniatur Indonesia bernama “Indonesia Indah” yang merupakan usulan dari ketua yayasan, Ibu Tien Soeharto.
Sore itu, Sabtu (13/3/1971), dalam sebuah rapat pleno Yayasan Harapan Kita diputuskan pengerjaan sebuah proyek miniatur Indonesia bernama ”Indonesia Indah” yang merupakan usulan dari ketua yayasan, Ibu Tien Soeharto. Lokasinya terletak di daerah kelurahan Bambu Apus, Dukuh, Lubang Buaya, dan Ceger, Kecamatan Kramat Jati dan Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, seluas 120 hektar.
Proyek yang kemudian bernama Taman Mini Indonesia Indah ini mulai dikerjakan pada 30 Juni 1972 dan dibuka resmi 20 April 1975 oleh Presiden Soeharto. (Buku Kenang-kenangan Peresmian Pembukaan Taman Mini Indonesia Indah, 20 April 1975).
Drama
Dalam sebuah pemberitaan di harian Kompas, Kamis, 27 Mei 1971, halaman 2, diberitakan bahwa persoalan pembebasan tanah di wilayah Bambu Apus dan Lubang Buaya dilakukan atas dasar musyawarah dan melalui Panitia Negara setempat. Pemerintah DKI juga telah menyiapkan lahan seluas 40 hektar di sekitarnya untuk menampung warga yang terkena proyek pembebasan. Selain itu, juga disiapkan prioritas bagi warga setempat untuk menjadi karyawan proyek tersebut.
Namun, dua hari sebelumnya, yaitu Selasa, sekitar 100 keluarga (KK) yang mewakili 300 KK lainnya di Kelurahan Lubang Buaya, Kampung Duku, Ceger, dan Bambu Apus menemui Adnan Buyung Nasution SH dari Kantor Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta. Mereka meminta perlindungan hukum terhadap Keputusan Gubernur DKI yang tertuang dalam SK No.800/A/K/BKD/1971, yang ingin membeli tanah mereka dengan harga Rp 100/m2 untuk proyek tersebut.
Tarik ulur pun terjadi karena warga merasa harganya terlalu rendah. Beredar informasi bahwa Direktorat Zeni AD membeli tanah di lokasi itu dengan harga Rp 325/m2. Hal ini dibantah oleh bagian Humas DKI, Sjariful Alam, yang mengatakan bahwa tanah itu tentunya lebih dekat ke jalan raya daripada tanah yang diperuntukkan buat proyek Miniatur Indah. Setelah mendapat penjelasan kembali, antara lain akan disediakannya tanah penampungan dan diberi fasilitas kerja di proyek itu, akhirnya 10 orang yang menjadi wakil korban penggusuran menyetujui tambahan harga sebesar Rp 10,-/m2 yang ditawarkan oleh Gubernur DKI.
Di dalam proyek tersebut nantinya akan dibangun beragam rumah adat dari semua provinsi, bangunan ibadah, dan sarana rekreasi. Pengunjung akan dapat mempelajari budaya, seni, dan kebhinneka-tunggal-ikaan Indonesia sekaligus berwisata. Sebuah monumen bernama Api Pancasila akan dibangun di dekat pintu masuk, di Alun-alun Pancasila. Tingginya 45 meter dan pada puncaknya berbentuk lidah api yang terbuat dari bahan kristal.
Panitia proyek membuat sayembara gambar perencanaan monumen tersebut dan memberikan hadiah bagi pemenangnya berupa uang tunai antara Rp 100.000 dan Rp 200.000, ditambah wisata ke Bali. Mengenai biaya yang diperlukan dalam pembangunan proyek, menurut Biro Konsultan Nusa yang menjadi konsultan proyek ini, diperkirakan Rp 10,5 miliar.
Besarnya biaya pembangunan menimbulkan banyak reaksi di beberapa daerah, seperti Yogyakarta dan Surabaya. Para mahasiswa dan pelajar yang membentuk ”Gerakan Penghematan” (GP), Kamis (16/12/1971) pagi, mendatangi Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk melakukan protes karena menilai proyek ini menghambur-hamburkan uang. Di lain pihak, pemerintah sedang melakukan penghematan dan usaha untuk mendapatkan modal dari luar negeri (IGGI) dan dari dalam negeri, seperti dari Tabanas dan Taska.
Biaya Rp 10,5 miliar sama dengan jumlah biaya yang dapat untuk membangun tujuh kampus universitas sebesar Universitas Gadjah Mada secara modern. Atau, biaya tersebut dapat digunakan untuk menggaji seorang dosen universitas selama 87.500 tahun jika gaji dosen tersebut Rp 10.000 per bulan (Kompas, Jumat, 17/12/1971, halaman 1).
Perwakilan GP, antara lain Mulya Lubis, Gambar Anom, Abdullah Uteh, dan Asmara Nababan diterima oleh Deputi Perencanaan Program dan Pelaksanaan Bappenas Mayjen Slamet Danudirdjo. WS Rendra bersama rombongannya yang berjumlah 22 orang memimpin demonstrasi dengan berjalan tanpa berkata-kata di jalanan di Yogyakarta, Rabu (5/1/1972). Secara umum para mahasiswa menuntut penghentian proyek tersebut karena akan membebani APBN yang saat itu fokus pada pembangunan sarana dan prasarana umum.
Petugas-petugas polisi Komdak Metro Djaya, Jumat (7/1/1972) pagi, telah menangkap 18 pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Penghematan (GP), Gerakan Penjelamat Uang Rakjat (Gapur), Gerakan Angkatan Muda (Geram), dan individu-individu. Penangkapan itu dilakukan ketika mereka mengadakan ”aksi tidur” di jalur hijau Jalan Gatot Subroto didepan Hotel Kartika Chandra. Polisi menahan 18 orang, antara lain Arief Budiman, Asmara Nababan, dan Julius Usman. Mereka diangkut ke atas truk polisi dan dibawa ke Komdak Metro Djaya untuk diinterogasi.
