Pendewasaan Demokrasi Terganjal Sikap Elit Politik
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
Partisipasi politik publik yang tinggi selama Pemilu 2019 menjadi salah satu tanda pendewasaan proses demokrasi di Indonesia. Hanya sayang, hal itu masih kerap dicederai oleh sikap para aktor politik yang kerap menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.
“Kehendak untuk memperbaiki kualitas demokrasi berhadapan dengan kehendak untuk menang dengan cara apapun; termasuk menebarkan politics of fear dan kebingungan di masyarakat,” kata Airlangga Pribadi Kusman, pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Airlangga diantaranya merujuk pada pemanfaatan isu-isu primordial seperti suku, agama, dan ras, untuk mengeksploitasi emosi masyarakat demi keuntungan elektoral semata.
Sikap politik semacam itu dinilai telah mencederai pematangan demokrasi Indonesia.
Seperti yang dikatakan oleh salah satu founding fathers Amerika Serikat Thomas Jefferson, bahwa prasyarat demokrasi adalah masyarakat yang \'melek\' (people who are well informed they can be trusted with their own government). Emosi pemilih yang teraduk-aduk oleh sentimen agama dan aspek primordial lainnya tidak akan dapat memilih pemimpin secara rasional.
Dengan demikian, solusi untuk bisa bebas dari halangan ini dan menuju demokrasi yang lebih maju berada di tangan para elit politik. Airlangga mengatakan, para elit politik, termasuk partai politik, harus kembali memegang perannya yang sejati; sebuah medium untuk mengartikulasikan kehendak warga.
Masyarakat sipil, tambah Airlangga, kini juga memiliki tanggung jawab di bahu mereka, untuk membangun kembali ikatan sosial sehingga kembali menjadi terbuka dan inklusif.
Erik Kurniawan, peneliti lembaga riset kepemiluan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), pun melihat ketertarikan publik yang besar untuk ikut ambil bagian dalam proses pemilu, merupakan sebuah modal yang baik menuju kematangan demokrasi.
“Ini menjadi tugas dari peserta pemilu dan penyelenggara pemilu untuk terus mengelola dan memelihara partisipasi publik tersebut,” ujar Erik.
Dia menilai, fenomena kuatnya partisipasi publik terlihat dengan banyaknya inisiatif organisasi sipil yang mendorong peran publik untuk memantau proses pemilu, seperti Kawal Pemilu, Pintar Memilih, Calegpedia, dan Mata Rakyat Indonesia.
Inisiatif yang besar ini juga terlihat dari pendukung kedua pasangan calon presiden-wakil presiden. Tak hanya dalam membantu memenangkan kandidat pilihan mereka tetapi diyakini akan terlihat dalam mengawal proses pemungutan, penghitungan hingga rekapitulasi suara.
Namun dia mengingatkan, penggerakan relawan untuk memantau proses penghitungan di tempat pemungutan suara (TPS) ini harus dikelola dengan baik.
“Ada kekhawatiran kalau inisiatif menggerakkan relawan dapat mengganggu proses pemungutan suara. Karena ada potensi intimidasi terhadap pemilih,” kata Erik.
Publik Indonesia kini sudah membuktikan partisipasi mereka demi demokrasi yang lebih baik di Indonesia. Para elite kini yang perlu membuktikan kedewasaan demokrasi mereka di depan rakyat yang terbelah. Hari pemungutan suara tinggal empat hari lagi, dan setelah itu, Indonesia harus kembali menjadi satu.