Rosidi merasa tertekan. Hidupnya dari ke hari tidak tenang setelah orang datang berkali-kali mendesak agar tanahnya, di Desa Talangsari, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat, dijual (Kompas, 5 April 2019). Masalah itu muncul sejak Pemkab Cirebon menerbitkan Perda Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon 2018-2038 yang menetapkan 16 kecamatan, termasuk Losari, sebagai kawasan industri menengah dan besar.
Tanpa perlu bergelar doktor, Rosidi sudah tahu bahwa dia akan jatuh miskin jika lahannya dijual. Apalagi dengan harga per meter senilai dua mangkok bakso! Sementara setahun dia bisa menghasilkan puluhan juta dari lahannya. Tak harus bergelar doktor ekonomi juga untuk tahu kemiskinan adalah ujung dari hilangnya kepemilikan atau penguasaan lahan. Nasib Rosidi bisa jadi menimpa warga Cirebon lainnya di 16 kecamatan yang masuk sebagai zona industri. Tanah memiliki nilai tak semata ekonomi, namun juga sosial dan kultural.
Kepemilikan atau penguasaan lahan adalah salah satu kunci menghindarkan kemiskinan. Dalam kasus Rosidi, lahan adalah modal dasar untuk penghidupan dia. Dengan uang hasil penjualan lahan, nyaris mustahil mendapatkan lahan dengan nilai lahan sebanding dengan apa yang mereka miliki saat ini. Terutama, apabila program pembangunan pemerintah telah ditangkap lebih dulu oleh para penumpang gelap (free rider), yakni para calo tanah yang membuat warga tak nyenyak tidur karena merasa terintimidasi.
Apabila proses perencanaan pembangunan berjalan sesuai proses musrenbang dan dikonsultasikan dengan masyarakat, apa yang dihadapi Rosidi tak seharusnya terjadi. Itu hanya bisa dicapai apabila pembangunan dijalankan secara partisipatif dan inklusif. Prinsip partisipatif mengandaikan adanya transparansi, sehingga masyarakat tahu apa yang bakal terjadi di daerahnya, di tempat dia tinggal.
Berkebalikan dari itu, pada potret kasus Rosidi, agaknya rencana pembangunan justru lebih dulu diketahui "orang luar"-para penumpang gelap. Bandingkan dengan rencana pengalihan lokasi para pedagang klithikan (barang-barang bekas, onderdil dan lain-lain) di Banjarsari-di utara kota Solo, yang harus pindah ke Selatan kota. Tak ada rasa was-was, bahkan perpindahan menjadi peristiwa budaya. Kuncinya, Walikota Solo saat itu, Joko Widodo telah mengomunikasikan rencana tersebut langsung kepada pedagang. Komuniksi dijalin melalui rangkaian berpuluh-puluh jamuan makan!
Berkebalikan dari itu, pada potret kasus Rosidi, agaknya rencana pembangunan justru lebih dulu diketahui "orang luar"-para penumpang gelap.
Kuncinya? Walikota Solo saat itu, Joko Widodo menjamu para pedagang berkali-kali hingga terjadi sambung rasa sehingga semua bisa dirembuk dengan nyaman. Ada rasa saling percaya tumbuh. Menumbuhkan sambung rasa antara pemerintah dengan rakyatnya menjadi kata kunci, jika pembangunan diarahkan sebagai pembangunan berkelanjutan.
Sebagai salah satu pengusung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) PBB 2030, pemerintah dari tingkat nasional hingga subnasional harus menghapuskan kemiskinan terstruktur yang selama ini berlangsung. Dalam TPB, aspek pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan sosial saling mengandaikan satu sama lain. Satu aspek tidak tercapai, maka tujuan dalam TPB pun tak akan terpenuhi. Jika di satu sisi ada pertumbuhan ekonomi namun di sisi lain angka kemiskinan bertambah, maka pengeluaran pemerintah untuk subsidi kelompok miskin pun bertambah. Di sisi lain, tegangan sosial akan meningkat karena disparitas kaya-miskin yang bertambah.
