JAKARTA, KOMPAS — Konsumen perdagangan elektronik atau e-dagang dilindungi dalam undang-undang. Bentuk perlindungan itu antara lain dapat mengeluhkan perbedaan antara barang yang diterima dan keterangan pada laman e-dagang.
Hal ini juga menjadi salah satu substansi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Peneliti The Institute for Digital Law and Society (Tordillas), Awaludin Marwan, Minggu (14/4/2019), di Jakarta, mencontohkan Pasal 28 Ayat 1 UU No 19/2016. Disebutkan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
”Pasal 28 Ayat 1 belum pernah digunakan warga. Padahal, realitas yang kerap terjadi, beberapa penyedia platform e-dagang mencantumkan keterangan barang yang tidak sesuai fakta,” ujarnya.
Tordillas mengumpulkan 350 putusan pengadilan terhadap pelanggaran UU No 19/2016. Hanya ada dua kasus mengenai persoalan ekonomi. Adapun sisanya menyangkut penyebaran hal yang melanggar kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, serta ujaran kebencian tentang suku, agama, ras, dan antargolongan.
Dua kasus mengenai ekonomi tersebut adalah carding atau berbelanja menggunakan kartu kredit orang yang diperoleh secara ilegal.
Berkembang
Kepala Unit Kerja Sama Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri AKBP Endo Priambodo mengungkapkan, per akhir 2018, Direktorat Tindak Pidana Siber menangani sekitar 4.487 kasus kejahatan siber. Kasus kejahatan siber ini didominasi kategori penipuan, seperti saat bertransaksi layanan e-dagang.
Menurut dia, wujud kejahatan siber berkembang semakin canggih. Terkait denga ekonomi, khususnya, marak penipuan pembelian perangkat lunak menggunakan mata uang virtual.
”Kejahatan siber terjadi lintas batas negara, tetapi penyelidikan dan penyidikan kasus sering kali terbatas,” kata Endo di sela-sela diskusi kelompok terfokus ”Strategi Pencegahan dan Penindakan Kejahatan Siber”, Jumat (12/4), di Jakarta.
Dia menjelaskan, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri tidak memiliki fungsi pencegahan kasus kejahatan siber. Direktorat ini menyelidiki, menyidik, dan menindak.
Sementara itu, Kepala Subdit Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika Teguh Afriyadi menyampaikan, pihaknya kerap kali menerima pengaduan kasus kejahatan siber berupa penipuan transaksi layanan dalam jaringan. Rata-rata pihak yang mengadu mengaku sudah telanjur menyetor sejumlah uang ke rekening pelaku.
”Literasi keamanan siber gencar kami lakukan melalui berbagai media dan aktivitas. Beberapa lembaga masyarakat juga melakukannya. Akan tetapi, pengguna internet Indonesia tergolong hanya mau membaca informasi sesuai yang mereka mau,” kata Teguh.
Awaludin memandang literasi tetap harus dilakukan sebab diperkirakan masih banyak pengguna layanan daring yang belum memahami hak sebagai konsumen. (MED)