Wabah Campak Terbesar di Madagaskar Membunuh Lebih dari 1.200 Orang
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
AMBALAVAO, SENIN — Sebanyak 1.200 orang di Madagaskar meninggal akibat wabah campak. Jumlah orang yang terkena penyakit itu melonjak dan diperkirakan lebih dari 115.000 orang. Epidemi campak ini merupakan yang terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah negara kepulauan itu.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), epidemi itu mulai sejak September 2018 dan sebagian besar korban meninggal dunia akibat penyakit itu adalah anak-anak di bawah 15 tahun. ”Sayangnya, epidemi itu terus berkembang meskipun kecepatannya lebih lambat dari sebulan lalu,” kata Dossou Vincent Sodjinou, dokter dan ahli epidemiologi dari WHO di Madagaskar, seperti dikutip kantor berita Associated Press, Minggu (14/4/2019).
Di pulau utama Madagaskar, hanya 58 persen dari penduduknya divaksinasi campak. Padahal, campak merupakan salah satu penyakit yang paling menular.
Sebagai upaya pencegahan, jumlah penduduk yang divaksinasi seharusnya mencapai 90-95 persen dari total penduduk. Jumlah total penduduk di Madagaskar, berdasarkan data pada 2018, sebesar 26,2 juta orang.
Kurang informasi
Tingkat kemiskinan di Madagaskar juga cukup tinggi sehingga banyak rakyatnya tidak mampu mengunjungi dokter atau membeli obat. Pusat kesehatan pun sering kekurangan tenaga kerja atau memiliki pekerja yang tidak terkualifikasi. Diperkirakan 50 persen anak-anak di negara tersebut kurang gizi.
Informasi tentang kesehatan juga sangat kurang. Beberapa orangtua, misalnya, tidak tahu bahwa vaksin itu gratis, setidaknya di pusat kesehatan publik. Empat dari lima anak Erika Hantriniaina menderita campak. Ibu itu salah mengira bahwa orang tidak dapat divaksinasi setelah usia 9 bulan.
”Putri saya yang berusia 6 tahun yang pertama menderita campak. Dia demam tinggi. Saya menelpon dokter, tetapi itu sudah hari Jumat. Dokter sudah pergi kembali ke kota. Saya pergi menemui dokter lain yang memberi tahu saya bahwa anak saya menderita alergi…. Kesalahan diagnosis itu hampir berakibat fatal,” kata Erika.
Campak menular melalui udara, seperti saat batuk atau bersin. Penyakit itu tidak memiliki perawatan khusus. Yang diobati adalah gejalanya, seperti batuk, pilek, demam, dan bercak pada kulit.
”Vitamin A diberikan kepada anak-anak untuk meningkatkan kekebalan tubuh mereka. Kami berusaha mengurangi demam. Jika ada batuk, kami berikan antibiotik,” kata Boniface Maronko, dokter yang dikirim WHO ke Madagaskar untuk mengawasi upaya penanggulangan wabah itu.
Ia menambahkan, apabila penyakit itu telat diobati, penyakit lain dapat muncul, seperti diare, bronkitis, radang paru-paru, dan kejang. Pada beberapa kasus, meskipun tidak banyak, masih ditemukan keengganan terhadap vaksinasi karena pengaruh agama atau tradisi praktis kesehatan.
Obat tidak cukup
Kementerian Kesehatan Madagaskar dilaporkan telah mengirim pengobatan gratis terhadap campak di daerah yang paling terkena wabah itu. Maronko khawatir obat yang disediakan itu tidak cukup. Ia juga perlu mengingatkan kepala pusat kesehatan di wilayah ibu kota Ambalavao untuk tidak memungut biaya dari orangtua karena ia telah melihat beberapa dokter meminta uang.
Lalatiana Ravonjisoa, penjual sayur di sebuah distrik miskin, berduka untuk bayinya yang berusia 5 bulan. ”Saya punya lima anak. Mereka semua menderita campak. Untuk yang paling bungsu, saya tidak membawanya ke dokter karena tidak punya uang. Saya memberi anak saya obat sisa dari kakaknya untuk menurunkan demam. Saya tidak membayangkan bahwa dia akan meninggal,” ujarnya.
Akhir bulan lalu, WHO mulai kampanye vaksinasi massal ketiga di Madagaskar dengan target mencapai 7,2 juta anak berusia 6 bulan hingga 9 tahun. ”Tetapi, imunisasi bukan satu-satunya strategi untuk menangani epidemik ini. Kami masih memerlukan sumber daya untuk perawatan, pemantauan, dan mobilisasi sosial,” ujar Sodjinou, ahli epidemiologi dari WHO. (AP)