Isu Substantif Perempuan Terabaikan dalam Pilpres
Substansi dari isu perempuan telah diabaikan dalam pesta demokrasi pemilihan umum untuk presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif. Visi misi pasangan calon presiden-wakil presiden menampakkan bahwa kedua pasangan calon tidak menjadikan persoalan perempuan sebagai subyek yang signifikan dalam pengambilan kebijakan.
“Ketika perempuan mengalami kriminalisasi, intimidasi, tak ada yang membantu kami. Hanya sekarang ketika mendekati pemilu, mereka datang ke sana,” ujar Asmaniah, perempuan yang juga seorang ibu dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Asmaniah hadir sebagai korban dari termarjinalkannya kaum perempuan nelayan pada pertemuan dengan pers bertajuk “Kepentingan Politik Perempuan Absen dari Agenda Calon Pemimpin Bangsa”, Minggu (7/4/2019), di Jakarta. Selain Asmaniah, ada Sumi dari Karawang, Halimah dari Rawa Badak-Jakarta Utara, serta Dona Kanseria dari Perempuan Komunitas dan Koordinator Program Solidaritas Perempuan Aceh Rahmil Izzati dari DI Aceh.
Koordiinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Dinda Nuurannisaa Yura yang biasa disebut Nissa mengingatkan, siapapun yang saat ini berani maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden harus secara substantif bisa mendorong pemenuhan perlindungan dan penghormatan hak perempuan. Menurut dia saat ini kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden justru sibuk menggunakan politik identitas, dan sekedar memobilisasi suara untuk pemenangan.
Siapapun yang saat ini berani maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden harus secara substantif bisa mendorong pemenuhan perlindungan dan penghormatan hak perempuan.
Secara substantif, calon presiden dan wakilnya harus melakukan langkah nyata untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam berbagai bentuk, penghapusan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif, di level nasional dan daerah termasuk Qanun Jinayat yang berlaku di Aceh. Hal lainnya yaitu penghentian dan penindakan secara tegas berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, tindakan intoleransi, dan persekusi terhadap perempuan kelompok minoritas.
Alih-alih memberi perhatian pada persoalan substantif yang dihadapi perempuan, menurut Nisaa, “Diskursus dan wacana yang dibangun cenderung terjebak pada hal-hal yang sifatnya simbolik.” Solidaritas Perempuan melihat bahwa politik bagi perempuan telah disempitkan. Paslon Prabowo-Sandi dengan istilah “emak-emak” yang mereka lontarkan, dan pasangan Jokowi-Amin yang hanya menempatkan perempuan di area domestik.
Beragam kekerasan
Adapun Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan Budi Wiyanti menggarisbawahi pentingnya untuk segera mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. “Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang masih mendominasi adalah kekerasan dalam rumah tangga dan urutan keduanya adalah kekerasan seksual.” Di sisi lain, Komnas Perempuan mencatat, terdapat 421 kebijakan diskriminatif di Indonesia yang menyasar tubuh tubuh dan ruang gerak perempuan.
Hak asasi perempuan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia saat ini masih sering dilanggar terutama dalam konteks hak sipil, politik, dan ekonomi, serta sosial dan budaya. Berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami perempuan terjadi di berbagai aspek dan di berbagai daerah.
Perempuan di Pulau Pari kini terancam lahannya diambil alih korporasi besar dan lautnya pun dikuasai untuk pembuatan vila terapung. Sekitar tiga tahun terakhir mereka terus berjuang mempertahankan hak mereka atas lahan dan mempertahankan sumber kehidupannya.
Perempuan di Pulau Pari kini terancam lahannya diambil alih korporasi besar dan lautnya pun dikuasai untuk pembuatan vila terapung.
Perampasan hak hidup tersebut berawal dari pengurukan atau reklamasi Pulau H karena sebenarnya di sana para perempuan Pulau Pari menanam rumput laut. “Selain bercocok tanam rumput laut kami juga mengambil teripang dan hasil laut lainnya. Namun sekarang kami terancam kehilangan sumber penghidupan karena perusahaan tersebut akan membangun vila apung di laut seluas 200 hektar. Bagaimana kami akan melaut, tentu akan lebih jauh dan belum jelas hasilnya,” ujar Asmaniah. Di daratan, kata dia, investor mendapat 90 persen dari luas tanah warga yang daratannya hanya 42 hektar.
Sebagian warga dikriminalisasi oleh perusahaan. Sementara warga tidak pernah mendapatkan hak atas tanah yang telah mereka diami selama lima generasi. “Tahun 1991 surat girik sebagian warga diminta Pak Lurah katanya akan disertifikatkan, tapi sampai sekarang tidak terealisasi,” tutur Asmaniah. “Ke mana pemerintah selama ini, kok tidak hadir,” kata Asmaniah.
[video width="720" height="480" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2019/04/20190407_123735_11.mp4"][/video]
Dari Aceh, melalui telepon video jarak jauh, Rahmil mengatakan, pemberlakuan Qanun Jinayat di Aceh tidak pernah disosialisasikan ke masyarakat. “Tahu-tahu dilakukan penangkapan, dikatakan pelaku (pelanggaran kanun) dan dihukum cambuk. Masyarakat mempertanyakan,” ujar Rahmil.
Ketika perempuan mendapat hukuman cambuk, lanjut Rahmil, dia akan merasa distigma oleh masyarakat dengan dianggap sebagai perempuan tidak baik dan langsung dipinggirkan. “Tak hanya di masyarakat namun juga di keluarga. Tidak semua keluarga bisa menerima itu. Masyarakat tidak pernah tahu diberlakukan Qanun Jinayat,” ujar Rahmil.
Hukuman cambuk dilakukan di depan umum. Bahkan, tambahnya, dalam kanun dinyatakan tidak boleh dipertontonkan di depan anak-anak, namun faktanya, anak-anak turut menyaksikan pelaksanaan hukuman.
Dalam peraturan tersebut terdapat pasal-pasal yang mendiskriminasikan perempuan. Dalam pasal perkosaan misalnya, jika seseorang melaporkan harus ada bukti pemula yang sebenarnya itu memberatkan korban. Ketika terjadi pemerkosaan terhadap anak yang terbelakang secara mental maka laporannya tidak dianggap karena tidak dipercaya. “Bahkan itu dibalikkan menjadi pencemaran nama baik,” tambahnya.
Di Rawa Badak, kaum perempuan yang berurusan langsung dengan persoalan air, tak pernah mendapatkan pelayanan air dengan kualitas dan kuantitas yang mencukupi. Air yang dikelola swasta terkadang tidak mengalir selama berbulan-bulan dan kalau keluar sering berbau dan berlumpur. Halimah dari Rawa Badak mengatakan, mereka sudah berjuang untuk mendapatkan pelayanan air yang layak sejak tahun 1995.
Pada isu buruh migran, Umi dari Karawang masih menunggu pembebasan putrinya yang bekerja di Arab Saudi yang seharusnya sudah keluar dari penjara pada 2018. Anaknya dituduh melakukan sihir terhadap anak majikannya yang sempat hilang namun kini sudah kembali.
Solidaritas Perempuan menegaskan bahwa peran dan kontribusi perempuan ada di berbagai konteks dan bidang. Maka, penghilangan kepentingan perempuan dari diskursus politik adalah pengabaian terhadap perjuangan merebut kemerdekaan, hingga pembangunan bangsa hingga saat ini yang turut dilakukan oleh perempuan.