JAKARTA, KOMPAS - Komisi Perlindungan Anak Indonesia berharap kasus kekerasan yang menimpa salah satu siswi sekolah menengah pertama di Pontianak, Kalimantan Barat, A (14), dapat ditangani secara proporsional. Korban dan pelaku yang masih anak-anak itu perlu mendapat perlindungan.
Ketua KPAI Susanto, Rabu (10/4/2019) di Jakarta, mengharapkan seluruh pihak bersabar dengan memberikan waktu kepada pihak kepolisian untuk menangani kasus penganiayaan dan perundungan terhadap A (14) secara utuh.
“Jangan sampai ada informasi yang tidak tepat. Kita harus melihat kasus ini secara proporsional karena korban dan pelaku masih anak-anak,” kata Susanto. Pelaku adalah tiga siswi sekolah menengah atas berumur 17 tahun.
Susanto berharap agar foto identitas korban dan pelaku tidak disebarkan terus-menerus di media sosial sehingga menjadi viral. Selain itu, kekerasan oleh para pelaku perlu mesti dilihat secara luas sebab peran orangtua dan guru di sekolah berpengaruh pada tingkah laku anak.
Di samping itu, peran regulasi pemerintah juga berpengaruh pada tingkah laku anak. Pada 2018, KPAI mendapatkan laporan yang cukup beragam terkait kekerasan pada anak seperti kekerasan fisik, psikis, verbal, dan seksual.
Beberapa laporan tersebut tidak dapat diselesaikan kasusnya. Karena itu, regulasi perlu diawasi sehingga tidak ada celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu.
Media sosial
Selain pendidikan di sekolah dan rumah, KPAI melihat kasus ini terjadi akibat penggunaan media sosial yang tidak tepat. KPAI mendorong pemerintah agar mengawasi media sosial dan keberadaan gim dalam jaringan (daring) yang bermuatan kekerasan. Pengawasan agar diperketat dan dievaluasi agar anak tidak terpapar kekerasan.
KPAI mendorong agar kasus ini ditangani sesuai dengan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Komisioner KPAI Bidang Kesehatan Siti Hikmawatty menjelaskan, UU SPPA telah mengatur tindak pidana yang melibatkan anak-anak mulai dari pelaku, korban, dan saksi.
Dalam sistem peradilan anak ada pembatasan yang bertujuan agar kasus tersebut dapat diselesaikan. Selain itu, sistem ini bertujuan untuk memulihkan kondisi korban dan pelaku. “Jangan sampai ada korban kedua,” ujar Siti.
Kasus ini menjadi bahan evaluasi ke depan terhadap tindak kekerasan anak yang dilakukan bersama-sama atau berkelompok. Kekerasan yang dilakukan berkelompok lebih terstruktur sehingga dampaknya lebih besar karena mereka berbagi peran.
“Kami menghimbau agar pihak yang berkaitan seperti orangtua, guru, dan lingkungan sekolah perlu berhati-hati dalam memperhatikan anak-anak ketika bermain. Sekali-kali bergabunglah dengan mereka untuk mengetahui pokok pembahasan yang sedang mereka bicarakan,” ujar Siti.
Untuk saat ini, KPAI sudah berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mendampingi korban. Adapun para pelaku masih dalam proses pemeriksaan kepolisian.
Siti berharap, kasus ini dapat diselesaikan tanpa harus melalui persidangan di pengadilan. Untuk kasus tertentu, persidangan dapat dilakukan di sekolah atau rumah.
Siti menjelaskan, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para pelaku merupakan akibat dari perkembangan sel yang berpengaruh pada sistem hormonal dan emosi anak. Dalam pertumbuhan anak ada dua fase yang menyebabkan anak mengalami benturan antara tumbuh dan kembang.
Pola asuh
Ketika anak masih berusia di bawah 1,5 tahun, mereka akan mengalami pertumbuhan sel. “Dari dua sel berkembang menjadi sekian sel hingga miliar. Di sisi lain, pertumbuhan melambat sehingga terjadi bentrokan yang ditandai dengan anak sulit makan dan bandel,” tutur Siti.
Semakin lama perkembangan sel menjadi progresif dan pertumbuhan turun kembali. Pada situasi tersebut terjadi kegamangan pada remaja. Hal tersebut berpengaruh pada sistem hormonal dan emosi anak.
Emosi tersebut harus disalurkan secara positif sehingga orangtua perlu mengetahui bakat dari anaknya. Penyaluran secara positif terhadap rasa amarah, kegalauan, dan keguncangan dapat berdampak positif.
Oleh karena itu, pola pengasuhan orangtua berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Pola pengasuhan yang tidak optimal akan berpengaruh pada tumbuh kembang anak.