Sebuah insiden berdarah terjadi saat sekelompok preman menyerang 20 pemuda dari Gerakan Penyelamat Uang Rakyat yang berunjuk rasa di kantor sekretariat proyek di Jalan Matraman, Jakarta, Kamis (23/12/1971). Tiga peserta demo terluka kena tusukan belati dan seorang terluka di bagian paha akibat tembakan pistol FN 45 mm.
Menutup tahun 1971, lebih dari 100 mahasiswa UI, Jumat (24/12/1971) siang, dengan menggunakan truk datang ke Jalan Cendana, Jakarta, untuk menemui Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto terkait soal proyek Indonesia Indah. Mereka hanya diterima ajudan Kepala Negara, Kolonel Suroso dan Asisten Pribadi Presiden Urusan Sekuriti Mayjen Tjokropranolo. Isi tuntutan mereka intinya adalah agar tetap memperhitungkan dan mempertimbangkan kondisi rakyat Indonesia yang sebagian besar masih dalam kekurangan dan keprihatinan.
Sementara itu, anggota kepolisian Komdak Metro Jaya, Senin (27/12/1971), menyita sebagian poster dan pamflet dari Gerakan Penyelamat Uang Rakyat (Gapur) yang isinya menentang proyek itu. Gapur juga mengadakan aksi penempelan poster di tempat-tempat strategis, seperti Jatinegara, Cililitan, Thamrin, dan Tanah Abang.
Di depan rapat kerja gubernur se-Indonesia, Rabu (1/12/1971), di ruang sidang DPRD DKI Jakarta, Ibu Tien meminta setiap provinsi untuk membangun rumah-rumah adat yang sekaligus menjadi tempat promosi daerahnya serta mengharapkan setiap daerah tingkat I dapat memberi sumbangan sekitar Rp 40 juta-Rp 50 juta. Proyek ini nantinya dapat pula untuk menarik wisatawan dan meningkatkan devisa negara.
Rasa penyesalan diungkapkan ibu Tien saat berbicara di depan pengusaha swasta di Gedung Kartika Chandra Kirana, Jakarta, Jumat (7/1/1972). Gagasannya telah menimbulkan beberapa salah pengertian kepada sebagian masyarakat dan merepotkan pemerintah. ”Saya menyesal karena bukan itu maksud saya,” kata Ibu Tien. Menurut dia, bimbingan dan bantuan moral dari pemerintah diperlukan mengingat besarnya proyek.
Segala tahap sudah dilakukan sesuai dengan prosedur, seperti izin kepada Gubernur DKI, kemudian membeli tanah, dan seterusnya. Duduknya Gubernur DKI Ali Sadikin sebagai project officer karena diminta, bukan ditunjuk. Bang Ali juga punya kepentingan dis ini karena tahun 1969 DPRD menugaskan gubernur untuk mendirikan Proyek Bhinneka Tunggal Ika yang ternyata maksudnya sama dengan proyek Indonesia Indah.
Soal sumbangan dari pengusaha, Bang Ali berkomentar bahwa hal itu sebenarnya bisnis. Dengan memberi sumbangan, nama para pengusaha akan dicantumkan pada marmer bangunan utama Miniatur Indonesia Indah serta buku ”Apa Siapa?” yang akan diterbitkan dan diedarkan ke seluruh dunia. Uang sumbangan disalurkan lewat Bank Bumi Daya, BNI ’46, First National City Bank, Bank Windu Kentjana, dan BDN.
Puncak
Di hadapan sekitar 10.000 undangan, Presiden Soeharto meresmikan pembukaan Taman Mini Indonesia Indah sekaligus menerima penyerahan taman tersebut dari Yayasan Harapan Kita untuk Pemerintah RI, Minggu (20/4/1975) petang. Di antara tamu undangan yang memenuhi kawasan Tugu dan Alun-alun Pancasila, hadir tamu kehormatan Ny Imelda Marcos (Filipina) dan Ny Banyamin Sheares, istri Presiden Singapura.
Upacara pembukaan ini mencapai puncaknya pada pukul 18.00 ketika Presiden menekan tombol yang membuka selubung pintu masuk Pendopo Agung Sasono Utomo, yang disusul pelepasan ratusan burung merpati dan letupan kembang api. Acara dilanjutkan dengan peragaan beberapa tarian massal, seperti tari Pecut dari Jawa Timur, tari Kuda Kepang dari Jawa Tengah, dan tarian dari ratusan anak kecil asal Sulawesi Tengah.
Malam harinya disediakan santap malam di Pendopo Agung dengan hiburan tembang-tembang mocopat. Bermacam tarian, seperti Gending Sriwijaya (Sumatera Selatan), tari Kandagan (Jawa Barat), Raja Pala (Bali), Saman Meuseukat (Aceh), dan Sendratari Ramayana (Jawa Tengah). Selamat HUT Ke-44 TMII....
Sumber : Kompas, Rabu, 14 Januari 1970, halaman 1, Kompas, Rabu, 26 Mei 1971, halaman 1, Kompas, Kamis, 27 Mei 1971, halaman 2, Kompas, Senin, 11 Oktober 1971, halaman 1, Kompas, Jumat, 17 Desember 1971, halaman 1, Kompas, Jumat, 24 Desember 1971, halaman 1, Kompas, Sabtu, 8 Januari 1972, halaman 1, Kompas, Senin, 21 April 1975, halaman 1.