Partai Solidaritas Indonesia atau PSI muncul sebagai partai baru dengan tawaran program yang menarik perhatian karena tidak jarang program mereka memantik diskusi di ranah publik. Di sisi lain, partai ini lekat diasosiasikan dengan anak muda. Keikutsertaan mereka di dalam Pemilu 2019 akan menjadi ujian bagi daya tahan partai baru ini beserta nilai-nilai yang diusung.
Deretan tulisan berlatar hitam yang dilekatkan pada dinding kantor PSI di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, terlihat mencolok dari keseluruhan warna gedung yang putih itu. ”Antikorupsi, Antipoligami, Lawan Intoleransi”. Demikian bunyi tulisan tersebut. Di ujung tulisan terdapat gambar Ketua Umum PSI Grace Natalie dan Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni.
Gedung putih di jalanan yang sibuk itu tampak tenang di luar, tetapi kesibukan justru ditemui di dalam gedung. Di dalam kantor, penggiat partai sibuk menata dan mengikat kaus ataupun alat peraga kampanye lainnya yang didominasi warna merah. Sebagian dari alat peraga kampanye itu dimasukkan ke dalam karung-karung untuk diangkut ke titik-titik pertemuan dengan masyarakat. Saat itu, sebagian besar pengurus partai sedang berkeliling ke daerah-daerah menemui masyarakat secara langsung. PSI dalam Pemilu 2019 tidak menggelar kampanye rapat umum.
”Kami lebih mengutamakan dialog dengan masyarakat secara langsung. Jadi, kami bertemu dengan masyarakat di satu tempat tertentu, dan kami berdialog dengan mereka. Juru bicara kami mendengarkan mereka, dan menyampaikan pendapat PSI. Dialog dengan masyarakat itulah yang selama ini hilang dari budaya partai, dan kami ingin menumbuhkan kembali budaya dialogis itu dengan masyarakat,” kata Endang Tirtana, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PSI, Kamis (4/4/2019), di kantornya.
Kampanye dialogis itu diyakini lebih bisa memberikan pendidikan politik kepada masyarakat daripada kampanye rapat umum yang cenderung berjalan satu arah. PSI memperhitungkan kerja-kerja calon anggota legislatif (caleg)-nya di daerah dengan menemui konstituen secara langsung atau door to door bisa setidaknya membawa partai lolos parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional.
Bappilu PSI memonitor kerja-kerja caleg dengan secara acak mengecek ke rumah-rumah konstituen yang dilaporkan telah didatangi caleg. Dengan proses monitoring oleh Bappilu itu, partai ingin memastikan bahwa caleg turun ke lapangan dan bekerja. Setiap hari Bappilu PSI memonitor serta menerima laporan melalui form aplikasi tentang konstituen di setiap daerah yang telah didatangi. Data itu dimasukkan secara detail mencakup nama, alamat, dan dilengkapi nomor telepon.
”Dengan kerja semacam ini, kami optimistis angka 4 persen itu bisa kami capai. Kerja caleg terukur sehingga kami memastikan semua caleg PSI bekerja,” kata Endang.
Soal lolos dari parliamentary threshold itu tidak hanya menjadi urusan teknis dan kerja-kerja di lapangan. Namun, perjuangan utama PSI dalam pemilu kali ini sebenarnya terletak pada nilai-nilai dan ideologi yang diusung oleh partai. Partai harus bekerja keras menyampaikan nilai-nilai itu kepada publik sehingga pada akhirnya keberterimaan pada nilai-nilai itu membawa dampak elektoral kepada partai.
Menurut Endang, platform dan visi-misi partai tidak bisa digadaikan hanya demi kepentingan elektoral semata. Sebagai contoh, selama ini PSI kerap memantik perdebatan karena programnya terkait dengan hal-hal yang ”sensitif” bagi publik, misalnya kritisi PSI terhadap peraturan daerah (perda) yang tidak sesuai dengan semangat Pancasila, intoleransi, dan poligami. Namun, sikap itu tidak akan diubah hanya demi kepentingan elektoral.
Kami tetap menyampaikan sikap kami apa adanya. Harus diakui problem kita sebagai bangsa saat ini ada dua, yaitu korupsi dan intoleransi. Tidak banyak partai yang berani menyuarakan itu karena dianggap hal yang sensitif, dan juga demi pertimbangan elektoral. Namun, bagi kami, hal itu penting untuk menyatakan kebenaran yang ada. (Endang Tirtana)
Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni menegaskan, partainya berhaluan nasionalis. Namun, apabila diperas kembali untuk menghasilkan ciri khas partai, ada dua perjuangan utama PSI, yaitu melawan korupsi dan intoleransi.
”Itu adalah DNA kami, atau yang membedakan kami dengan parpol yang lain. Kami tidak ingin menjadi partai yang demi kepentingan elektoral bungkam ketika ada intoleransi, atau tidak secara serius memberantas korupsi,” katanya.
Oleh karena itu, sejak awal PSI dibentuk pada 2014, lanjut Antoni, PSI ingin menjadi antitesis bagi parpol, atau kritik bagi parpol yang ada. Mulai dari perekrutan caleg, misalnya, PSI mengundang para ahli untuk menilai kelayakan mereka menjadi caleg. Tokoh-tokoh yang diundang antara lain mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto.
PSI juga mengatur pengurus struktural partai maksimal berusia 45 tahun. Aturan itu diharapkan bisa menjamin kaderisasi parpol berlangsung terus-menerus. ”Kami konsen melakukan kaderisasi sehingga partai kami bisa terus muda. Ke depannya, kami optimistis bisa menjadi partai menengah yang akan menentukan pendulum parpol di Indonesia, yaitu dengan capaian di angka 6-8 persen,” kata Antoni.