Pada Masa Pencarian Jati Diri, Remaja Rentan Perundungan
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus perundungan atau kekerasan yang dialami A, siswi SMP di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, merupakan momentum yang mengingatkan kepada semua pihak bahwa tindak kekerasan termasuk perundungan yang melibatkan anak terus terjadi. Survei Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia selama peridoe 2017-2019 menemukan, remaja sangat rentan mengalami perundungan.
Survei Pusat Penelitian (P2) Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait keluarga dan perilaku berisiko remaja seperti seks pranikah, homoseksualitas, pornografi, merokok, narkoba, kekerasan dan perundungan dilakukan di tiga kota ,yakni Kota Medan, Kota Surabaya dan Kota Mataram.
“Penelitian di tiga kota tersebut menunjukkan sebagian besar orangtua, khususnya ibu merasa “kewalahan” dan merasa sulit untuk dapat berkomunikasi secara intensif terkait perilaku berisiko dengan anaknya. Kalau ditanya anak sering merasa “di kepo in” (ingin tahu berlebih),” ujar Augustina Situmorang, Peneliti Tim Remaja, Kelompok Penelitian Keluarga dan Kesehatan, P2 Kependudukan LIPI pada Diskusi “Ada Apa dengan Remaja? Berkaca dari Kasus Perundungan di Era Digital” yang digelar LIPI, Senin (15/4/2019), di Jakarta.
Selain itu, menurut Augustina, dari grup diskusi terarah dengan para remaja, umumnya para remaja mengakui bahwa mereka cenderung memilih informasi yang diceritakan kepada orangtua karena khawatir akan “dinasihati berkepanjangan” dan “menambah larangan” oleh orangtua.
“Gap antara remaja dan orangtua dalam penggunaan media digital turut mempersulit orangtua dalam menjalin komunikasi dengan anak,” kata Augustina.
Menurut Augustina, remaja rentan terhadap perundungan karena masa remaja merupakan masa pencaharian jati diri seorang individu. Masa ini sering juga di identikkan dengan masa “membangkang” karena mereka merasa bukan lagi anak kecil, dan ingin diperlakukan sebagai individu yang mandiri (menjauh dari orang tua).
Terkait kasus perundungan yang marak terjadi di kalangan remaja, dia menilai pengaruh teknologi informasi sangat besar. "Karena melalui teknologi informasi remaja yang secara emosi belum matang, dapat memberi komentar tanpa ada yang mengkontrol. Selain itu, komentar tertulis bisa disalahartikan, dan tidak jarang menimbulkan konflik yang diawali dari salah paham di media sosial," katanya.
Selain Augustina, pembicara dalam diskusi ini adalah Rita Pranawati (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Anggi Afriansyah, Peneliti Bidang Pendidikan P2 Kependudukan LIPI, Ade Novita Juliano (Senior Advisor Lembaga Hukum Justika), dan Fellya Zumarnis (Duta Generasi Berencana 2018).
Perlu perhatian
Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Yogaswara, menyatakan, kasus perundungan A di Pontianak menyadarkan publik bahwa isu remaja memerlukan perhatian dan prioritas lebih di era digital saat ini. Namun, meskipun berbagai permasalahan remaja sudah sering muncul dan berulang, pemberitaannya seakan berhenti dengan sendirinya tanpa menghasilkan solusi kebijakan.
Sementara Anggi dalam materi melawan perundungan dalam perspektif pendidikan, menyatakan, penanganan perundungan seringkali reaksioner dan tidak menyentuh akar persoalan. Sementara ekosistem pendidikan belum menjadikan peserta didik menjadi manusia sebab tujuan pendidikan justru dilupakan. Pendidikan belum menyentuh relung akal budi anak didik.
“Perubahan nilai dan transformasi digital yang perlu mendapatkan perhatian dari seluruh elemen—pemerintah, lembaga pendidikan, sekolah, orangtua, masyarakat-komunitas,” katanya.
Fellya yang mewakili kelompok anak muda mengingatkan bahwa remaja dapat mengakes pusat informasi konseling (PIK) remaja sehingga mereka tidak merasa sendiri.
Rita mengingatkan pendampingan orangtua terhadap anak-anak yang menjadi korban dan pelaku sangatlah penting, terutama untuk pemulihan jangka panjang. Keluarga juga diharapkan memberikan dukungan kepada anak korban dan pelaku agar mereka bisa kembali percaya diri dan kembali ke bangku sekolah.
Sistem peradilan pidana anak
Terkait anak-anak yang menjadi pelaku perundungan, Ade Novita menegaskan penyelesaian kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) harus dijalankan berdasarkan Sistem Peradilan Pidana Anak yang wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.
Keadilan yang memulihkan tersebut adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Karena itu, untuk memastikan pendekatan keadilan yang memulihkan tersebut diterapkan, aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) harus mengupayakan dilakukannya diversi di setiap tahapan penyelesaian kasus.
"Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan pelaku anak dan orang tuanya, korban dan orang tua korban, pembimbing kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional yang juga dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, atau masyarakat," katanya.