Hoaks ibarat racun dalam pemilu. Ia berbahaya dan merusak demokrasi. Badai hoaks mesti ditepis sesegera mungkin karena dapat memancing konflik terbuka di masyarakat.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
Hoaks ibarat racun dalam pemilu. Ia berbahaya dan merusak demokrasi. Badai hoaks mesti ditepis sesegera mungkin karena dapat memancing konflik terbuka di masyarakat.
Komisi Pemilihan Umum Kota Medan, Sumatera Utara, kembali dibuat jengah dengan terpaan hoaks. Sempat dibiarkan lama, merekq akhirnya melaporkan akun penyebar hoaks kepada Kepolisian Resor Kota Medan.
“Hari ini kami akan membuat laporan ke kepolisian soal hoaks,” kata Ketua KPU Medan Agussyah Ramadani Damanik saat konferensi pers di Medan, Selasa (16/4/2019).
Sehari sebelumnya, Komisioner KPU Medan Divisi Program Data dan Informasi Nana Miranti di Medan, mengaku, belum akan melaporkan isu yang beredar kepada pihak berwajib. Sebab, komisioner masih fokus mempersiapkan pemilu yang tinggal hitungan hari. KPU Medan tidak ingin persiapan terbengkalai karena menepis hoaks.
Akan tetapi, hoaks terus bermunculan. Belum tuntas perkara hoaks video yang menarasikan kantor KPU Medan digeruduk massa akibat surat suara salah satu pasangan calon presiden sudah dicoblos, muncul hoaks berikutnya. Rekaman percakapan seorang laki-laki dan perempuan yang menggambarkan seolah-olah sudah terjadi pencoblosan terhadap surat suara salah satu calon presiden di Kelurahan Sitirejo III, Kecamatan Medan Amplas, Medan, menyebar di media sosial.
“(Kecurangan) itu tidak pernah terjadi. Logistik pemilu untuk Kelurahan Sitirejo III masih berada di gudang KPU Medan (di Lapangan Udara Soewondo, Medan) dan baru akan didistribusikan ke kelurahan siang atau sore ini. Jadi belum ada pencoblosan,” kata Agussyah.
Ketua KPU Sumatera Utara Yulhasni menuturkan, hoaks yang menyerang KPU Medan perlu segera diklarifikasi agar tidak menyesatkan publik. Hoaks dikhawatirkan mengganggu stabilitas pemilu di Sumatera Utara, khususnya Kota Medan.
Yulhasni menduga, hoaks sengaja diciptakan oleh oknum-oknum tertentu untuk melemahkan KPU. Dengan demikian, pihak-pihak yang tidak terima memiliki kesempatan untuk mendelegitimasi hasil pemilu.
“Sejauh ini baru KPU Medan dan KPU Sumatera Utara yang diserang hoaks. Penyebarannya cukup masif di masyarakat,” kata Yulhasni.
Badai hoaks bukan kali pertama menerpa KPU Medan dalam beberapa bulan terakhir. Sekitar Februari 2019, video yang sama juga menyeruak di media sosial. Bedanya, para penyebar fitnah menarasikan massa berunjuk rasa di kantor KPU Medan akibat terjadinya pencoblosan terhadap surat suara pasangan calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Maret silam, menangkap dua pelaku penyebar hoaks, yang merupakan sukarelawan salah satu pasangan calon presiden. Mereka ditangkap terpisah di rumah masing-masing di Jawa Barat dan sudah dibawa ke Markas Polda Sumatera Utara. Dari penelusuran polisi, video hoaks tersebut tidak terjadi di Medan, melainkan unjuk rasa di Tapanuli Utara terkait pelaksanaan Pemilihan Bupati Tapanuli Utara tahun 2018.
“Kasusnya sekarang sudah tahap II (dilimpahkan) di kejaksaan,” kata Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Tatan Dirsan Atmaja.
Selain itu, ada pula hoaks melalui pesan berantai WhatsApp yang menyebutkan bahwa pemilih khusus yang tidak terdaftar bisa memilih di mana saja. Padahal, pemilih khusus hanya bisa mencoblos di tempat pemungutan suara tempat dia terdaftar. Hoaks itu menyesatkan dan dinilai dapat memprovokasi pemilih karena tidak diizinkan mencoblos.
Tatan mengatakan, kepolisian hampir setiap hari menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa penyebar hoaks dapat dihukum dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang ITE disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, terancam dikenakan pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Pengamat politik Universitas Sumatera Utara Agus Suriadi menilai hoaks berbahaya terhadap demokrasi. Apalagi jika sampai ke kalangan akar rumput yang belum melek terhadap teknologi informasi, bisa memicu konflik terbuka.
Di zaman keterbukaan informasi, hoaks seolah menjadi komoditas, termasuk dalam kontestasi politik. Ia dapat mempengaruhi perilaku dan pola tindak seseorang yang belum literate (terpelajar).
“Penyebaran hoaks perlu diredam. Caranya, yakni dengan mengklarifikasi bahwa itu tidak benar dengan menyertakan bukti-bukti pendukung. Berita (salah) mesti dilawan dengan berita (benar),” kata Agus ketika dihubungi.
Menurut Agus, meningkatkan literasi masyarakat menjadi penting dalam menepis hoaks. Dengan literasi yang bagus, masyarakat tidak akan mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak jelas kebenarannya.
Selain itu, kedewasaan dan kebijaksanaan masyarakat diperlukan pula dalam mereduksi dampak hoaks. Kata Agus, banyak juga masyarakat yang ikut menjadi penyebar hoaks meskipun tahu informasi itu adalah hoaks.
“Mestinya orang yang paham, menahan diri untuk meneruskan hoaks. Dengan demikian, rantai penyeberannya bisa terputus,” ujar Agus.