Berpikir holistik
Kegundahan Rosidi benarkah tak terhindarkan? Jika dipaksakan, bisa dipastikan syarat keberlanjutan pada aspek sosial tidak tercapai. Membangun perekonomian ibarat kita ingin melebarkan usaha. Wilayah subnasional atau nasional pun, bisa diibaratkan sebuah korporasi dengan beragam usaha. Pembangunan ekonomi di suatu daerah ibarat korporasi berupaya mengembangkan usaha baru.
Alih-alih membesarkan jenis usaha yang sudah mapan, pengusaha malah membuat bisnis baru yang tidak pernah dia kenal. Tak ada yang salah dengan menjadi petani garam dan nelayan, seperti yang dilakukan Rosidi. Dia telah membuktikan diri sukses dengan apa yang dia jalankan. Tugas pemerintah adalah hadir dalam usaha yang telah lama digeluti warganya dan membantu peningkatannya, bukan justru menihilkan yang telah "mapan".
Membuat tata ruang tak harus membongkar tata ruang lama dan membuat yang sama sekali baru. Pembangunan ekonomi berdasar tata ruang baru tidak perlu “mengorbankan” kehidupan yang telah dinikmati masyarakat. Sebaliknya, mengapa "keberadaan Rosidi"-mewakili sesuatu yang telah mapan karena usaha masyarakat sendiri tak dipandang sebagai modal awal?
Tugas pemerintah adalah hadir dalam usaha yang telah lama digeluti warganya dan membantu peningkatannya, bukan justru menihilkan yang telah "mapan".
Kehadiran negara ditandai dengan uluran tangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang selama ini "merasa telah sejahtera". Setidaknya pemerintah bisa membantu dengan meningkatkan akses pada pembiayaan, permodalan, teknologi atau pengetahuan manajemen. Apa yang selama ini telah menghasilkan adalah modal awal.
Bila ingin membuka sumber penghasilan baru, mengapa tidak dikembangkan di daerah yang benar-benar belum memiliki sumber penghasilan? Kiprah perusahaan otomotif Tata di India bisa ditiru: bagaimana mereka melatih warga setempat di Sanand, Gujarat-suatu daerah yang miskin. Sebelumnya, Tata otomotif dibangun di Singur, Bengali Barat namun akhirnya harus pindah karena di Singur muncul konflik dengan petani! Para petani menolak dibangunnya pabrik mobil di lokasi tempat mereka.
Apa yang terjadi pada Tata bisa menjadi pelajaran. Berkonflik dengan masyarakat bisa menghabiskan energi dan beragam sumber daya. Memilih lokasi dengan warga yang berpenghasilan rendah atau miskin menjadi opsi yang sulit. Namun jika ditangani dengan benar bakal membantu peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Seperti perusahaan mobil Tata. Mereka harus membina masyarakat dari nol. Mereka dikenalkan pada budaya industri mulai dari nol.
Dalam narasi pembangunan, banyak tagline yang menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat. Dengan membuka ruang partisipasi masyarakat, akan muncul rasa kepemilikan. Hal itu menjadi salah satu prasyarat keberlanjutan.
Jika proses pembangunan didasarkan pada prinsip partisipatif dan transparansi. Rasanya konflik lahan bakal bisa ditekan sedangkan pembangunan bisa dijamin keberlanjutannya.
Maka diharapkan pemerintah tidak gegabah mengubah apa yang telah ada apabila apa yang ada tak pernah mereka coba pahami. Faktanya, sebagian masyarakat memang telah sejahtera dengan caranya. Sebagian lagi mungkin belum seberuntung itu, dan mereka inilah yang menunggu kehadiran negara untuk membangunkan mereka dari tidur panjangnya. Jika proses pembangunan didasarkan pada prinsip partisipatif dan transparansi. Rasanya konflik lahan bakal bisa ditekan sedangkan pembangunan bisa dijamin keberlanjutannya.